7 Keturunan Tionghoa dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia, Siapa Saja?
loading...
A
A
A
Perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai elemen masyarakat, tanpa memandang gender, usia, atau latar belakang etnis. Salah satu kelompok yang turut berperan penting adalah keturunan Tionghoa yang menetap di Nusantara.
Mereka berjuang tanpa pandang bulu, baik di medan tempur, ranah politik, maupun sebagai mata-mata dan tenaga medis. Berikut adalah tujuh pahlawan keturunan Tionghoa yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia:
Lahir di Balaraja, Tangerang pada 7 Februari 1893, Lie Eng Hok adalah salah satu tokoh Tionghoa yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Memulai karier sebagai jurnalis di surat kabar Tionghoa pada 1910-an, Lie Eng Hok terkenal setelah mempelopori gerakan pemberontakan di Banten pada 1926.
Dalam aksi ini, ia mengamati gerak-gerik pasukan Belanda dan menyampaikan informasi penting kepada para pejuang. Akibatnya, ia ditahan dan diasingkan ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua, selama lima tahun dari 1927 hingga 1932.
Meskipun ditawari kerjasama oleh Belanda, Lie Eng Hok memilih untuk tetap setia pada perjuangan dengan hidup sederhana sebagai tukang tambal sepatu.
Jasa-jasanya diakui pemerintah Indonesia, dan pada 1959, dua tahun sebelum wafat, ia dianugerahi gelar Perintis Kemerdekaan RI. Lie Eng Hok dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
John Lie, atau yang dikenal dengan nama Daniel Dharma, adalah seorang pejuang keturunan Tionghoa yang lahir di Manado pada 9 Maret 1911. Sebagai perwira Angkatan Laut selama penjajahan Jepang.
John Lie terkenal karena berhasil menembus blokade Belanda di Sumatera dan menukar komoditas Indonesia dengan senjata.
Kapal yang dipimpinnya selalu berhasil lolos dari kejaran musuh. Pada 1950, John Lie juga berperan aktif dalam menumpas gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) dan pemberontakan PRRI. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2009.
Sho Bun Seng adalah seorang penggiat seni yang aktif dalam kelompok sandiwara Dardanela di Aceh pada 1920-an. Pada 1926, ia pindah ke Padang dan bergabung dengan kelompok gerilya pimpinan Letnan Kolonel Ismail Lengah.
Bun Seng yang berbakat dalam seni sandiwara, diberi tugas untuk memata-matai Pao An Tui, kelompok Tionghoa yang pro-Belanda. Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Batalyon Pagarruyung, terlibat dalam penumpasan pemberontakan DI/TII, dan berbagai aktivitas lainnya. Sho Bun Seng meninggal pada tahun 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Tjia Giok Thwam, yang dikenal juga sebagai Basuki Hidayat, lahir di Surabaya pada 1927. Ia mulai berjuang melawan Belanda pada usia 18 tahun dengan bergabung dalam Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT).
Perjuangannya berlanjut hingga 1950, ketika ia mundur dari dunia militer melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Tjia Giok Thwam menerima sejumlah tanda kehormatan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang.
Lahir pada 1933, Ferry Sie King Lien berasal dari keluarga mapan di Surakarta, Jawa Tengah. Pada usia 16 tahun, ia bergabung dalam pertempuran di Solo pada 1949. Bersama empat rekannya, ia menjalankan misi untuk memobilisasi rakyat melawan Belanda.
Mereka berjuang tanpa pandang bulu, baik di medan tempur, ranah politik, maupun sebagai mata-mata dan tenaga medis. Berikut adalah tujuh pahlawan keturunan Tionghoa yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia:
1. Lie Eng Hok
Lahir di Balaraja, Tangerang pada 7 Februari 1893, Lie Eng Hok adalah salah satu tokoh Tionghoa yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Memulai karier sebagai jurnalis di surat kabar Tionghoa pada 1910-an, Lie Eng Hok terkenal setelah mempelopori gerakan pemberontakan di Banten pada 1926.
Dalam aksi ini, ia mengamati gerak-gerik pasukan Belanda dan menyampaikan informasi penting kepada para pejuang. Akibatnya, ia ditahan dan diasingkan ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua, selama lima tahun dari 1927 hingga 1932.
Meskipun ditawari kerjasama oleh Belanda, Lie Eng Hok memilih untuk tetap setia pada perjuangan dengan hidup sederhana sebagai tukang tambal sepatu.
Jasa-jasanya diakui pemerintah Indonesia, dan pada 1959, dua tahun sebelum wafat, ia dianugerahi gelar Perintis Kemerdekaan RI. Lie Eng Hok dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
2. John Lie
John Lie, atau yang dikenal dengan nama Daniel Dharma, adalah seorang pejuang keturunan Tionghoa yang lahir di Manado pada 9 Maret 1911. Sebagai perwira Angkatan Laut selama penjajahan Jepang.
John Lie terkenal karena berhasil menembus blokade Belanda di Sumatera dan menukar komoditas Indonesia dengan senjata.
Kapal yang dipimpinnya selalu berhasil lolos dari kejaran musuh. Pada 1950, John Lie juga berperan aktif dalam menumpas gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) dan pemberontakan PRRI. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2009.
3. Sho Bun Seng
Sho Bun Seng adalah seorang penggiat seni yang aktif dalam kelompok sandiwara Dardanela di Aceh pada 1920-an. Pada 1926, ia pindah ke Padang dan bergabung dengan kelompok gerilya pimpinan Letnan Kolonel Ismail Lengah.
Bun Seng yang berbakat dalam seni sandiwara, diberi tugas untuk memata-matai Pao An Tui, kelompok Tionghoa yang pro-Belanda. Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Batalyon Pagarruyung, terlibat dalam penumpasan pemberontakan DI/TII, dan berbagai aktivitas lainnya. Sho Bun Seng meninggal pada tahun 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
4. Tjia Giok Thwam
Tjia Giok Thwam, yang dikenal juga sebagai Basuki Hidayat, lahir di Surabaya pada 1927. Ia mulai berjuang melawan Belanda pada usia 18 tahun dengan bergabung dalam Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT).
Perjuangannya berlanjut hingga 1950, ketika ia mundur dari dunia militer melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Tjia Giok Thwam menerima sejumlah tanda kehormatan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang.
5. Ferry Sie King Lien
Lahir pada 1933, Ferry Sie King Lien berasal dari keluarga mapan di Surakarta, Jawa Tengah. Pada usia 16 tahun, ia bergabung dalam pertempuran di Solo pada 1949. Bersama empat rekannya, ia menjalankan misi untuk memobilisasi rakyat melawan Belanda.