Kharisma Raden Asnawi, Ulama Kudus yang Mampu Usir Musuh dari Jarak Jauh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bagi warga Kudus, khususnya dan masyarakat Jawa umumnya, Kiai Haji Raden Asnawi merupakan sosok paling dikenal. Namanya tercatat dalam deretan kiai-kiai besar lainnya seperti Kiai H Irsyad Naib Mayong, Kiai H Saleh Darat Semarang, Kiai H Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Selain sebagai tokoh NU, Kiai Haji Raden Asnawi juga dikenal lewat karyanya yang menjadi rujukan para pelajar dan mahasiswa yang mendalam ilmu agama.
Karya dan peninggalannya yang kini terus dijadikan rujukan antara lain Kitab Fashalatan, Kitab Soal Jawab Mu’takad Seket, Syair Nasionalisme Relijius, dan Shalawat Asnawiyah. Jejak keilmuan lewat karyanya itu yang kini dikenal banyak kalangan terpelajar. Baca Juga: Karomah Kiai Haji Raden Asnawi
Tidak hanya itu yang membuat dia terkenal. Cerita-cerita seputar karomahnya yang membuat para kolonial ketar-ketir dan lari meski dia masih jauh, memiliki daya pikat tersendiri. Kisah-kisah itu membuatnya dikagumi. Lantas, siapa sesungguhnya Kiai Haji Raden Asnawi ini?
KH Raden Asnawi lahir pada 1861, di Kudus, Jawa Tengah dengan nama Raden Ahmad Syamsi. Dia merupakan putra dari pasangan H Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah.
Raden Ahmad Syamsi termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-lima dari Kiai Haji Mutamakin seorang wali di Desa Kajen, Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Konon, sang ayah Abdullah Husnin menginginkan kelak Raden Ahmad Syamsi anaknya ahli di bidang agama dan piawai dalam berdagang.
Karena itu, sang ayah menggemblengnya sendiri dengan mengajari anaknya berdagang. Pada 1876, orang tuanya memboyong ke Tulungagung, Jawa Timur. Husnin mengajari Syamsi ilmu berdagang saat pagi hari, dan saat sore hingga malam mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung.
Sesudah mendapat asuhan dari orang tuanya, dia kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kiai H Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum menunaikan ibadah haji.
Sewaktu umur 25 tahun dia menunaikan ibadah haji yang pertama. Di Mekkah dia berguru dengan Kiai H Saleh Darat Semarang, Kiai H Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Sepulang dari haji pertama pada 1886, namanya diganti jadi Raden Haji Ilyas dan mulai mengajar serta melakukan tabligh agama. Pada umur 30 tahun dia kembali diajak ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci.
Sayangnya, pada saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya. Kendati demikian, dia tidak patah arang. Niatnya untuk bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun.
Selama itu dia juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat.
Ibunya wafat di Kudus sewaktu dia telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya. Pada haji kali ketiga ini namanya pun berganti jadi Kiai Haji Raden Asnawi.
Beberapa karomah yang dimilikinya adalah, membuat gentar penjajah Belanda. Kiai Haji Raden Asnawi sempat ditahan oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai penggerak kerusuhan.
Konon saat di penjara itulah KH Raden Asnawi banyak menghabiskan waktu untuk mengajar ilmu agama dan membaca shalawat kepada para penghuni penjara.
Petugas penjara tidak sanggup menjaga KH Raden Asnawi karena setiap saat membaca shalawat. Aktivitasnya itu membuat ruangannya dibanjiri warga yang ingin belajar agama. Hingga para penjaga penjara menyerah dan akhirnya KH Raden Asnawi dibebaskan.
Tidak hanya itu, karomah lain yang dimiliki KH Raden Asnawi adalah kemampuannya membuat musuh-musuhnya lari ketakutan dari jarak jauh. Hal itu dibuktikan ketika KH Raden Asnawi hendak ditangkap oleh penjajah untuk ketiga kalinya.
Para penjajah kabur karena takut sebelum menangkap KH Raden Asnawi. Karena sering masuk penjara namun selalu berakhir bebas. Selama hidup, KH R Asnawi memiliki pendirian teguh.
Kehidupan dia dihabiskan untuk menegakkan Islam. Beberapa daerah menjadi lokasi dakwahnya. Di antaranya, Kudus, Jepara, Demak, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, Blora dan lainnya.
KH R Asnawi juga aktif mengikuti pertemuan ulama nasional mulai 1926-1956. Pada Muktamar NU XII di Jakarta, KH R Asnawi mengikuti kegiatan. Dia menginap di rumah H Zen Muhammad, adik kandung KH Mustain di Jalan H Agus Salim Jakarta. Muktamar digelar 12-18 Desember 1959.
Saat KH Mustain menjemput KH R Asnawi untuk datang ke lokasi muktamar. KH Mustain mendengar kalimat yang tak biasa. “Hai Mustain, inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam Muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.”
Tercenganglah KH Mustain. “Kalau kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan doanya.”
Benar saja, pada pukul 02.30 WIB Sabtu (26/12/1959) itu, KH R Asnawi bangun dari tidurnya untuk mengambil air wudu. Istrinya, Hamdanah menemaninya.
