Perjuangan Dokter Spesialis Kandungan Satu-satunya di Fakfak, Ditolak Warga hingga Naik Perahu Bawa Genset
loading...
A
A
A
JALAN terjal dilalui dr Amira Abdat SpOG, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Surabaya yang kini mengabdikan diri di daerah terpencil. Ia menjadi satu-satunya dokter spesialis kandungan di Fakfak, Papua Barat.
Melalui konten edukasi kesehatan reproduksi dan ibu hamil di sosial media, ia menjalankan misi kemanusiaan. Amira mendapat beasiswa dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2015 silam untuk melanjutkan pendidikan spesialisnya di Unair.
Ia menuntaskan studi S1 kedokteran di Universitas Trisakti 2012 silam. Kemudian 2013 hingga 2015 menjadi dokter umum dan mendapat penempatan di puskesmas pelosok FakFak.
“Saya mengamati dokter spesialis kandungan di sana tidak ada yang menetap sehingga ada dan tiada. Dengan segala urgensi yang ada, saya belum cukup ilmu untuk menggantikannya, sehingga saya melanjutkan spesialis di Unair dari 2015 hingga 2020. Selepas pendidikan hingga hari ini saya kembali mengabdikan diri di Fakfak, Papua,” katanya, Selasa (16/5/2023).
Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) itu melaporkan terdapat 95.000 jumlah penduduk di fakfak dan 50 persennya adalah perempuan.
Dengan kondisi sulitnya akses pemeriksaan kehamilan, banyaknya kekerasan seksual, hingga meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
“Kehadiran kami, selain pengobatan, juga penyuluhan terkait seks pra-nikah. Sebab dari fenomena yang ada, kebanyakan saat hamil anak ketiga, sang ibu baru dinikahi suami. Itu pun secara siri dan sudah dinormalisasi. Terlepas dari minimnya hiburan, mereka melakukan hubungan seksual tanpa dibekali pengetahuan,” jelasnya.
Kondisi itu diperparah dengan penolakan penduduk terhadap dokter maupun tenaga medis. Sebab, kebiasaan penduduk yang lebih tertarik ke dukun daripada tempat pelayanan kesehatan.
Tak mengherankan, lantaran jarak tempuh dari kampung ke kota menghabiskan waktu berjam-jam. Banyak pula penduduk yang belum memiliki kartu BPJS.
“Jangankan BPJS, akta kelahiran, kartu keluarga dan berkas administratif lainnya. Mereka cenderung belum memiliki,” jelasnya.
Dokter asal Bogor ini memaparkan RSUD Fakfak bertipe C dengan alat kesehatan sesuai standar akreditasi dan memiliki empat dokter dasar. Antara lain dokter bedah, penyakit dalam, kandungan, dan anak.
Bagi Amira, meski fasilitas belum sempurna tapi terbilang cukup lengkap. Kondisi itu perlahan berubah dengan kehadiran Gerakan Jemput Bola yang Amira inisiasi bersama timnya untuk melayani pasien hingga pedalaman yang tidak terjangkau puskesmas.
Pihaknya selama 4-6 jam melewati perjalanan laut menggunakan perahu yang bermuatan lima orang. Berhadapan dengan angin kencang, ombak, hujan deras sembari membawa BBM untuk genset agar bisa menghidupkan alat USG karena tidak ada listrik.
Ia mengatakan persalinan itu melibatkan dua nyawa, sehingga kami datang untuk merangkul mama biang (dukun), ibu kader, dan ibu hamil sebagai keluarga. Sebelum ke pasien, kami menjalin kedekatan emosional dengan mama biangnya. Dengan memberikan forceps, underpad, dan alat persalinan steril lainnya.
“Walaupun kita tidak menganjurkan mereka lahir di rumah. Tetapi setidaknya dalam kondisi emergency mama biang bisa menangani. Selain itu, dalam tim saya ada orang dinkes yang siap bergerak untuk membantu administrasi termasuk BPJS, jadi sambil menyelam minum air,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, pelayanan door to door dan heart to heart membuahkan hasil. Tak ayal, 60 persen Angka Kematian Ibu dan Anak (AKI) teratasi, mama biang-pun teredukasi. Lalu sebagai rasa syukur, pasien yang melahirkan-pun banyak yang memberi nama anaknya Amira.
