Jejak Kebengisan Amangkurat I, Bunuh Ribuan Ulama karena Takut Kehilangan Takhta

Jum'at, 26 Mei 2023 - 08:08 WIB
loading...
Jejak Kebengisan Amangkurat...
Jejak kelam Raja Mataram, Amangkurat I yang membantai ulama, adik hingga mertua demi membuat mereka patuh. Foto: Dok/SINDOnews
A A A
Takhta Kerajaan Mataram beralih kepada Raden Mas Sayidin yang bergelar Sultan Amangkurat I, setelah ayahnya Sultan Agung mangkat pada 1645. Pada masa inilah kejayaan Kerajaan Mataram berangsur surut.

Tanda-tanda Keruntuhan Kejayaan Mataram selama dipimpin Sultan Agung, semakin pudar saat dipimpin anaknya Amangkurat I. Boleh dikatakan, Amangkurat I naik takhta tanpa memiliki keutamaan sebagai raja. Baru dua tahun dia memerintah, gejolak di kerajaan mulai muncul. Raja mengatasinya dengan pendekatan kekerasan dan brutal.

Keutamaan yang dimiliki mendiang ayahnya Sultan Agung, sedikit pun tidak diwariskan kepada Amangkurat I. Seperti ditulis Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) bahwa sebagai pemimpin, Amangkurat I tidak memiliki kreativitas.“Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai. ”



Di tangan Amangkurat I, menjadi sejarah kelam dan tidak beradab Kerajaan Mataram. Masa-masa pemerintahannya penuh dengan rasa waswas, cemas, dan takut, tidak hanya di kalangan pembesar istanah tapi juga kaum rakyat jelata.

Dalam Babad Tanah Jawi digambarkan suasana kelam masa pemerintahannya. “Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman.”



Dan dalam Serat Jaya Baya, Amangkurat I dilukiskan sebagai Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" artinya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh.

Puncak dari kelaliman Raja Amangkurat I terjadi di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram , pada 1647, dua tahun setelah ayahnya Sultan Agung wafat.

Dia memerintahkan agar membunuh semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram. Semua itu berawal dari rasa cemas Amangkurat I yang kemudian menimbulkan dendam. Ia cemas akan kehilangan kekuasaan yang terus menghantuinya.



Dikisahkan, sebelum dia mengambil keputusan untuk menghabisi para ulama, raja menyepi sendirian di pendopo istanah. Pikirannya suntuk karena memikirkan siasat untuk mempertahankan takhta. Sebab dua hari sebelumnya, adiknya yang bernama Raden Mas Alit melakukan kudeta. Dalam kudeta yang gagal itu, Alit tewas terbunuh pasukannya.

Setelah menemukan siasat, Amangkurat I lalu memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap dirinya. Kepada keempat pejabat kepercayaannya itu, raja mengutarakan niatnya. Keempat orang itu adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wiranata. Kepada mereka, sang raja berharap niat balas dendam tereksekusi dengan baik.

Sebagaimana ditulis sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), dikatakan bahwa raja berpesan agar tak seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram lolos dari aksi kejam itu.

Rencana eksekusi disiapkan sangat matang. Misalnya, nama ulama dan keluarganya yang menjadi target operasi harus dicatat. Demikian juga alamat-alamat mereka. Bagi Amangkurat I, aksi ini langkah efektif agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.

Saat hari pelaksanaan eksekusi tiba, anak buah keempat orang kepercayaan raja disebar ke empat penjuri mata angin. Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan ditandai dengan letusan meriam dari istana.



Berkat persiapan matang, eksekusi berjalan lancar. Dalam waktu tidak lebih 30 menit, 6.000 ulama tewas ditikam para serdadu yang dipimpin oleh keempat orang kepercayaan raja.

Sejarawan van Goens dalam catatannya menulis, "Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.” Juga ditulis bahwa selama aksi pembunuhan berlangsung, raja mengurung diri di istanah. Dia bertingkah seolah tidak mengetahui apa yang terjadi di luar istana.

Sehari setelah pembantaian berlangsung, raja tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut. "Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam. Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Sunan,” catat van Goens.

Amangkurat I balik menuduh ulama yang bersekongkol membunuh adiknya Pangeran Alit. Ia seolah membenarkan bahwa pembunuhan terhadap para ulama sebagai balasan setimpal atas kematian adiknya.

Sumber: dok.sindonews
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1893 seconds (0.1#10.140)