Siraman Panjang, Tradisi Mencuci Piring Peninggalan Sunan Gunung Jati

Jum'at, 09 Desember 2016 - 05:00 WIB
Siraman Panjang, Tradisi Mencuci Piring Peninggalan Sunan Gunung Jati
Siraman Panjang, Tradisi Mencuci Piring Peninggalan Sunan Gunung Jati
A A A
Tradisi Siraman Panjang yang mendahului puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW digelar Keraton Kasepuhan Cirebon, Selasa (6 Desember 2016).

Sesuai namanya, dalam tradisi ini, piring-piring (panjang) berukuran besar dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan air. Secara keseluruhan, tradisi itu mengingatkan keberadaan air sebagai sumber kehidupan.

Terdapat sekitar 40 piring bernilai pusaka yang dibersihkan. Selain piring, dibersihkan pula guci serta botol-botol pusaka lain. Seluruh barang pusaka itu diyakini sebagai peninggalan masa Sunan Gunung Jati yang telah berusia ratusan tahun.

Siraman Panjang merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar keraton-keraton di Cirebon, salah satunya Keraton Kasepuhan. Pada puncaknya, akan dilaksanakan tradisi Panjang Jimat yang merupakan pawai alegoris kelahiran manusia laki-laki di malam hari, dalam hal ini Nabi Muhammad SAW.

Saat Panjang Jimat itulah, piring yang dicuci dalam Siraman Panjang akan dijadikan tempat nasi jimat. Sementara, guci akan diisi air serbat yakni air gula yang kemudian akan dibagikan kepada wargi dan masyarakat.

Siraman Panjang diawali iring-iringan kaum dan abdi dalem yang membawa benda-benda pusaka dari tempat penyimpanan di gudang pusaka, di bagian belakang Bangsal Keraton Kasepuhan. Semua benda itu dibungkus kain putih.

Di Bangsal Pungkuran Keputren, semua benda pusaka diletakkan di atas meja. Di tengah ruangan, terdapat sebuah bak kayu berisi air, sementara keluarga dan kerabat keraton duduk mengelilinginya. Satu per satu benda pusaka dicuci dan diakhiri doa bersama.

Siraman Panjang, Tradisi Mencuci Piring Peninggalan Sunan Gunung Jati


Begitu seluruh prosesi yang sakral itu selesai, pintu belakang keputren dibuka. Bersamaan dengan hal tersebut, puluhan warga yang telah menanti di depan pintu bangsal langsung menyerbu bak air bekas cucian.

Mereka berusaha menampung air bekas cucian benda pusaka itu menggunakan botol, ember, maupun kantong plastik, yang dibawanya. Sebagian dari mereka bahkan menyiramkannya langsung ke badan, ada pula yang hanya membasuhkannya ke wajah.

Selama bertahun-tahun mereka meyakini air tersebut mengandung berkah yang diharapkan 'bersemayam' di tubuh masing-masing. "Katanya airnya punya berkah, semoga tahun ini rizki saya dan keluarga nambah," tutur seorang warga Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Ibnu, yang membawa beberapa botol bekas.

Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat menerangkan, air dalam prosesi Siraman Panjang mengandung makna penting, terutama dalam ajaran Islam. Hampir semua makhluk hidup berunsur air.

"Dalam Islam, media air penting. Setidaknya 80% tubuh makhluk hidup berupa cairan," katanya.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW selalu mendoakan orang sakit dengan media air. Inilah sebabnya di Mekkah terdapat air zamzam. Menurut dia, sebuah penelitian pernah menyatakan, air yang dicampurkan dalam kata-kata yang baik, strukturnya akan berubah menjadi baik pula.

"Pada setiap piring yang dicuci dalam tradisi ini, terdapat kaligrafi yang tercetak di permukaannya," ujarnya.

Kaligrafi tersebut berisi kalimat-kalimat baik, seperti halnya syahadat maupun selawat. Dengan begitu, lanjutnya, diyakini kalimat baik tersebut berimbas pula pada air yang digunakan untuk membasuh piring dan benda pusaka lainnya.

Hal itulah yang membuat warga meyakini air basuhan benda pusaka mengandung berkah. Apalagi, dalam tradisi Siraman Panjang dilakukan pula doa bersama sehingga diharapkan ada keberkahan.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3889 seconds (0.1#10.140)