Melalui konten edukasi kesehatan reproduksi dan ibu hamil di sosial media, ia menjalankan misi kemanusiaan. Amira mendapat beasiswa dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2015 silam untuk melanjutkan pendidikan spesialisnya di Unair.
Ia menuntaskan studi S1 kedokteran di Universitas Trisakti 2012 silam. Kemudian 2013 hingga 2015 menjadi dokter umum dan mendapat penempatan di puskesmas pelosok FakFak.
“Saya mengamati dokter spesialis kandungan di sana tidak ada yang menetap sehingga ada dan tiada. Dengan segala urgensi yang ada, saya belum cukup ilmu untuk menggantikannya, sehingga saya melanjutkan spesialis di Unair dari 2015 hingga 2020. Selepas pendidikan hingga hari ini saya kembali mengabdikan diri di Fakfak, Papua,” katanya, Selasa (16/5/2023).
Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) itu melaporkan terdapat 95.000 jumlah penduduk di fakfak dan 50 persennya adalah perempuan.
Dengan kondisi sulitnya akses pemeriksaan kehamilan, banyaknya kekerasan seksual, hingga meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
“Kehadiran kami, selain pengobatan, juga penyuluhan terkait seks pra-nikah. Sebab dari fenomena yang ada, kebanyakan saat hamil anak ketiga, sang ibu baru dinikahi suami. Itu pun secara siri dan sudah dinormalisasi. Terlepas dari minimnya hiburan, mereka melakukan hubungan seksual tanpa dibekali pengetahuan,” jelasnya.
Kondisi itu diperparah dengan penolakan penduduk terhadap dokter maupun tenaga medis. Sebab, kebiasaan penduduk yang lebih tertarik ke dukun daripada tempat pelayanan kesehatan.
Tak mengherankan, lantaran jarak tempuh dari kampung ke kota menghabiskan waktu berjam-jam. Banyak pula penduduk yang belum memiliki kartu BPJS.
“Jangankan BPJS, akta kelahiran, kartu keluarga dan berkas administratif lainnya. Mereka cenderung belum memiliki,” jelasnya.
Dokter asal Bogor ini memaparkan RSUD Fakfak bertipe C dengan alat kesehatan sesuai standar akreditasi dan memiliki empat dokter dasar. Antara lain dokter bedah, penyakit dalam, kandungan, dan anak.
Bagi Amira, meski fasilitas belum sempurna tapi terbilang cukup lengkap. Kondisi itu perlahan berubah dengan kehadiran Gerakan Jemput Bola yang Amira inisiasi bersama timnya untuk melayani pasien hingga pedalaman yang tidak terjangkau puskesmas.
Pihaknya selama 4-6 jam melewati perjalanan laut menggunakan perahu yang bermuatan lima orang. Berhadapan dengan angin kencang, ombak, hujan deras sembari membawa BBM untuk genset agar bisa menghidupkan alat USG karena tidak ada listrik.
Ia mengatakan persalinan itu melibatkan dua nyawa, sehingga kami datang untuk merangkul mama biang (dukun), ibu kader, dan ibu hamil sebagai keluarga. Sebelum ke pasien, kami menjalin kedekatan emosional dengan mama biangnya. Dengan memberikan forceps, underpad, dan alat persalinan steril lainnya.
“Walaupun kita tidak menganjurkan mereka lahir di rumah. Tetapi setidaknya dalam kondisi emergency mama biang bisa menangani. Selain itu, dalam tim saya ada orang dinkes yang siap bergerak untuk membantu administrasi termasuk BPJS, jadi sambil menyelam minum air,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, pelayanan door to door dan heart to heart membuahkan hasil. Tak ayal, 60 persen Angka Kematian Ibu dan Anak (AKI) teratasi, mama biang-pun teredukasi. Lalu sebagai rasa syukur, pasien yang melahirkan-pun banyak yang memberi nama anaknya Amira.
(shf)