The Boy General, KGPH Djatikusumo: Anak Raja yang Memilih Jadi Prajurit

Minggu, 27 Agustus 2017 - 05:00 WIB
The Boy General, KGPH Djatikusumo: Anak Raja yang Memilih Jadi Prajurit
The Boy General, KGPH Djatikusumo: Anak Raja yang Memilih Jadi Prajurit
A A A
Ketika memasuki kota Cepu di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, saat melintas di simpang lima Cepu, kita akan melihat sebuah patung setinggi sekitar 10 meter tepat di depan Taman Djati Kusumo. Patung berwarna cokelat tembaga ini menghadap ke Tugu 20 Mei Cepu yang berada di tengah simpang lima, pertemuan Jalan Ronggolawe dan Jalan Diponegoro. Itu adalah patung Jenderal TNI Kehormatan KGPH Djatikusumo.

Sosok Djatikusumo atau Kanjeng Gusti Pangeran Harjo (KGPH) Djatikusumo memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Kota Cepu. Pada Juni 1946-Februari 1948, Djatikusumo menjabat panglima Divisi V/Ronggolawe TNI bermarkas di Mantingan Blora kemudian pindah ke Cepu. Apalagi KGPH Djatikusumo merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang pertama.

The Boy General, KGPH Djatikusumo: Anak Raja yang Memilih Jadi Prajurit

Pangkat Djatikusumo saat Kolonel atau turun dari pangkat sebelumnya Jenderal Mayor akibat kebijakan Reorganisasi dan Resiolisasi (RERA). Padahal jabatan yang dipegang tetap sama sebagai panglima, namun Djatikusumo tidak pernah protes.

Media asing menjulukinya sebagai The Boy General. Dia adalah orang pertama yang memegang jabatan di pucuk pimpinan TNI AD. Meskipun berpawakan kecil dengan bentuk wajahnya baby face dan lembut dalam bertutur bahasa, namun dia tegas dalam bersikap dan bertindak.

Djatikusumo lahir di Surakartan pada 1 Juli 1917 sebagai putra kedua dari lima bersaudara dari pasangan sinuwun Paku Buwono X (PB X) dengan ibu RA Kironorukasi. Sejak kecil dia diasuh oleh kedua orang tuanya dalam lingkungan keraton Surakarta. Beliau menikah dengan Raden Ayu Suharsi Widyanti, putri bangsawan Keraton Mangkunegara Solo pada 1 Juni 1947 dan dikaruniai tiga orang putri.

Djatikusumo mulai menempuh pendidikan umum mulai dari Europesches Lagereschool (ELS) di Solo (1924-1931), melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Bandung (1931-1936), kemudian ke Technische Hage School (THS) di Delft, (1936-1939). Baru menginjak tingkat III pecah perang dunia II, akhirnya pindah ke THS Bandung, sekarang ITB (1939-1941).

Belum sempat meraih gelar keserjanaan karena merambahnya perang dunia ke-2 ke Indonesia, sehingga membuat Djatikusumo terjun ke dunia militer. Ketika itu, tidak lazim kalangan bangsawan atau pangeran putra raja menjadi tentara atau berkarier di militer. Biasanya hanya dari kalangan masyarakat biasa saja yang tertarik untuk masuk dinas militer.

Dia mengawali dunia keprajuritan sejak masa kolonial Belanda dengan memasuki milisi corps opleiding reserve officieren (CORO), yaitu sekolah perwira cadangan di Bandung yang dibentuk Belanda untuk menghadapi perang melawan Jepang.

Setelah menang atas Belanda, Jepang memanggil pemuda Indonesia untuk mengikuti pendidikan militer sesuai UU Osama Sirei No 44/1943 yang disebut Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Salah satu siswanya, adalah Djatikusumo (Angkatan I-1943-1944 ). Selesai mengikuti pendidikan PETA, jabatan yang dipegang adalah Danki I Yon I PETA Surakarta (Maret 1944-Agustus 1945 ). Beliau sempat mengikuti kursus kendo disurabaya, kursus perwira staf di Jakarta (1950) dan kursus atase militer di Jakarta (1951).

