Kisah Soekarno Murka ke Pemberontakan PKI Madiun, Ibaratkan Muso Seperti Bisul yang Harus Dibasmi
loading...
A
A
A
MADIUN - Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 18 September 1948 membuat Presiden Soekarno atau Bung Karno murka. Kala itu, Soekarno marah besar karena orang-orang PKI dianggapnya telah melakukan pengkhianatan.
Apalagi pemberontakan terjadi di saat bangsa Indonesia tengah sibuk menghadapi serangan kolonialisme Belanda. Peristiwa yang menelan banyak korban jiwa itu dipimpin Musso atau Munawar Muso dan Amir Sjarifuddin bekas perdana menteri dan menteri pertahanan RI.
Meski pemberontakan Madiun berhasil dipadamkan dengan cepat, kemarahan Bung Karno, yakni khususnya terhadap Muso, masih membara.
SK Trimurti dalam bukunya yang berjudul SK Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia (2016) menyebut Bung Karno mengibaratkan Muso sebagai penyakit bisul yang ketika cepat disembuhkan, kondisi akan semakin baik.
Soekarno mengungkapkan hal itu dalam pidatonya pada 1 Oktober 1948 atau sekitar 12 hari pasca Pemberontakan PKI Madiun.
“Penyakit PKI Muso harus segera dibasmi dari tubuh bangsa. Alangkah besarnya bencana yang mereka telah datangkan. Kesatuan negara telah dikhianati olehnya, nama republik mereka cemarkan di mata dunia, kerusakan material mereka adakan di mana-mana, kerusakan moral mereka lakukan dengan tidak mengindahkan peri kemanusiaan”.
Bung Karno juga menyebut Muso dengan pemberontakan PKI Madiunnya sama halnya mempermainkan kemerdekaan Indonesia.
“PKI Muso mempermainkan kemerdekaan dan akan menyelundupkan di dalam kemerdekaan: diktator dengan melakukan pembunuhan, menjalankan teror dan merampas kemerdekaan,” kata Bung Karno dalam pidatonya .
Soekarno juga murka kepada Amir Sjarifuddin. “Amir itu maunya apa? What will die Amir touch,” tanya Bung Karno, dan direspon Bung Hatta, “Sekarang soalnya adalah soal hidup atau mati. Er op or er onder”.
Pasca peristiwa pemberontakan Madiun 1948, pemerintahan Soekarno melalui tentara langsung melakukan bersih-bersih. Operasi pembersihan orang-orang PKI dan mereka yang terlibat, dipimpin langsung oleh Kolonel Gatot Subroto.
Yang pertama diumumkan TNI adalah berhasil menguasai Madiun. Keamanan di Madiun dan sekitarnya berhasil dikembalikan. Radio Republik Indonesia (RRI) yang sempat dikuasai PKI Muso, juga berhasil direbut kembali.
Gatot Subroto memerintahkan semua perwira, bintara dan prajurit untuk memburu terus mereka semua yang terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun. Sasaran utamanya adalah wilayah Purwodadi, Pacitan, Ponorogo dan Madiun.
“Sementara itu diduga Muso melarikan diri ke Dungus, wilayah Tenggara Madiun dan Amir Sjarifuddin melarikan diri ke Pacitan”.
Muso nekat melawan saat pasukan TNI hendak meringkusnya. Sempat terjadi insiden baku tembak. Muso terkepung di sebuah kamar mandi, tempatnya bersembunyi, tapi tetap menolak menyerah.
Muso ditembak mati. Mayat Muso kemudian dibawa ke Ponorogo untuk dipertontonkan ke public, dan dibakar.
Sementara pelarian Amir Sjarifuddin yang mencoba meloloskan diri melalui rawa-rawa dan hutan-hutan berakhir di tangan pasukan Kemal Idris. Amir menyerah di Desa Kelambu Purwodadi dengan kondisi mengenaskan.
