Kisah Pahit Ribuan Prajurit TNI yang Terpaksa Menjadi Pengangguran Akibat Kebijakan ReRa Bung Hatta

Jum'at, 06 Oktober 2023 - 16:37 WIB
loading...
Kisah Pahit Ribuan Prajurit...
Wakil presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta. Foto/Dok. kebudayaan.kemdikbud.go.id
A A A
Gegap gembita suara drum band gabungan dari Akademi Militer (Akmil), Akademi Angkatan Udara (AAU), dan Akademi Angkatan Laut (AAL), baru saja menghiasi lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Para calon perwira TNI tersebut, tampil begitu gagah di upacara HUT ke-78 TNI, Kamis (5/10/2023).



Di belakang iringan drum band yang dimainkan dengan irama penuh semangat tersebut, berderet-deret barisan ribuan pasukan bersenjata dari berbagai satuan dan matra yang ada di TNI. Mereka tak kalah gagah, dengan para calon perwira yang penuh hentakan semangat memainkan alat musik di barisan paling depan.



Ribuan masyarakat, turut hadir menyaksikan kegagahan para perisai nusantara tersebut unjuk kekuatan di hari ulang tahunnya. Mesyarakat yang hadir langsung di lapangan Monas, juga dibuat terkagum-kagum dengan berbagai atraksi dari pesawat tempur, penerjunan pasukan, dan deretan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) milik TNI.



Di balik gemerlap perayaan HUT ke-78 TNI tersebut, tentunya banyak kisah yang mewarnai perjalanan TNI dalam menjaga kedaulatan setiap jengkal tanah air Indonesia. Tak hanya kisah pertempuran heroik, namun juga hadir kisah pahit yang harus dihadapi para tentara di awal kemerdekaan Indonesia.

Di tengah krisis yang harus dihadapi negara, saat usianya baru seumur jagung. Pemerintahan saat itu, harus mengambil kebijakan untuk mengencangkan ikat pinggang agar kapal besar Indonesia tetap dapat berlayar mengarungi samudera luas. Salah satunya kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) di tubuh TNI yang diambil Mohammad Hatta.

Kebijakan ReRa di tubuh TNI ini, memakan korban. Terhitung hingga bulan Juni 1948, jumlah tentara yang dibebastugaskan (demobilisasi) mencapai 60 ribu orang. Sebanyak 40 ribu orang lagi segera menyusul.

Program ReRa yang dilakukan Bung Hatta, menyasar para tentara yang berasal dari laskar-laskar atau TNI masyarakat. Di Jawa Timur, para tentara itu belum lama pulang dari medan tempur 10 November 1945 Surabaya.

Salah satunya adalah Kusni Kasdut, tentara Laskar yang berangkat dari Malang. Kusni Kasdut yang terkena ReRA kelak memilih jalan menjadi penjahat, dan berakhir dengan hukuman mati.



Di Blitar, sejumlah pimpinan Laskar Hizbullah mengungkapkan kekecewaannya. Mereka yang terkena rasionalisasi, termasuk diturunkan pangkatnya menyatakan diperlakukan tidak adil oleh negara.

Hatta menegaskan program ReRa harus dilaksanakan. Sebagai perdana menteri sekaligus menteri pertahanan, ia melihat jumlah angkatan perang yang dimiliki republik terlalu besar. Selain tidak efektif, jumlah tentara yang ada telah membebani keuangan negara.

"Dengan memperkecil angkatan perang, kemudian menyusunnya (melalui reorganisasi tentara), Hatta percaya bahwa efektivitas mereka akan bertambah. Prinsip people's defence tetap dijalankan," demikian dikutip dari buku "Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan" (1997).

Oleh Hatta, ribuan tentara yang tergusur program ReRa dikembalikan ke pekerjaan lamanya. Yang semula guru kembali mengajar. Begitu juga yang awalnya bekerja di bidang swasta, kembali ke pekerjaan lamanya.

Hatta menyerahkan ribuan bekas tentara itu kepada Kementerian Pembangunan dan Pemuda, untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Kemudian juga mengembalikan ribuan orang itu ke pemerintah desa. "Mengembalikan seratus ribu orang ke dalam masyarakat desa".



Hatta melihat, di Indonesia terdapat beribu-ribu desa. Ia berpikir jika setiap desa menampung sebanyak 10 pemuda bekas tentara, yakni dipekerjakan sebagai penjaga keamanan dan lainnya, persoalan ini dapat diselesaikan.

Para bekas tentara itu akan mendapatkan uang ganti jabatan sebanyak tiga bulan gaji. Kebijakan ReRa Hatta didasarkan pada Perpres No. 9, dan No. 14/1948. ReRa menjadikan komando tentara tinggal dua, yakni Komando Jawa dan Komando Sumatera. Banyak tentara yang kemudian ditempatkan sebagai tentara cadangan.

Perlawanan datang dari laskar yang berasal dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia, yang dipimpin Bung Tomo. Dari Solo, Jawa Tengah, mereka melawan sekaligus menyatakan menolak ReRa.

Kendati demikian, pasukan Tentara Pelajar yang merupakan detasemen paling berdisiplin dan dihormati, dengan singkat memaksa mereka menyerah. "Pertempuran mengepung barak-barak mereka terjadi di Solo. Setelah dua hari Tentara Pelajar berhasil melucuti mereka," seperti dikutip dari Sejarah TNI Kodam VII Diponegoro.

Perlawanan terhadap program ReRa Hatta muncul dari kelompok FDR (Front Demokrasi Rakyat), yang pada 18 September 1948 kemudian bersama PKI melakukan pemberontakan di Madiun.



FDR dengan mudah memainkan perasaan tentara yang menjadi korban rasionalisasi. Isu habis manis sepah dibuang, disebarkan ke mana-mana. Rasionalisasi dirumorkan sebagai upaya memperlemah tentara dan rakyat.

Hatta mengakui rintangan terbesar dari program ReRa adalah beban psikologis bekas tentara. Banyak yang beranggapan kembali ke desa, menanam singkong, membuat saluran air dan tiang listrik, sama halnya dengan romusha.

Namun program ReRa di tubuh tentara harus tetap ditegakkan. Pembersihan terhadap grup-grup laskar yang merusak nama baik tentara terus dilakukan. Oknum-oknum perwira laskar tentara yang menyalahgunakan jabatan, juga dibersihkan. Setelah pemerintah berhasil mengatasi perlawanan laskar di Solo, kesatuan-kesatuan lain yang lebih kecil menyatakan patuh terhadap program ReRa.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4198 seconds (0.1#10.140)