Kisah Kiai Abbas Buntet, Sang Panutan yang Jadi Panglima Pertempuran 10 Nopember
loading...
A
A
A
KH Abdullah Abbas adalah seorang ulama besar di Jawa Barat. Dia juga pengasuh Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Kiai ini adalah panglima perang dalam peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Ulama kelahiran Buntet Cirebon, Jawa Barat, 7 Maret 1922 ini juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikenal sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat.
Adapun empat ulama kharismatik Jawa Barat yakni KH. Ilyas Ruhiyat (sesepuh Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya), KH. Anwar Musaddad (sesepuh Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut), KH. Drs.Totoh Abdul Fatah Ghazali, S.H., (sesepuh Pondok Pesantren Al-Jawami Cileunyi Bandung), serta K.H. Irfan Hielmy (sesepuh Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis). K.H. Abdullah.
KH. Abdullah Abbas rahimahullah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon termasuk Kiai Khos (langka) yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.
Baca juga: Kisah Pilu 2 Istri Ronggolawe, Pilih Mati dengan Keris di Depan Jasad Suami yang Dicap sebagai Pemberontak Majapahit
Sejak usia muda sampai jelang wafat, dia banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena dia termasuk yang ikut meletakkan pundi-pundi kemerdekaan. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.
Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono.
Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut.
Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah, juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.
Pada 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Abdurrahman Wahid melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.
Ulama kelahiran Buntet Cirebon, Jawa Barat, 7 Maret 1922 ini juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikenal sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat.
Adapun empat ulama kharismatik Jawa Barat yakni KH. Ilyas Ruhiyat (sesepuh Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya), KH. Anwar Musaddad (sesepuh Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut), KH. Drs.Totoh Abdul Fatah Ghazali, S.H., (sesepuh Pondok Pesantren Al-Jawami Cileunyi Bandung), serta K.H. Irfan Hielmy (sesepuh Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis). K.H. Abdullah.
KH. Abdullah Abbas rahimahullah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon termasuk Kiai Khos (langka) yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.
Baca juga: Kisah Pilu 2 Istri Ronggolawe, Pilih Mati dengan Keris di Depan Jasad Suami yang Dicap sebagai Pemberontak Majapahit
Sejak usia muda sampai jelang wafat, dia banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena dia termasuk yang ikut meletakkan pundi-pundi kemerdekaan. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.
Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono.
Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut.
Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah, juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.
Pada 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Abdurrahman Wahid melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.