Setelah itu, KH R Asnawi kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tak berdaya dan mengembuskan nafasnya sekitar pukul 03.00 WIB.
Selain sebagai tokoh NU, Kiai Haji Raden Asnawi juga dikenal lewat karyanya yang menjadi rujukan para pelajar dan mahasiswa yang mendalam ilmu agama.
Karya dan peninggalannya yang kini terus dijadikan rujukan antara lain Kitab Fashalatan, Kitab Soal Jawab Mu’takad Seket, Syair Nasionalisme Relijius, dan Shalawat Asnawiyah. Jejak keilmuan lewat karyanya itu yang kini dikenal banyak kalangan terpelajar. Baca Juga: Karomah Kiai Haji Raden Asnawi
Tidak hanya itu yang membuat dia terkenal. Cerita-cerita seputar karomahnya yang membuat para kolonial ketar-ketir dan lari meski dia masih jauh, memiliki daya pikat tersendiri. Kisah-kisah itu membuatnya dikagumi. Lantas, siapa sesungguhnya Kiai Haji Raden Asnawi ini?
KH Raden Asnawi lahir pada 1861, di Kudus, Jawa Tengah dengan nama Raden Ahmad Syamsi. Dia merupakan putra dari pasangan H Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah.
Raden Ahmad Syamsi termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-lima dari Kiai Haji Mutamakin seorang wali di Desa Kajen, Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Konon, sang ayah Abdullah Husnin menginginkan kelak Raden Ahmad Syamsi anaknya ahli di bidang agama dan piawai dalam berdagang.
Karena itu, sang ayah menggemblengnya sendiri dengan mengajari anaknya berdagang. Pada 1876, orang tuanya memboyong ke Tulungagung, Jawa Timur. Husnin mengajari Syamsi ilmu berdagang saat pagi hari, dan saat sore hingga malam mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung.
Sesudah mendapat asuhan dari orang tuanya, dia kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kiai H Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum menunaikan ibadah haji.
Sewaktu umur 25 tahun dia menunaikan ibadah haji yang pertama. Di Mekkah dia berguru dengan Kiai H Saleh Darat Semarang, Kiai H Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Sepulang dari haji pertama pada 1886, namanya diganti jadi Raden Haji Ilyas dan mulai mengajar serta melakukan tabligh agama. Pada umur 30 tahun dia kembali diajak ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci.
Sayangnya, pada saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya. Kendati demikian, dia tidak patah arang. Niatnya untuk bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun.
Selama itu dia juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat.
Ibunya wafat di Kudus sewaktu dia telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya. Pada haji kali ketiga ini namanya pun berganti jadi Kiai Haji Raden Asnawi.
Beberapa karomah yang dimilikinya adalah, membuat gentar penjajah Belanda. Kiai Haji Raden Asnawi sempat ditahan oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai penggerak kerusuhan.
Konon saat di penjara itulah KH Raden Asnawi banyak menghabiskan waktu untuk mengajar ilmu agama dan membaca shalawat kepada para penghuni penjara.
Petugas penjara tidak sanggup menjaga KH Raden Asnawi karena setiap saat membaca shalawat. Aktivitasnya itu membuat ruangannya dibanjiri warga yang ingin belajar agama. Hingga para penjaga penjara menyerah dan akhirnya KH Raden Asnawi dibebaskan.
Tidak hanya itu, karomah lain yang dimiliki KH Raden Asnawi adalah kemampuannya membuat musuh-musuhnya lari ketakutan dari jarak jauh. Hal itu dibuktikan ketika KH Raden Asnawi hendak ditangkap oleh penjajah untuk ketiga kalinya.
Para penjajah kabur karena takut sebelum menangkap KH Raden Asnawi. Karena sering masuk penjara namun selalu berakhir bebas. Selama hidup, KH R Asnawi memiliki pendirian teguh.
Kehidupan dia dihabiskan untuk menegakkan Islam. Beberapa daerah menjadi lokasi dakwahnya. Di antaranya, Kudus, Jepara, Demak, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, Blora dan lainnya.
KH R Asnawi juga aktif mengikuti pertemuan ulama nasional mulai 1926-1956. Pada Muktamar NU XII di Jakarta, KH R Asnawi mengikuti kegiatan. Dia menginap di rumah H Zen Muhammad, adik kandung KH Mustain di Jalan H Agus Salim Jakarta. Muktamar digelar 12-18 Desember 1959.
Saat KH Mustain menjemput KH R Asnawi untuk datang ke lokasi muktamar. KH Mustain mendengar kalimat yang tak biasa. “Hai Mustain, inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam Muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.”
Tercenganglah KH Mustain. “Kalau kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan doanya.”
Benar saja, pada pukul 02.30 WIB Sabtu (26/12/1959) itu, KH R Asnawi bangun dari tidurnya untuk mengambil air wudu. Istrinya, Hamdanah menemaninya.
Setelah itu, KH R Asnawi kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tak berdaya dan mengembuskan nafasnya sekitar pukul 03.00 WIB.
(don)