Mereka Masih Muda, Lugu, dan Dekat dengan Masyarakat

Selasa, 15 Mei 2018 - 04:45 WIB
Mereka Masih Muda, Lugu, dan Dekat dengan Masyarakat
Mereka Masih Muda, Lugu, dan Dekat dengan Masyarakat
A A A
SIDOARJO - Ratno (51), baru saja menurunkan tumpukan tomat dan wortel dari sepeda motornya ketika senja perlahan pergi di Dusun Jedong, Urangangung, Sidoarjo. Di gang sempit di RT 2, pendulum rejekinya biasanya mengalir deras. Seperti malam-malam sebelumnya, semua dagangan tersaji, memenuhi kebutuhan semua warga.

Selepas Maghrib, Yanti (25), berjalan dari arah barat menuju ke lapak milik Ratno. Sebuah dompet kecil berwarna coklat ditenteng di tangan kirinya. Dengan setelan baju berwarna hitam, sebagian wajahnya juga ditutup rapat dengan cadar dan kerudung syar’i.

Ratno tetap melemparkan senyum ketika Yanti datang ke lapaknya. Memilah beberapa sayur dan ikan segar. Tawar-menawar pun terjadi, Yanti ingin membeli sekilo ikan bandeng untuk dimasak besok pagi.

Keinginan itu tak bisa dipenuhi Ratno, karena sisa ikan bandengnya tinggal dua ekor berukuran kecil. "Mereka (Yanti dan Betty, red) suka ikan, kadang mujair, bandeng dan tongkol," ujar Ratno, Senin (14/5/2018).

Karena tak dapat bandeng, Yanti memalingkan pilihan pada potongan tempe dan sayur bayam. Sembari menyampaikan keinginan pada Ratno untuk menyediakan ikannya besok. Ratno pun menjanjikan ikan yang dibawanya besok lebih segar. Sambil senyum kecil masih mengembang setelah ada kepastian ikannya besok laku terjual.

Besoknya, saat matahari masih sepengalah di Sidoarjo, Ratno datang ke kampung Jedong dengan terperangah. Sebuah rumah dengan pagar besi berwarna biru dengan tiga buah pohon nangka yang daunnya rimbun dijaga ketat oleh puluhan aparat kepolisian. Garis polisi berwarna kuning membatasi semua akses warga untuk bisa masuk ke dalam rumah.

Ratno hanya duduk di sebuah gerdu rumah warga yang jaraknya sekitar 100 meter dari lokasi rumah yang dijadikan sarang terduga teroris di Sidoarjo. Punggungnya disandarkan pada dinding ketika Fuadi (67), pemilik rumah yang ditempati Betty dan Yanti datang menghampirinya. "Bagaimana Abah ceritanya mereka kok jadi teroris? Anak-anak yang lugu seperti itu kok nekat!" celetuknya yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Fuadi.

"Lha ini nasib ikan yang dipesannya bagaimana? Belum dibayar, orangnya sudah ditangkap polisi," keluhnya.

Tangan Fuadi kini mencoba merogoh saku kanan celananya. Sebatang rokok diambil dan dihisap dalam-dalam sebelum memulai bercerita. Pikirannya seperti terbang empat tahun silam, tepatnya di tahun 2014 ketika dua gadis kecil datang ke rumahnya untuk menanyakan harga sewa rumah tua yang sudah usang miliknya.

Karena kasihan, Fuadi kemudian memberikan harga sewa yang cukup murah, setahun hanya Rp1 juta pada Betty dan Yanti. "Rumah itu lama tak dipakai. Niat saya sih biar ada penghuninya saja," jelas Fuadi.

Tiap tahun, Fuadi selalu menaikan harga sewa rumahnya yang memiliki halaman luas serta sudah dipaving dengan rapi. Di tahun kedua ia menaikan menjadi Rp1,5 juta dan terakhir harganya kini menjadi Rp2 juta per tahunnya. "Kalau bayar sih nggak pernah telat. Mungkin karena mereka pedagang ya, jadi uangnya selalu saja ada," sahutnya.