Tubuh bekas perdana menteri Indonesia itu kurus, kepayahan dengan jalan terpincang-pincang. Amir terkena disentri. Setelah dibawa ke Yogyakarta untuk dipertontonkan ke publik, Amir Sjarifuddin kemudian ditembak mati.
Apalagi pemberontakan terjadi di saat bangsa Indonesia tengah sibuk menghadapi serangan kolonialisme Belanda. Peristiwa yang menelan banyak korban jiwa itu dipimpin Musso atau Munawar Muso dan Amir Sjarifuddin bekas perdana menteri dan menteri pertahanan RI.
Meski pemberontakan Madiun berhasil dipadamkan dengan cepat, kemarahan Bung Karno, yakni khususnya terhadap Muso, masih membara.
SK Trimurti dalam bukunya yang berjudul SK Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia (2016) menyebut Bung Karno mengibaratkan Muso sebagai penyakit bisul yang ketika cepat disembuhkan, kondisi akan semakin baik.
Baca Juga
Soekarno mengungkapkan hal itu dalam pidatonya pada 1 Oktober 1948 atau sekitar 12 hari pasca Pemberontakan PKI Madiun.
“Penyakit PKI Muso harus segera dibasmi dari tubuh bangsa. Alangkah besarnya bencana yang mereka telah datangkan. Kesatuan negara telah dikhianati olehnya, nama republik mereka cemarkan di mata dunia, kerusakan material mereka adakan di mana-mana, kerusakan moral mereka lakukan dengan tidak mengindahkan peri kemanusiaan”.
Bung Karno juga menyebut Muso dengan pemberontakan PKI Madiunnya sama halnya mempermainkan kemerdekaan Indonesia.
“PKI Muso mempermainkan kemerdekaan dan akan menyelundupkan di dalam kemerdekaan: diktator dengan melakukan pembunuhan, menjalankan teror dan merampas kemerdekaan,” kata Bung Karno dalam pidatonya .
Soekarno juga murka kepada Amir Sjarifuddin. “Amir itu maunya apa? What will die Amir touch,” tanya Bung Karno, dan direspon Bung Hatta, “Sekarang soalnya adalah soal hidup atau mati. Er op or er onder”.
Pasca peristiwa pemberontakan Madiun 1948, pemerintahan Soekarno melalui tentara langsung melakukan bersih-bersih. Operasi pembersihan orang-orang PKI dan mereka yang terlibat, dipimpin langsung oleh Kolonel Gatot Subroto.
Yang pertama diumumkan TNI adalah berhasil menguasai Madiun. Keamanan di Madiun dan sekitarnya berhasil dikembalikan. Radio Republik Indonesia (RRI) yang sempat dikuasai PKI Muso, juga berhasil direbut kembali.
Gatot Subroto memerintahkan semua perwira, bintara dan prajurit untuk memburu terus mereka semua yang terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun. Sasaran utamanya adalah wilayah Purwodadi, Pacitan, Ponorogo dan Madiun.
“Sementara itu diduga Muso melarikan diri ke Dungus, wilayah Tenggara Madiun dan Amir Sjarifuddin melarikan diri ke Pacitan”.
Muso nekat melawan saat pasukan TNI hendak meringkusnya. Sempat terjadi insiden baku tembak. Muso terkepung di sebuah kamar mandi, tempatnya bersembunyi, tapi tetap menolak menyerah.
Muso ditembak mati. Mayat Muso kemudian dibawa ke Ponorogo untuk dipertontonkan ke public, dan dibakar.
Sementara pelarian Amir Sjarifuddin yang mencoba meloloskan diri melalui rawa-rawa dan hutan-hutan berakhir di tangan pasukan Kemal Idris. Amir menyerah di Desa Kelambu Purwodadi dengan kondisi mengenaskan.
Tubuh bekas perdana menteri Indonesia itu kurus, kepayahan dengan jalan terpincang-pincang. Amir terkena disentri. Setelah dibawa ke Yogyakarta untuk dipertontonkan ke publik, Amir Sjarifuddin kemudian ditembak mati.
(hri)