Soal PK Terpidana Kasus Vina-Eky Cirebon, Ini Kata Pakar Hukum Boris Tampubolon

Senin, 23 September 2024 - 13:20 WIB
loading...
Soal PK Terpidana Kasus...
Pakar Hukum Pidana, Boris Tampubolon mengatakan secara historis lembaga peninjauan kembali lahir tidak bisa dilepaskan dari kasus sengkon dan karta. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
CIREBON - Sidang peninjauan kembali (PK) yang diajukan enam terpidana kasus Vina Cirebon masih bergulir. Keenam terpidana tersebut adalah Rivaldi Aditya Wardana, Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Jaya, Eka Sandi, dan Supriyanto.

Pakar Hukum Pidana, Boris Tampubolon mengatakan secara historis lembaga peninjauan kembali lahir tidak bisa dilepaskan dari kasus sengkon dan karta. Dua orang yang menjadi terpidana, padahal mereka korban salah tangkap.



"Tidak bersalah. Upaya hukum luar biasa ini bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran material. Putusan MK 34/PUU-XI/2013)," ujar Boris dalam keterangannya, Senin (23/9/2024).

Dalam konteks peradilan pidana, kata dia, ada proses upaya hukum banding, kasasi, dan sampai PK. Asumsi hukum di balik adanya proses-proses itu adalah karena memang sangat mungkin pengadilan itu bisa keliru. Makanya perlu ada tingkatan-tingkatan lebih tinggi untuk mengoreksinya.

"Jadi PK ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang 'tidak penting'. Ini Justru sangat penting. Memperbaiki bila ada yang keliru dan ini harus dukung. Untuk tujuan seluruh penegak hukum yaitu keadilan dan kebenaran serta perbaikan hukum di negara ini," jelasnya.

Dia melanjutkan Pasal 263 KUHAP mengatur alasan PK, yaitu adanya keadaan baru atau fakta baru (noviter perventa), adanya putusan bertentangan, adanya kekhilafan, atau kekeliruan. Menurutnya, dalam kasus Vina ada dua alasan hukum yang kuat.

Pertama, alasan adanya keadaan atau fakta baru atau biasa disebut novum. Menurutnya, orang suka keliru mengartikan novum. Novum suka diartikan sebagai bukti baru.

"Padahal novum bukan bukti baru. Tapi keadaan baru, fakta baru. Dalam Pasal 263 KUHAP jelas disebut keadaan baru bukan bukti baru," kata Boris.

"Misalnya kalau dulu faktanya A, ternyata sekarang terungkap fakta baru B. Maka itulah yang disebut keadaan baru atau fakta baru. Itulah novum yang harus dipertimbangkan oleh Majelis PK Mahkamah Agung," sambungnya.

Kedua, alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim. Kekhilafan/kekeliruan ini tekait empat hal. Pertama, fakta. Kedua, hukumnya atau pasal-pasal yang dituduhkan. Ketigal, mens rea/niat jahat. Keempat prosedur hukum acaranya baik segi pembuktian, cara memperoleh alat bukti, pelanggaran hukum acara, dan sebagainya.

"Misalnya kekeliruan dari segi pelanggaran hukum acara. Di KUHAP bilang keterangan saksi sebagai alat bukti itu adalah keterangan yang diberikan di depan sidang dan dibawah sumpah. Sementara ada saksi yang tidak dihadirkan tapi keterangannya cuma diambil dari BAP."

"Harusnya bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian. Jadi kalau orang dipersalahkan dengan dasar keterangan yang dari BAP itu maka itu tidak bisa. Dan bila itu terjadi, maka itu kekeliruan nyata," imbuhnya.

Boris menambahkan di KUHAP menyatakan saksi-saksi itu harus memberikan keterangan secara bebas, ternyata faktanya ketertangan itu tidak diberikan secara bebas, tapi diarahkan bahkan ada yang ditekan diancam, atau bahkan disiksa, maka itu semua tidak sah. Tidak bisa dijadikan sebagai dasar atau bukti menyatakan seseorang bersalah.



"Artinya bila keterangan yang diberikan tidak secara bebas tersebut dijadikan dasar, maka itu merupakan kekeliruan yang nyata," pungkasnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1330 seconds (0.1#10.140)