Kegemilangan Raja Jayabaya Kuasai Nusantara dari Pulau Jawa hingga Papua
loading...
A
A
A
Jayabaya Raja Kediri berhasil membawa kerajaan ke masa puncak kejayaan. Konon di masa itulah Kerajaan Kediri yang berada di pedalaman Pulau Jawa bagian timur berhasil memberikan pengaruh kuat di Nusantara.
Bahkan wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Pulau Jawa dan beberapa pulau di Nusantara.
Konon kuatnya pengaruh Kerajaan Kediri di bawah Jayabaya membuat pengaruh Kerajaan Sriwijaya kala itu yang berada di Pulau Sumatera mulai tersaingi dan bahkan sedikit diungguli Kediri.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatera.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Chou Jukua menggambarkan, di Jawa penduduknya menganut dua agama yakni Buddha dan Hindu, dikisahkan dari “Sandyakala di Timur Jawa 1042 - 1527 M: Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Hindu dari Mataram Kuno II Hingga Majapahit”.
Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.
Buku Chu-fan-chi menyebut, Jawa adalah maharaja yang punya wilayah jajahan: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma- tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), hingga Tung-ki (Jenggi, Papua Barat).
Kemudian Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).
Kondisi masyarakat Kediri saat diperintah Sri Jayabaya sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas.
Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Dalam kitab Lubdaka dikisahkan bahwa kehidupan sosial masyarakat kerajaan Kediri sangat teratur. Di dalam kitab ini dituliskan bahwa tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta benda saja, namun berdasarkan moral dan tingkah lakunya.
Di sini raja sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya, sehingga rakyatnya bisa leluasa menjalankan aktivitas kehidupan mereka sehari-hari.
Pada Prasasti Talan juga dituliskan, raja sangat menghormati hak-hak rakyatnya, dengan membebaskan rakyat Desa Talan dari pajak karena telah mengabdi untuk kepentingan Kediri.
Selain itu pada Prasasti Ngantang juga dituliskan, raja memberikan hadiah berupa tanah yang pajaknya dibebaskan oleh Raja Jayabaya. Prasasti ini ditujukan untuk rakyat Desa Ngantang yang telah mengabdi untuk kemajuan Kediri.
Kediri sendiri berkembang menjadi sebuah kerajaan agraris dan maritim. Sebagian masyarakat yang hidup di pedalaman, menggantungkan hidupnya dari bertani.
Hasil dari bertani warga di pedalaman sangat melimpah, karena kondisi tanah Kerajaan Kediri yang sangat subur.
Dengan hasil yang melimpah ini, masyarakat di Kediri hidup makmur. Sementara masyarakat Kediri yang ada di pesisir, hidupnya bergantung pada perdagangan dan nelayan.
Pada masa Kediri, perdagangan dan pelayaran sudah maju pesat. Para pedagang dari Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Kerajaan Maluku dan Sriwijaya. Dua Kerajaan besar di Nusantara pada jaman tersebut.
Bahkan wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Pulau Jawa dan beberapa pulau di Nusantara.
Konon kuatnya pengaruh Kerajaan Kediri di bawah Jayabaya membuat pengaruh Kerajaan Sriwijaya kala itu yang berada di Pulau Sumatera mulai tersaingi dan bahkan sedikit diungguli Kediri.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatera.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Chou Jukua menggambarkan, di Jawa penduduknya menganut dua agama yakni Buddha dan Hindu, dikisahkan dari “Sandyakala di Timur Jawa 1042 - 1527 M: Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Hindu dari Mataram Kuno II Hingga Majapahit”.
Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.
Buku Chu-fan-chi menyebut, Jawa adalah maharaja yang punya wilayah jajahan: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma- tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), hingga Tung-ki (Jenggi, Papua Barat).
Kemudian Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).
Kondisi masyarakat Kediri saat diperintah Sri Jayabaya sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas.
Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Dalam kitab Lubdaka dikisahkan bahwa kehidupan sosial masyarakat kerajaan Kediri sangat teratur. Di dalam kitab ini dituliskan bahwa tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta benda saja, namun berdasarkan moral dan tingkah lakunya.
Di sini raja sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya, sehingga rakyatnya bisa leluasa menjalankan aktivitas kehidupan mereka sehari-hari.
Pada Prasasti Talan juga dituliskan, raja sangat menghormati hak-hak rakyatnya, dengan membebaskan rakyat Desa Talan dari pajak karena telah mengabdi untuk kepentingan Kediri.
Selain itu pada Prasasti Ngantang juga dituliskan, raja memberikan hadiah berupa tanah yang pajaknya dibebaskan oleh Raja Jayabaya. Prasasti ini ditujukan untuk rakyat Desa Ngantang yang telah mengabdi untuk kemajuan Kediri.
Kediri sendiri berkembang menjadi sebuah kerajaan agraris dan maritim. Sebagian masyarakat yang hidup di pedalaman, menggantungkan hidupnya dari bertani.
Hasil dari bertani warga di pedalaman sangat melimpah, karena kondisi tanah Kerajaan Kediri yang sangat subur.
Dengan hasil yang melimpah ini, masyarakat di Kediri hidup makmur. Sementara masyarakat Kediri yang ada di pesisir, hidupnya bergantung pada perdagangan dan nelayan.
Pada masa Kediri, perdagangan dan pelayaran sudah maju pesat. Para pedagang dari Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Kerajaan Maluku dan Sriwijaya. Dua Kerajaan besar di Nusantara pada jaman tersebut.
(ams)