Pada permulaan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Djatikusumo menjabat sebagai komandan BKR di Solo dengan pangkat Mayor. Selanjutnya BKR berubah menjadi TKR beliau menjabat sebagai Danyon I TKR (Tentara Keamanan Rakyat) bertempat tinggal di Benteng Vesternburgh Surakarta. Kemudian beliau memimpin Divisi IV dan membentuk 3 resimen masing-masing memiliki 4 Batalion meliputi wilayah Pekalongan, Semarang, dan Pati (November 1945-Juni 1946). Selanjutnya menjabat sebagai panglima Divisi V/Ronggolawe, meliputi Pati, Madiun, dan Bojonegoro (Juni 1946-Februari 1948).

Pada 1948 Djatikusumo diberi kepercayaan menjabat sebagai KSAD yang pertama sekaligus merangkap sebagai Gubernur Akademi Militer (AKMIL) dengan pangkat Kolonel (1948-1949). Pada Agustus 1950-Maret 1952 dipercaya menjabat sebagai kepala Biro perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta dan Kepala Biro Pendidikan Pusat Kementrian Pertahanan di Jakarta.

Pada April 1952-1955, menjabat komandan SSKAD (sekarang Seskoad ) di Bandung. Kemudian pada April 1955-Agustus 1958 menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal. Ini berarti bahwa jabatan beliau turun dari KSAD menjadi Kepala Biro, SSKAD, dan DIRZIAD.

Sebagai prajurit beliau menunjukkan loyalitas tinggi sekaligus sikap rendah hati dan berjiwa besar demi kepentingan bangsa. “Yang penting bukan jabatannya, tetapi yang penting adalah tugasnya,” katanya. Hal ini menunjukkan beliau selalu loyal pada perintah dan tidak memilih-milih tugas atau jabatan.

Jenderal Besar AH Nasution memuji sikapnya karena berkali-kali dipindahkan tugas bahkan turun tingkat jabatan, namun tidak pernah protes. Djatikusumo dinilai sebagai sosok prajurit yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan serta tidak pernah mengharapkan imbalan jasa.

Pengalamannya semakin lengkap dengan dipercaya menjabat di bidang pemerintahan. KGPH Djatikusumo pada 1958 menjadi Konsul Jenderal RI di Singapura, pada 1959 menjadi Menteri Perhubungan Darat, Postel, dan pariwasata dengan pangkat Mayor Jenderal.

Pada 1963 beliau diangkat menjadi Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaysia, pada 1965 menjadi Dubes RI di Maroko. Kemudian pada 1967 menjadi Dubes RI di Perancis dan 1959 Pati dapat SUAD. Pada 1973 memasuki masa purna tugas dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI dan dianugerahi pangkat Jenderal TNI Kehormatan TMT 01-11-1997.

Penghargaan yang pernah diterimanya, antara lain Bintang Mahaputra Adhipradana, Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, dan Bintang Tahta Suci dari Sri Paus Paulus. Pada 4 Juli 1992 KGPH Djatikusumo meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Raja-raja Imogiri, Bantul, Yogyakarta . Atas jasa dan perjuangannya, KGPH Djatikusumo dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional dengan SK Presiden RI No. 073/TK/2002 tanggal 6 November 2002.

Dari KGPH Djatikusumo banyak pelajaran yang dapat diambil, seperti loyalitasnya, kerendahan hati, dan berjuang tanpa pamrih. “Ingat, belajarlah dari sejarah, agar menjadi cerdik, pandai, bijaksana, dan berilmu. Sejarah adalah guru kehidupan, oleh karena itu belajarlah dari sejarah agar menjadi arif,” katanya.

SUMBER:

Dinas sejarah angkatan darat
Pahlawancenter.com
Wikipedia
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8599 seconds (0.1#10.140)