Licin Mirip Belut Bikin Kepala Pangeran Diponegoro Dihargai Belanda 20 Ribu Gulden
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro kesulitan menghadapi pasukan Belanda. Pasalnya beberapa pasukan unggulan dan pengawalnya meninggal dalam pertempuran melawan Belanda. Diperparah pembangunan benteng darurat Belanda membuat kekuatan dan sisa pasukannya terdesak.
Pasukan Belanda terus menambah kekuatan pasukan gerak cepat dan mengurung Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang lari ke hutan belantara, di antara Kali Progo dan Kali Bogowonto.
Hal ini membuat posisi pasukan Pangeran Diponegoro kian terdesak, sehingga membuat Sentot orang kepercayaan Pangeran Diponegoro konon menawarkan alternatif membuka perundingan dengan Belanda untuk menyerah.
Apalagi ibu Pangeran Diponegoro Raden Ayu Mangkorowati, dan putri Pangeran, Raden Ayu Gusti, sebagaimana dikisahkan pada Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855, semua sudah ditahan Belanda pada akhir bulan.
Sang pangeran ini nyaris tertangkap pada 11 November, tetapi berhasil lolos. Tercatat selama tiga bulan Diponegoro berjuang nyaris seorang diri. Penderitaan ditambah oleh serangan malaria tropika yang parah saat ia bersembunyi di hutan-hutan Bagelen barat.
Dengan kekuatan militer Belanda yang memang sedang hebat-hebatnya, dengan sayembara kepala Pangeran dibanderol 20 ribu gulden atau bernilai 2 juta dolar AS sekarang, dan empat pasukan gerak cepat yang terus memburu, statusnya sebagai pelarian tinggallah menghitung hari.
Cepat atau lambat Pangeran akan dipaksa oleh keadaan untuk merundingkan penyerahan dirinya. Kekalahan peperangan di Siluk pada 17 September 1829 membuat pasukan Pangeran Diponegoro terpaksa mundur menyeberangi Kali Progo.
Hal ini ditambah dengan tewasnya Pangeran Ngabehi sang paman sekaligus panglima perang pasukan kepercayaan Pangeran Diponegoro.
Bahkan mayoritas komandan tentaranya konon telah menyerah karena frustasi dan kelelahan. Tetapi tekad perjuangan Pangeran Diponegoro masih tinggi. Dengan pengawalan 50 prajurit, sang pangeran terus memasuki wilayah Bagelen Timur.
Basah Hasan Munadi, seorang Arab-Jawa pemimpin Barjumungah, resimen agamis kawal pribadi Diponegoro, menyarankan agar Pangeran Diponegoro pergi ke daerah pegunungan Remo, antara Bagelen dan Banyumas, kabupaten asal keluarga Danurejan.
Dimana komandan prajuritnya yang masih muda belia, Basah Ngabdulmahmud Gondokusumo, masih memegang kendali di situ.
Sang pangeran menceritakan kepada Basah Hasan Munadi bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya menyerah karena akan merasa sangat malu. Sementara jika ditunjuk menjadi Sultan Yogya, maka semua perjuangan dan pengorbanannya akan terasa sia-sia.
Maka tak heran bila sayembara yang dibuat Belanda tak membuat Pangeran Diponegoro dengan mudah ditangkap. Apalagi selama ini Pangeran Diponegoro memiliki pendukung yang tak mungkin berkhianat kepadanya.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
Pasukan Belanda terus menambah kekuatan pasukan gerak cepat dan mengurung Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang lari ke hutan belantara, di antara Kali Progo dan Kali Bogowonto.
Hal ini membuat posisi pasukan Pangeran Diponegoro kian terdesak, sehingga membuat Sentot orang kepercayaan Pangeran Diponegoro konon menawarkan alternatif membuka perundingan dengan Belanda untuk menyerah.
Apalagi ibu Pangeran Diponegoro Raden Ayu Mangkorowati, dan putri Pangeran, Raden Ayu Gusti, sebagaimana dikisahkan pada Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855, semua sudah ditahan Belanda pada akhir bulan.
Sang pangeran ini nyaris tertangkap pada 11 November, tetapi berhasil lolos. Tercatat selama tiga bulan Diponegoro berjuang nyaris seorang diri. Penderitaan ditambah oleh serangan malaria tropika yang parah saat ia bersembunyi di hutan-hutan Bagelen barat.
Dengan kekuatan militer Belanda yang memang sedang hebat-hebatnya, dengan sayembara kepala Pangeran dibanderol 20 ribu gulden atau bernilai 2 juta dolar AS sekarang, dan empat pasukan gerak cepat yang terus memburu, statusnya sebagai pelarian tinggallah menghitung hari.
Cepat atau lambat Pangeran akan dipaksa oleh keadaan untuk merundingkan penyerahan dirinya. Kekalahan peperangan di Siluk pada 17 September 1829 membuat pasukan Pangeran Diponegoro terpaksa mundur menyeberangi Kali Progo.
Hal ini ditambah dengan tewasnya Pangeran Ngabehi sang paman sekaligus panglima perang pasukan kepercayaan Pangeran Diponegoro.
Bahkan mayoritas komandan tentaranya konon telah menyerah karena frustasi dan kelelahan. Tetapi tekad perjuangan Pangeran Diponegoro masih tinggi. Dengan pengawalan 50 prajurit, sang pangeran terus memasuki wilayah Bagelen Timur.
Basah Hasan Munadi, seorang Arab-Jawa pemimpin Barjumungah, resimen agamis kawal pribadi Diponegoro, menyarankan agar Pangeran Diponegoro pergi ke daerah pegunungan Remo, antara Bagelen dan Banyumas, kabupaten asal keluarga Danurejan.
Dimana komandan prajuritnya yang masih muda belia, Basah Ngabdulmahmud Gondokusumo, masih memegang kendali di situ.
Sang pangeran menceritakan kepada Basah Hasan Munadi bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya menyerah karena akan merasa sangat malu. Sementara jika ditunjuk menjadi Sultan Yogya, maka semua perjuangan dan pengorbanannya akan terasa sia-sia.
Maka tak heran bila sayembara yang dibuat Belanda tak membuat Pangeran Diponegoro dengan mudah ditangkap. Apalagi selama ini Pangeran Diponegoro memiliki pendukung yang tak mungkin berkhianat kepadanya.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
(ams)