Obrolan Teras Sindo: Jangan Pilih Cagub yang Tak Lindungi Lingkungan

Selasa, 08 Agustus 2017 - 23:00 WIB
Obrolan Teras Sindo: Jangan Pilih Cagub yang Tak Lindungi Lingkungan
Obrolan Teras Sindo: Jangan Pilih Cagub yang Tak Lindungi Lingkungan
A A A
BANDUNG - Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar Dadan Ramdhan dan pakar lingkungan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Profesor Johan Iskandar menyarankan masyarakat untuk selektif dalam memilih calon pemimpin Jabar periode 2018-2025. Menurut mereka, masyarakat tak usah memilih calon gubernur (cagub) yang tak memiliki komitmen dan rekam jejak melindungi dan melestarikan lingkungan di Jawa Barat.

Pernyataan itu disampaikan Dadan dan Johan saat menjadi pembicara dalam diskusi ringan Obrolan Teras Sindo (OTS) yang berlangsung di Kalapa Lagoon Sundanese Restaurant, Jalan Sumatera, Kota Bandung, Selasa (8/8/2017). OTS yang digelar oleh Radio SINDO Trijaya FM dan KORAN SINDO itu, kali ini mengangkat tema, “Kekeringan di Kawasan Bandung Utara”.

Selain Dadan Ramdhan dan Profesor Johan Iskandar, OTS sedianya akan dihadiri oleh Wagub Jabar Deddy Mizwar (Demiz). Namun karena mengikuti acara Presiden Jokowi di Kampus IPDN Jatinangor, Demiz batal hadir.

“Jangan pilih kandidat atau calon gubernur yang terbukti yang terbukti sudah melakukan praktik buruk merusak lingkungan. Pilihlah kandidat-kandidat yang punya pengalaman, praktik, dan track record terhadap upaya-upaya perlindungan lingkungan. Begitu. Sampurasun,” kata Dadan.

Menurut Dadan, Walhi bukanlah segalanya. Bukan superman yang bisa melindungi seluruh lingkungan Jabar. Peran masyarakat Jawa Barat dalam berpartisipasi melindungi lingkungan sangat penting. Misalnya, memberikan informasi tentang praktik perusakan alam, ikut memantau lingkungan, melakukan penanaman pohon, dan mengurangi sampah.

Dalam kondisi negara seperti ini, kata Dadan, rakyat harus kuat dan bersama-sama melindungan serta mengelola lingkungan demi generasi yang akan datang. Yang dihadapi oleh Jabar ke depan adalah, bencana lingkungan. Dulu, bencana yang dihadapi benar-benar karena fenomena alam, seperti gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami. Sekarang, justru bencana lingkungan akibat pembangunan yang serahkah dan tidak mempedulikan kelestarian alam.

“Saat ini Jabar menghadapi pertambangan di Jabar selatan. Pencemaran di daerah aliran sungai (DAS) yang terjadi terus-menerus. Soal sampah yang tak kunjung selesai. Perambahan hutan dan lain-lain. Masyarakat Jabar butuh gubernur yang mau mengelola dan melindungi lingkungan, terutama daerah aliran sungai,” ujar Dadan.

Walhi bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, ungkap dia, berencana memfasilitasi masyarakat dan kandidat gubernur Jabar untuk membuat sebuah kontrak politik terkait komitmen mereka melindungi lingkungan. “Walhi tidak memilih, yang memberi mandat sebenarnya itu adalah rakyat Jawa Barat. Dengan kontrak ini, calon pemimpin tidak bisa asal ngomong. Dari sini kita bisa melihat komitmen mereka terhadap lingkungan,” tutur Dadan.

Dadan mengemukakan, kerusakan lingkungan di Kawasan Bandung Utara (KBU) telah cukup memprihatinkan. Kondisi tersebut terjadi karena tidak ada komitmen kuat dari pemerintah, baik Pemprov Jabar, Pemkot Bandung, Pemkab Bandung Barat, dan Pemkab Bandung untuk melindungi KBU.

“Kepentingan ekonomi mengalahkan komitmen pemerintah untuk melindungi lingkungan KBU. Betapa tidak, saat ini, banyak bangunan baru seperti kondotel, hotel, restoran, apartemen, dan tempat-tempat usaha berdiri di KBU. Ini terus terjadi karena pemerintah memberikan izin kepada pemodal. Akibatnya yang terjadi bukan penataan ruang, tapi tatar uang,” tutur Dadan.

Profesor Johan Iskandar mengatakan, Jabar butuh LSM yang benar-benar memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan. Selain itu, peran masyarakat secara luas, sangat dibutuhkan. “Terkait Pilgub Jabar 2018, ide yang bagus seyogianya ada kontrak antara masyarakat dengan kandidat gubernur terkait isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

Terkait lingkungan KBU saat ini, Johan menuturkan, banyak alih fungsi lahan. Dulu banyak lahan hijau, hutan, yang berfungsi sebagai resapan, kini beralih menjadi bangunan-bangunan. Akibatnya, air yang seharusnya terserap tanah, tak ada lagi. Dampak selanjutnya, warga KBU kekurangan air. “Sementara air lariannya menjadi semakin besar karena tidak masuk ke dalam tanah. Maka tak heran jika terjadi banjir dan longsor,” ungkap Johan.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7869 seconds (0.1#10.140)