Kisah Hidup Jenderal Widodo, Matahari Kembar di TNI AD yang Disingkirkan Soeharto
loading...
A
A
A
Salah satu langkah paling mencoloknya adalah pembentukan Forum Komunikasi (Fosko) TNI AD, yang menjadi ruang bagi purnawirawan memberikan masukan dan menyampaikan unek-unek mereka kepada pimpinan AD.
Namun, keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tidak nyaman, sehingga Widodo pun diganti.
Trah Darah Biru Kraton Yogya
Widodo lahir pada 25 April 1926 dari pasangan Raden Taruno Hartono dan Raden Ayu Rukmiati,
keluarga ningrat dari Yogyakarta. Ayahnya, Raden Taruno Hartono, dikenal taat beribadah, dan mengajarkan kealiman kepada anak-anaknya.
Widodo kecil pun mengaji dan belajar ilmu agama setiap selepas magrib. Karier militer Widodo dimulai ketika ia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, dilantik sebagai perwira pada 5 April 1944.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan diangkat menjadi komandan kompi. Perannya sangat penting dalam berbagai tugas, termasuk Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta di bawah pimpinan Mayor Soeharto.
Jenderal Widodo, mantan Danrem 072/Pamungkas Kodam VII/Diponegoro, meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, pada 19 Februari 1993. Ia dimakamkan dengan upacara militer di Pakuncen, Yogyakarta.
Widodo, yang dikenal dengan berbagai pemikiran dan terobosan, juga mempopulerkan istilah “post power syndrome,” sebuah gejala yang terjadi ketika seseorang yang hidup dalam bayang-bayang kebesarannya di masa lalu belum mampu menerima perubahan dalam dirinya.
Istilah ini masih populer hingga kini. Meskipun pernah dekat dengan Soeharto, jabatan Widodo sebagai KSAD hanya berlangsung singkat. Keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tidak nyaman, sehingga Widodo pun diganti.
Namun, dedikasinya sebagai prajurit dan berbagai kontribusinya tetap dikenang dalam sejarah militer Indonesia.
Namun, keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tidak nyaman, sehingga Widodo pun diganti.
Trah Darah Biru Kraton Yogya
Widodo lahir pada 25 April 1926 dari pasangan Raden Taruno Hartono dan Raden Ayu Rukmiati,
keluarga ningrat dari Yogyakarta. Ayahnya, Raden Taruno Hartono, dikenal taat beribadah, dan mengajarkan kealiman kepada anak-anaknya.
Widodo kecil pun mengaji dan belajar ilmu agama setiap selepas magrib. Karier militer Widodo dimulai ketika ia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, dilantik sebagai perwira pada 5 April 1944.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan diangkat menjadi komandan kompi. Perannya sangat penting dalam berbagai tugas, termasuk Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta di bawah pimpinan Mayor Soeharto.
Jenderal Widodo, mantan Danrem 072/Pamungkas Kodam VII/Diponegoro, meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, pada 19 Februari 1993. Ia dimakamkan dengan upacara militer di Pakuncen, Yogyakarta.
Widodo, yang dikenal dengan berbagai pemikiran dan terobosan, juga mempopulerkan istilah “post power syndrome,” sebuah gejala yang terjadi ketika seseorang yang hidup dalam bayang-bayang kebesarannya di masa lalu belum mampu menerima perubahan dalam dirinya.
Istilah ini masih populer hingga kini. Meskipun pernah dekat dengan Soeharto, jabatan Widodo sebagai KSAD hanya berlangsung singkat. Keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tidak nyaman, sehingga Widodo pun diganti.
Namun, dedikasinya sebagai prajurit dan berbagai kontribusinya tetap dikenang dalam sejarah militer Indonesia.