Hanyakrakusuma, Sultan Agung Mataram yang Tak Gentar Tantang Belanda
loading...
A
A
A
Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah raja Mataram yang dua kali melakukan penyerangan kompeni di Batavia. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika. Dia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang.
Hanyakrakusuma adalah putra dari Susuhunan Anyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari Kesultanan Mataram. Sedangkan ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, raja terakhir dari Kesultanan Pajang.
Versi lain mengatakan Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu Ki Ageng Giring. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.
Baca juga: Jejak Kebengisan Amangkurat I, Bunuh Ribuan Ulama karena Takut Kehilangan Takhta
Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu Ki Juru Martani.
Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai Amangkurat I.
Kuasai Jawa dan Kalimantan
Hanyakrakusuma memerintah kerajaan sejak 1613 sampai tahun 1645. Ia menguasai seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, sebagian Jawa Barat dan daerah Sukadana di Pulau Kalimantan.
Sultan hendak melanjutkan cita-cita eyangnya (panembahan Senopati) mempersatukan seluruh Pulau Jawa termasuk Banten dan Batavia. Namun cita-cita ini selalu dihalang-halangi oleh VOC atau Kompeni Belanda.
Sultan merasa VOC sebagai duri dalam daging yang akan selalu mengancam, sehingga Batavia harus diserang lebih dahulu. Serangan pertama dilakukan tahun 1628 namun belum berhasil menguasai Batavia.
Setahun kemudian, 1629 Sultan mengulangi serangannya terhadap Batavia dengan persiapan yang lebih matang. Namun dengan kelicikannya VOC dapat menggagalkan lagi serangan itu, walaupun pada serangan kedua itu J.P. Coen terbunuh, entah karena sakit atau terbunuh oleh prajurit Mataram.
Setelah dua kali gagal sultan mencurahkan tenaga sepenuhnya untuk pembangunan Kerajaan Mataram. Walaupun banyak mengalami peperangan, mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusumo mengalami puncak kejayaan kebudayaan, kesenian dan kesusastraan maju dengan pesat.
Selama itu pula VOC atau kompeni Belanda tidak berhasil menjejakkan sepatu kekuasaannya di bumi Mataram.
Pada masa pemerintahannya, banyak unsur-unsur kebudayaan lama yang disesuaikan dengan agama Islam di antaranya perayaan ggrebeg disesuaikan dengan hari-hari raya Islam (Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad S.A.w.).
Sekaten disesuaikan dengan hari Maulid Nabi Muhammad S.A.W., tahun Saka yang digunakan disesuaikan dengan Tahun Hijriah atau Tahun Islam.
Rakyat makmur dan senang menikmati hasil karya kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Tahun 1645 Sultan Agung Hanyakrakusuma wafat dan meninggalkan Mataram dalam puncak kejayaan dan kemakmurannya dan dimakamkan di Imogiri, yang selanjutnya menjadi makam raja-raja Surakarta dan Yogyakarta beserta keluarganya. Di Jakarta, namanya dijadikan nama jalan di daerah Manggarai, Jakarta Selatan.(diolah dari berbagai sumber)
Hanyakrakusuma adalah putra dari Susuhunan Anyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari Kesultanan Mataram. Sedangkan ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, raja terakhir dari Kesultanan Pajang.
Versi lain mengatakan Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu Ki Ageng Giring. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.
Baca juga: Jejak Kebengisan Amangkurat I, Bunuh Ribuan Ulama karena Takut Kehilangan Takhta
Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu Ki Juru Martani.
Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai Amangkurat I.
Kuasai Jawa dan Kalimantan
Hanyakrakusuma memerintah kerajaan sejak 1613 sampai tahun 1645. Ia menguasai seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, sebagian Jawa Barat dan daerah Sukadana di Pulau Kalimantan.
Sultan hendak melanjutkan cita-cita eyangnya (panembahan Senopati) mempersatukan seluruh Pulau Jawa termasuk Banten dan Batavia. Namun cita-cita ini selalu dihalang-halangi oleh VOC atau Kompeni Belanda.
Sultan merasa VOC sebagai duri dalam daging yang akan selalu mengancam, sehingga Batavia harus diserang lebih dahulu. Serangan pertama dilakukan tahun 1628 namun belum berhasil menguasai Batavia.
Setahun kemudian, 1629 Sultan mengulangi serangannya terhadap Batavia dengan persiapan yang lebih matang. Namun dengan kelicikannya VOC dapat menggagalkan lagi serangan itu, walaupun pada serangan kedua itu J.P. Coen terbunuh, entah karena sakit atau terbunuh oleh prajurit Mataram.
Setelah dua kali gagal sultan mencurahkan tenaga sepenuhnya untuk pembangunan Kerajaan Mataram. Walaupun banyak mengalami peperangan, mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusumo mengalami puncak kejayaan kebudayaan, kesenian dan kesusastraan maju dengan pesat.
Selama itu pula VOC atau kompeni Belanda tidak berhasil menjejakkan sepatu kekuasaannya di bumi Mataram.
Pada masa pemerintahannya, banyak unsur-unsur kebudayaan lama yang disesuaikan dengan agama Islam di antaranya perayaan ggrebeg disesuaikan dengan hari-hari raya Islam (Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad S.A.w.).
Sekaten disesuaikan dengan hari Maulid Nabi Muhammad S.A.W., tahun Saka yang digunakan disesuaikan dengan Tahun Hijriah atau Tahun Islam.
Rakyat makmur dan senang menikmati hasil karya kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Tahun 1645 Sultan Agung Hanyakrakusuma wafat dan meninggalkan Mataram dalam puncak kejayaan dan kemakmurannya dan dimakamkan di Imogiri, yang selanjutnya menjadi makam raja-raja Surakarta dan Yogyakarta beserta keluarganya. Di Jakarta, namanya dijadikan nama jalan di daerah Manggarai, Jakarta Selatan.(diolah dari berbagai sumber)
(msd)