Kisah Gelar Raja Muda Majapahit Hayam Wuruk saat Naik Tahta Gantikan Tribhuwana Tunggadewi
loading...
A
A
A
RAJA Hayam Wuruk naik tahta menjadi pemimpin Kerajaan Majapahit di usia muda. Catatan sejarah, Hayam Wuruk dinobatkan menjadi Raja Majapahit ketika masih berusia sekitar 16-17 tahun.
Kakawin Nagarakretagama juga mengisahkan hal demikian perihal naik tahtanya Hayam Wuruk menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi.
Hayam Wuruk yang memiliki nama lain Raden Tetep sebagaimana dikisahkan Kakawin Pararaton memiliki gelar Abhiseka Sri Rajasanagara ketika naik tahta jadi raja.
Sebelum menjadi raja, konon Hayam Wuruk kerap memainkan peran wanita dalam kesenian yang ia mainkan.
Prof Slamet Muljana pada "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit" mengisahkan bagaimana kehidupan sang raja muda sebelum bertahta.
Hayam Wuruk muda konon yang masih anak baru gede (ABG) konon memiliki gelar Tirtaraju ketika menjadi dalang.
Kalau menari, memainkan peran wanita, sebagai Pager Antimun, kalau jadi pelawak dalam wayang, mengambil peran Gagak Katawang. Sebagai pemeluk agama Siwa dikenal sebagai Janeswara.
Setelah dinobatkan sebagai raja, mengambil nama Abhiseka Sri Rajasanagara. Gelar itu muncul setelah dinobatkan sebagai yuwaraja di Kahuripan, ialah Sri Rajasanagara.
Nama Abhiseka Sri Rajasanagara tetap digunakan sampai akhir hidupnya.
Nama gelar itusering dipersatukan dengan nama Garbhopatinya Dyah Hayam Wuruk. Penggabungan nama Abhiseka dengan nama Garbhopati adalah peristiwa biasa dalam masyarakat Majapahit, bahkan juga dalam masyarakat Jawa hingga zaman sekarang.
Pada Kakawin Nagarakretagama pupuh 1/4 menyatakan, dengan tegas bahwa Dyah Hayam Wuruk lahir pada Tahun Saka 1256 atau sama dengan 1334 Masehi.
Hayam Wuruk hanya mempunyai seorang saudara perempuan dikenal sebagai Bhre Pajang. Selanjutnya Bhre Pajang kawin dengan Raden Sumana, Bhatara di Paguhan yang mengambil nama Abhiseka Singawardhana.
Sebagai raja juga disebut Hyang Wekasing Suka, gelar atau nama tambahan itu dengan sendirinya tidak pernah tercantum dalam prasasti.
Hanya gelar Hyang Wekasing Suka pernah satu kali disebut pada suatu prasasti yang diperbarui oleh Sri Wikramawardhana sepeninggal Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk.
Dyah Hayam Wuruk telah dinobatkan sebagai Yuwaraja di Kahuripan waktu masih kanak-kanak dan diberi nama Abhiseka Sri Rajasanagara. Baru setelah mendaki usia dewasa sekitar 16-17 Hayam Wuruk resmi dinobatkan sebagai Raja Majapahit menggantikan ibunya.
Pentabalan atau pelantikan Hayam Wuruk berlangsung kira-kira pada pertengahan tahun 1351. Mengingat pada tanggal 27 April 1351 Tribhuwanatunggadewi masih memegang kekuasaan tertinggi sebagai raja Majapahit seperti dinyatakan pada prasasti Singasari.
Tribhuwana Tunggadewi masih tetap menjadi penasihat utamanya ketika Hayam Wuruk memegang pimpinan pemerintahan.
Hal itu disebut dalam prasasti Bendasari (OJO LXXXV) yang menyatakan bahwa Dyah Hayam Wuruk diiringkan oleh Tribhuwanatunggadewi ketika mengeluarkan perintah untuk membuat jaya song demi kepentingan Ki Panji Sarana.
