Kisah Sultan Agung Marah pada Imam Syafi'i Dibalik Pagebluk di Mekkah

Jum'at, 18 Agustus 2023 - 05:30 WIB
loading...
Kisah Sultan Agung Marah pada Imam Syafii Dibalik Pagebluk di Mekkah
Potret Sultan Agung Hanyokrokusumo versi AI. Foto/Instagram @ainusantara
A A A
YOGYAKARTA - Kisah Sultan Agung Hanyokrokusumo yang marah pada Imam Syafi'i menarik untuk diulas. Konon, amarahnya tersebut memicu pagebluk atau wabah di Mekkah.

Diketahui, Sultan Agung (1593-1645) berhasil mengantarkan Kerajaan Mataram Islam menuju puncak kejayaan. Sultan Agung yang memiliki nama kecil Raden Mas Rangsang ini terkenal cerdas dan pemberani.

Bahkan, Sultan Agung pernah 2 kali menyerang Batavia. Kendati gagal, serangan pasukan Mataram sempat membuat kalang kabut pasukan VOC Belanda.

Sultan Agung juga dikenal sebagai raja yang sakti. Dalam Babad Nitik Sarta Cabolek, Sultan Agung memiliki kebiasaan salat Jumat di Mekkah. Atas “karomah” yang dimiliki, Raja Jawa itu setiap Jumat selalu menunaikan ibadah di Tanah Suci.



“Sultan Agung salat di Masjid Mekkah setiap hari Jumat,” demikian yang tertulis di Babad Nitik Sarta Cabolek seperti diringkas de Grave (2001. 176-177).

Suatu hari, usai salat Jumat di Mekkah, Sultan Agung dikisahkan menemui Iman Supingi, seorang ulama besar sekaligus pemegang otoritas Mekkah. Iman Supingi yang dimaksud adalah Imam Syafi’i, salah satu imam dari empat madzab.

Pelafalan Imam Syafi’i dengan Iman Supingi menyesuaikan dengan lidah orang Jawa. Di depan Iman Supingi, Sultan Agung meminta untuk mendirikan sebuah pesarean (makam) di Mekkah.

Sultan Agung berharap ketika tutup usia nanti, ia bisa bermakam di Mekkah yang lokasinya berdekatan dengan makam para nabi. Namun, permintaan yang disampaikan baik-baik itu ditolak.



Dalam cerita legenda yang disampaikan Babad Nitik Sarta Cabolek, Iman Supingi beralasan Sultan Agung tidak layak bermakam di dekat makam nabi karena terlahir dari pertemuan seorang manusia dengan satu jin atau dewa, sehingga dapat meresahkan para nabi.

Sultan Agung tidak bisa menerima alasan yang diutarakan Iman Supingi. Raja Jawa itu seketika tersinggung. “Sultan Agung murka,” demikian yang tertulis dalam buku “Naik Haji di Masa Silam, Tahun 1482-1890”.

Saat itu juga Sultan Agung bertolak ke tanah Jawa. Ia mendatangi pantai selatan, tempat Kanjeng Ratu Kidul atau Nyi Roro Kidul bertahta. Sultan Agung mengadu. Dalam legenda sejarah Mataram Islam, Kanjeng Ratu Kidul merupakan istri raja-raja Jawa.

Kanjeng Ratu Kidul lantas mengusulkan untuk menyerang Mekkah dengan cara menyebarkan wabah penyakit. Sultan Agung yang dalam keadaan emosi, langsung mengiyakan.

“Maka Ratu Kidul memerintahkan kepada dua panglimanya, Nyai Ira Kidul dan Nyai Kidul untuk mengepalai pasukan “lelembut dan teluh” ke Mekkah dan menyebarkan penyakit di sana”.

Dalam riwayat cerita Babad Nitik Sarta Cabolek, disebutkan Kota Mekkah kemudian geger. Malapetaka yang berupa pagebluk meneror tanah suci. Maut tiba-tiba merajalela, tiap hari banyak orang mati tanpa sebab yang jelas.

Para imam berusaha membendung wabah dengan memperbanyak salat dan pengajian. Namun, kematian tak kunjung berhenti.

“Satu-satunya tempat yang tidak kena malapetaka ini adalah Masjidil Haram, dan orang berbondong mencari perlindungan di dalamnya”.

Singkat cerita, Sunan Kalijaga saat salat Jumat di Mekkah mendengar malapateka yang sedang terjadi. Iman Supingi menceritakan, Kota Mekkah diserang wabah penyakit sejak kedatangan Sultan Agung satu bulan sebelumnya.

Sunan Kalijaga berjanji akan memeriksa apakah “cucunya” (Sultan Agung) ada sangkut pautnya dengan pagebluk yang sedang melanda Kota Mekkah.

“Dan Iman Supingi menitipkan serban hitam bekas milik Nabi Muhammad supaya diberikan kepada Sri Sultan, sambil mengatakan bersedia meminta maaf kepadanya,” tulis Babad Nitik Sarta Cabolek.

Begitu kembali ke Jawa, Sunan Kalijaga langsung mendatangi Mataram untuk menghadap Sultan Agung. Dalam pertemuan itu hadir pula Pangeran Purbaya, kakak sultan. Sunan Kalijaga menyampaikan apa yang dikatakan Iman Supingi.

Awalnya, Sultan Agung enggan memberi maaf. Hatinya masih marah. Namun, setelah dibujuk Pangeran Purbaya, ditambah adanya hadiah serban hitam, Raja Jawa itu kemudian bersedia memaafkan.

Sunan Kalijaga menamai serban hitam hadiah itu Tunggul Wulung. Didampingi Sunan Kalijaga, Sultan Agung lantas bertolak ke Mekkah. Saat bertemu Sultan Agung, Iman Supingi menyampaikan permintaan maafnya.

Sultan Agung kemudian menyatakan terima kasih kepada Kanjeng Ratu Kidul dan wabah yang menyerang kota Mekkah seketika sirna. Di Mekkah, Iman Supingi mengizinkan keinginan Sultan Agung untuk mendirikan pesarean.

Namun sebelum hal itu dilakukan, Sunan Kalijaga mengatakan kepada Sultan Agung, rakyat Jawa akan kesulitan memuja Sultan sebagaimana mestinya jika makamnya berada di Mekkah. Sebagai solusi, Sunan Kalijaga mengambil segumpal tanah dari pesarean nabi-nabi dan membungkusnya dengan kain.

Dengan karomahnya, segumpal tanah itu kemudian dilempar ke Pulau Jawa. “Sambil menjelaskan kepada Sultan, di mana tanah itu jatuh, di situlah pesarean boleh dibuka”.

Gumpalan tanah Mekkah itu jatuh di Gunung Girilaya. Saat Sultan Agung mendatangi lokasi, ia keduluan Sultan Cirebon yang menyatakan ingin bermakam di situ karena tanahnya keramat.

“Silakan, kata Sultan Agung, dan Sultan Cirebon mangkat seketika”. Sultan Agung sudah rela saat meninggal tidak dimakamkan di Mekkah. Sunan Kalijaga kemudian kembali melemparkan segumpal tanah.

Gumpalan tanah itu jatuh di bukit Imogiri. Di tanah keramat itu Sunan Kalijaga dengan kesaktiannya membuat mata air memancur dari batu. Di Imogiri tersebut Sultan Agung kemudian mendirikan pesarean raja-raja Mataram Islam dan keluarganya hingga sekarang.
(hri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1226 seconds (0.1#10.140)