Kisah Kiai Gede, Penyebar Islam di Tanah Kotawaringin yang Melegenda

Jum'at, 06 April 2018 - 05:00 WIB
Kisah Kiai Gede, Penyebar Islam di Tanah Kotawaringin yang Melegenda
Kisah Kiai Gede, Penyebar Islam di Tanah Kotawaringin yang Melegenda
A A A
Kiai Gede atau Abdul Qadir Assegaf merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Kabupaten Kotawaringin Barat yang kharismanya setara Syekh Arsyad Al Banjary atau Datuk Kalampayan di Kalsel.
Konon nama Kiai Gede disandang Abdul Qadir Assegaf karena ukuran tubuhnya yang sangat besar.

Itulah, karena ukuran tubuhnya yang tinggi besar, masyarakat percaya kalau Masjid Djami Kotawaringin yang hingga kini masih berdiri kokoh, adalah buah adi karya Kiai Gede.

"Masjid Djami berdasar cerita dibangun Kiai Gede di pedalaman, kemudian dibawanya langsung sendiri ke Kotawaringin," kata Abdullah Sani salah satu warga setempat yang juga mengurusi arela pemakaman Kiai Gede.

Makamnya yang terletak tidak jauh dari Kompleks Astana Al Noorsari, nampak tak berbeda dari kubah lainnya. Namun begitu memasuki ruangan, langsung membuat terkesima.

Bagaimana tidak, antara dua makam yang terdapat di dalam kubah, ada perbedaan yang sangat mencolok menyangkut ukuran. Jika yang satunya berukuran normal, lainnya memiliki panjang hampir tiga meter. Dan makam berukuran lebih panjang inilah tempat persemayaman terakhir Kiai Gede, tokoh penyebar agama Islam di Kotawaringin.

"Kuburannya sangat panjang, tidak seperti orang pada umumnya, sekitar 3 meteran. Sedang kubur yang satunya adalah makam salah seorang pengikut setianya," ujar pengurus kubah, Abdul Sani.

Berdasarkan cerita, posisi tubuh Kiai Gede saat dimasukkan dalam liang lahat, harus dilipat sampai tiga kali agar muat. Bahkan seperti penuturan Ahmad Yusuf (60) pemelihara Astana Al Noorsari, jarak antara kedua puting susu Kiai Gede tidak kurang dari tujuh kilan atau setara 1,5 meter.

Walau kini telah lama tiada, pengaruhnya dalam kehidupan, sangat dirasakan masyarakat setempat.
Terbukti 90% lebih penduduk Kabupaten Kotawaringin Barat beragama Islam dengan tradisi yang kental.

Berdasarkan catatan sejarah, semasa pemerintahan Raja Kotawaringin pertama Pangeran Adipati Anta Kasuma, Kiai Gede menduduki jabatan sebagai Mangkubumi kerajaan.

Ada dua versi mengenai asal mula Kiai Gede, versi pertama persis seperti yang dipercaya masyarakat umum dan disampaikan Abdullah Sani bahwa Kiai Gede berasal dari Demak dan masuk ke Kotawaringin tahun 1595. Versi lainnya, tokoh ini murni penduduk asli Kotawaringin, bukannya berasal dari Demak.

Berdasar catatan sejarahnya, Abdullah Sani memaparkan kalau Kiai Gede adalah ulama yang berasal dari Demak. Namun karena sikap membangkangnya, akhirnya diusir dan dibuang dari kerajaan. Oleh Raja Demak ketika itu, Kiai Gede beserta pengikutnya dilarang melakukan peperangan pada hari Jumat.

Namun perintah raja ini malah tak diindahkan. Ketika melakukan peperangan, pasukannya kalah. Akhirnya dia harus menanggung konsekuensinya, di buang jauh dari kerajaan dan akhirnya terdampar di Kerajaan Banjar setelah sebelumnya sempat melalui Gresik.

Pada masa itu, Kerajaan Banjar dibawah kekuasaan Pangeran Suriansyah yang sebelum masuk Islam bergelar Pangeran Suryanata. Oleh Pangeran Suriansyah, Kiai Gede dengan didampingi khatib Dayan diutus untuk menyebarkan Islam ke Kotawaringin Barat, pada tahun 1595 M.

Dengan pengikut tak kurang dari 40 orang disertai khatib Dayan, berangkatlah Kiai Gede menyusuri Sungai Arut hingga ke pedalaman Sungai Lamandau dan Balantik, Nanga Bulik, Sukamara.

Dalam perjalanannya menyebarkan Islam, akhirnya Kiai Gede bertemu dengan Pangeran Adipati Anta Kasuma putra Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar. Selanjutnya berdirilah Kesultanan Kotawaringin dengan Kiai Gede sebagai Mangkubumi pertamanya mendampingi Pangeran Adipati Anta kasuma.