Lihat Juga: Kisah Raja Kediri Jayabaya Serang Jenggala Demi Kuasai Bandar Dagang Terbesar di Pulau Jawa
Kakawin Nagarakretagama juga mengisahkan hal demikian perihal naik tahtanya Hayam Wuruk menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi.
Hayam Wuruk yang memiliki nama lain Raden Tetep sebagaimana dikisahkan Kakawin Pararaton memiliki gelar Abhiseka Sri Rajasanagara ketika naik tahta jadi raja.
Sebelum menjadi raja, konon Hayam Wuruk kerap memainkan peran wanita dalam kesenian yang ia mainkan.
Prof Slamet Muljana pada "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit" mengisahkan bagaimana kehidupan sang raja muda sebelum bertahta.
Hayam Wuruk muda konon yang masih anak baru gede (ABG) konon memiliki gelar Tirtaraju ketika menjadi dalang.
Kalau menari, memainkan peran wanita, sebagai Pager Antimun, kalau jadi pelawak dalam wayang, mengambil peran Gagak Katawang. Sebagai pemeluk agama Siwa dikenal sebagai Janeswara.
Setelah dinobatkan sebagai raja, mengambil nama Abhiseka Sri Rajasanagara. Gelar itu muncul setelah dinobatkan sebagai yuwaraja di Kahuripan, ialah Sri Rajasanagara.
Nama Abhiseka Sri Rajasanagara tetap digunakan sampai akhir hidupnya.
Nama gelar itusering dipersatukan dengan nama Garbhopatinya Dyah Hayam Wuruk. Penggabungan nama Abhiseka dengan nama Garbhopati adalah peristiwa biasa dalam masyarakat Majapahit, bahkan juga dalam masyarakat Jawa hingga zaman sekarang.
Pada Kakawin Nagarakretagama pupuh 1/4 menyatakan, dengan tegas bahwa Dyah Hayam Wuruk lahir pada Tahun Saka 1256 atau sama dengan 1334 Masehi.
Hayam Wuruk hanya mempunyai seorang saudara perempuan dikenal sebagai Bhre Pajang. Selanjutnya Bhre Pajang kawin dengan Raden Sumana, Bhatara di Paguhan yang mengambil nama Abhiseka Singawardhana.
Sebagai raja juga disebut Hyang Wekasing Suka, gelar atau nama tambahan itu dengan sendirinya tidak pernah tercantum dalam prasasti.
Hanya gelar Hyang Wekasing Suka pernah satu kali disebut pada suatu prasasti yang diperbarui oleh Sri Wikramawardhana sepeninggal Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk.
Dyah Hayam Wuruk telah dinobatkan sebagai Yuwaraja di Kahuripan waktu masih kanak-kanak dan diberi nama Abhiseka Sri Rajasanagara. Baru setelah mendaki usia dewasa sekitar 16-17 Hayam Wuruk resmi dinobatkan sebagai Raja Majapahit menggantikan ibunya.
Pentabalan atau pelantikan Hayam Wuruk berlangsung kira-kira pada pertengahan tahun 1351. Mengingat pada tanggal 27 April 1351 Tribhuwanatunggadewi masih memegang kekuasaan tertinggi sebagai raja Majapahit seperti dinyatakan pada prasasti Singasari.
Tribhuwana Tunggadewi masih tetap menjadi penasihat utamanya ketika Hayam Wuruk memegang pimpinan pemerintahan.
Hal itu disebut dalam prasasti Bendasari (OJO LXXXV) yang menyatakan bahwa Dyah Hayam Wuruk diiringkan oleh Tribhuwanatunggadewi ketika mengeluarkan perintah untuk membuat jaya song demi kepentingan Ki Panji Sarana.
Lihat Juga: Kisah Raja Kediri Jayabaya Serang Jenggala Demi Kuasai Bandar Dagang Terbesar di Pulau Jawa
(shf)