Tak terbersit di benaknya kalau kedua perempuan muda itu menjadi terduga teroris yang memiliki enam rakitan bom berdaya ledak tinggi di rumahnya. Padahal, di beberapa kesempatan ia selalu mampir ke depan rumah untuk bersapa dengan keduanya. "Saya selalu bertanya mereka sedang masak apa. Soalnya kalau lagi masak aromanya sedap, tercium dari jalan," katanya.

Pembawaan kedua perempuan itu juga seperti warga kebanyakan. Mereka bersosialisasi, bertegur sapa dan bermasyarakat seperti warga lainnya. Tak ada kesan tertutup bagi keduanya. "Malah semua warga di kampung ini ngerti kok kalau Betty dan Yanti itu penjual jilbab dan baju muslim di Pasar Gading Fajar," sahut Ketua RT 2 Jedong, Winarno.

Setiap hari, katanya, para warga selalu mengetahui kalau Betty dan Yanti bersepeda membawa dagangan ke pasar. Tamu yang datang ke rumahnya juga jarang. Kalau pun ada, biasanya satu rombongan mobil dan isinya perempuan semua.

Pernah satu malam ada seorang lelaki yang bertamu ke rumah Betty dan Yanti. Lelaki berperawakan tinggi besar yang memakai kemeja berwarna hitam. "Kalau tamu laki-laki ini datangnya malam sekali," ujarnya.

M Anwar, tetangga Betty menjelaskan kalau lelaki itu katanya suami Yanti yang sudah sebulan lalu dinikahi. Ia pun sempat menegur kedua perempuan itu untuk segera malapor ke RT kalau sudah menikah. Sehingga tidak ada fitnah ketika ada seorang lelaki yang datang bertamu ke rumahnya.

"Katanya sih memang suaminya Yanti. Baru sebulan menikah, saya pun mendesak mereka untuk lapor. Namanya siapa dan statusnya apa bagi mereka berdua," jelas Anwar.

Para ibu-ibu di Jedong juga belum percaya kalau sosok dua perempuan yang kerap dijumpainya itu seorang teroris. Selama tinggal bertahun-tahun, baik Betty maupun Yanti kerap dijadikan para warga rujukan untuk membeli jilbab. Pertanyaan tentang harga, kain sampai ukuran selalu terlontar dan dijawab keduanya dengan baik.

"Nggak menyangka kalau mereka teroris. Penampilannya biasa sekali, tapi sekarang pakai cadar sih. Kalau dulu nggak pakai cadar ketika datang ke kampung kami," ujar Sri Rejeki, salah satu warga.

Bupati Sidoarjo Saiful Ilah ketika datang ke lokasi menuturkan, pola yang dilakukan para teroris saat ini berbeda dengan dulu. Mereka tak lagi tertutup, bahkan ada yang berbaur sangat erat dengan warga. Sehingga tidak ada kecurigaan sama sekali.

Kondisi itu, katanya, terlihat jelas dalam sosok Yanti dan Betty. Kedua perempuan itu, dalam pengakuan warga merupakan perempuan yang ramah dan enak untuk diajak bicara. "Jadi sekarang segala strategi sudah dilakukan oleh para teroris. Kita tetap harus waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi," jelasnya.

Saiful Ilah juga menjelaskan, kalau dulu para teroris di Indonesia jarang sekali melibatkan perempuan dan anak-anak. Namun, saat ini pola itu sudah tak dijalankan lagi. Mereka sudah melibatkan para perempuan untuk menjadi bomber. "Semua tempat harus waspada. Baik itu di kampung, di rusun maupun di rumah-rumah elit lainnya di Sidoarjo," tegasnya.

Pukul 08.15 WIB, warga Jedong sepertinya mulai mengubah stigma yang tebangun tentang sosok Betty dan Yanti. Saat aparat kepolisian mengerebek rumah mereka, para warga langsung berlarian. Mereka diperintahkan untuk meninggalkan rumah mereka demi keselamatan. Sama seperti situasi yang harus meninggalkan kenangan bertahun-tahun yang manis dengan kedua sosok perempuan yang empat tahun lalu datang ke kampung mereka.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7639 seconds (0.1#10.140)