"Ini dapat dibuktikan dengan adanya tulisan berbahasa Jawa yang tertera pada beduk yang ada di Masjid Djami Kotawaringin," jelas Abdullah Sani.

Sementara versi lain, seperti dipaparkan Gusti Djendro Suseno, Kiai Gede tidak lain adalah putra asli Kotawaringin, bukan berasal dari Demak. Dari catatan sejarah yang dimilikinya, Kiai Gede dan Pangeran Adipati Anta Kasuma keberadaannya tidaklah sezaman.

"Berabad-abad jaraknya, dan ini bisa dibuktikan dengan penelusuran sejarah mulai Sultan Suriansyah berkuasa yang kemudian katanya mengutus Kiai Gede ke Kotawaringin," jelas Djendro Suseno. Dan dia tak menampik kalau Masjid Djami Kotawaringin dapat dijadikan bukti keberadaan Kiai Gede atau Gade. Masjid yang menurutnya memang dibangun Kiai Gede, benar memiliki sebuah beduk bertuliskan huruf Jawa.

"Kebetulan saya bisa membaca huruf Jawa, dan terbukti kalau Kiai Gade tidaklah sezaman dengan Pangeran Adipati Anta Kasuma, Raja pertama Kerajaan Kotawaringin," ujar Djendro yang juga masih keturunan Kerajaan Mataram dari garis ibu.

Dan bukti lain lanjutnya, berdasar kebiasaan, seorang ulama atau penyebar agama Islam di daerah ini biasa disebut "Syekh". Sedang gelar Kiai biasa diperuntukkan bagi seseorang yang memiliki keahlian atau ilmu di bidang tertentu.

Di belakang makam Kiai Gede pun menurut Djendro, terdapat semacam batu pemujaan terhadap nenek moyang atau menhir. Menhir ini sebagai petunjuk bahwa dahulunya Kiai Gede adalah orang Kotawaringin yang dulunya juga penganut agama nenek moyang.

Sejalan perubahan waktu, batu pemujaan ini pun mengalami perubahan nama sesuai dengan orang-orang sekitarnya.

"Orang penganut agama nenek moyang menyebut lain dan yang beragama Islam menyebut lain juga sesuai keyakinannya. Padahal obyeknya sih sama saja," timpalnya.

Keberadaan Kiai Gede sebagai penduduk asli Kotawaringin semakin diperkuat dengan banyaknya peziarah bukan dari kalangan muslim semata, tapi juga dari penduduk yang bukan beragama Islam. Yang menurut Djendro Suseno, tentu ini mereka lakukan karena merasa memiliki hubungan darah dengan Kiai Gede.

Pascatumbangnya pohon kedondong besar dengan diameter 1,5 meter dan tinggi sekitar 30 meter dalam area Makam Kiai Gede di Kecamatan Kotawaringin Lama (Kolam), Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng setelah diterjang angin kencang, pada Senin 2 April 2018 membuat nama Besar Kiai Gede semakin dicari cari warganet.

Sebab pohon kedondong yang sudah berusia ratusan tahun yang menjadi saksi bisu terbentuknya Kecamatan Kotawaringjn Lama (Kolam) atau kecamatan tertua di Kobar.

Sehingga bila berkunjung ke Pangkalan Bun rasanya tidak akan lengkap bila tak singgah di makam Kiai Gede alias Abdul Qadir Assegaf.

Pada hari Jumat, makamnya ramai dikunjungi peziarah, dari dalam maupun luar kota. Tujuannya, untuk memanjatkan doa.

Ulama kharismatik ini, memperkenalkan Islam hingga ke pedalaman dan hulu-hulu sungai. Bahkan menurut buku "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan Penerangan Setwilda Kobar 2001, Kiai Gede sudah lebih dahulu berada di daerah ini ketika Pangeran Adipati dan rombongan masih berusaha membangun kota baru.

Berdasar pengetahuan yang dimilikinya, Abdullah Sani begitu meyakini kalau sesungguhnya tokoh penyebar agama Islam di Kotawaringin ini, memang berasal dari Demak, lain tidak.

"Beliau yang bernama asli Abdul Qadir Assegaf berasal dari Demak, kemudian ke Gresik dan langsung ke Kerajaan Banjar," ujar Abdullah Sani, sembari menunjukkan peta perjalanan Kiai Gede yang terdapat di dalam kubah. Kiai Gede sendiri diyakini begitu meninggalkan Demak dan menjejakkan kakinya di Kotawaringin, tidak pernah lagi melangsungkan pernikahan.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5589 seconds (0.1#10.140)