Cerita Perang Diponegoro dan Pengkhianatan Para Bupati yang Membelot ke Belanda
loading...
A
A
A
TULUNGAGUNG - Dalam Perang Jawa (1825-1830) atau Perang Diponegoro , penguasa wilayah Kabupaten Tulungagung Jawa Timur mengambil sikap mendukung kolonial Belanda.
Bupati Tulungagung Raden Tumenggung Pringgokusumo memilih loyal kepada kolonial daripada bertahan setia terhadap garis perjuangan Pangeran Diponegoro.
Seperti yang tertulis dalam buku Antara Lawu dan Wilis (2021). Pringgokusumo yang merupakan Bupati Ngrowo atau Rowo (nama lama Tulungagung) awalnya ikut mendukung Pangeran Diponegoro.
Namun sebelum tahun 1827, lantaran kuatnya tekanan kekuasaan, ia lantas membelot ke Belanda. Begitu juga dengan Bupati Ngrowo Raden Tumenggung Notodiwiryo.
Bedanya, Notodiwiryo sejak berkuasa sudah memutuskan loyal kepada kolonial Belanda. Sikap serupa juga diperlihatkan Bupati Kalangbret (sekarang salah satu kecamatan di Tulungagung).
Selama Perang Jawa berkecamuk, Bupati Kalangbret Kiai Ngabehi Mangundirono juga memihak kolonial Belanda. “Bupati Kalangbret Kiai Ngabehi Mangundirono selama Perang Jawa masih tetap setia kepada pemerintah kolonial,” demikian dikutip dari Antara Lawu dan Wilis (2021).
Tulungagung secara administratif termasuk wilayah kadipaten mancanegara Yogyakarta. Secara geografis posisinya jauh dari ibu kota Kesultanan Yogyakarta.
Pada masa itu Tulungagung terbagi atas dua pemerintahan, yakni Kabupaten Ngrowo dan Kabupaten Kalangbret. Kedua wilayah di bawah kekuasaan Bupati Wedana Madiun.
Di tengah panasnya Perang Diponegoro, yakni pada bulan Mei hingga awal Juni 1828, kolonial Belanda mendapat laporan intelijen tentang adanya ancaman kerusuhan di wilayah Tulungagung.
Rencana kerusuhan dirancang oleh Bupati Ngrowo Notodiwiryo dan Bupati Kalangbret Mangundirono. Laporan itu ditanggapi Jenderal De Kock dengan tenang sekaligus bertekad siap mengambil tindakan untuk menjaga ketentraman.
Bupati Tulungagung Raden Tumenggung Pringgokusumo memilih loyal kepada kolonial daripada bertahan setia terhadap garis perjuangan Pangeran Diponegoro.
Seperti yang tertulis dalam buku Antara Lawu dan Wilis (2021). Pringgokusumo yang merupakan Bupati Ngrowo atau Rowo (nama lama Tulungagung) awalnya ikut mendukung Pangeran Diponegoro.
Namun sebelum tahun 1827, lantaran kuatnya tekanan kekuasaan, ia lantas membelot ke Belanda. Begitu juga dengan Bupati Ngrowo Raden Tumenggung Notodiwiryo.
Bedanya, Notodiwiryo sejak berkuasa sudah memutuskan loyal kepada kolonial Belanda. Sikap serupa juga diperlihatkan Bupati Kalangbret (sekarang salah satu kecamatan di Tulungagung).
Selama Perang Jawa berkecamuk, Bupati Kalangbret Kiai Ngabehi Mangundirono juga memihak kolonial Belanda. “Bupati Kalangbret Kiai Ngabehi Mangundirono selama Perang Jawa masih tetap setia kepada pemerintah kolonial,” demikian dikutip dari Antara Lawu dan Wilis (2021).
Tulungagung secara administratif termasuk wilayah kadipaten mancanegara Yogyakarta. Secara geografis posisinya jauh dari ibu kota Kesultanan Yogyakarta.
Pada masa itu Tulungagung terbagi atas dua pemerintahan, yakni Kabupaten Ngrowo dan Kabupaten Kalangbret. Kedua wilayah di bawah kekuasaan Bupati Wedana Madiun.
Di tengah panasnya Perang Diponegoro, yakni pada bulan Mei hingga awal Juni 1828, kolonial Belanda mendapat laporan intelijen tentang adanya ancaman kerusuhan di wilayah Tulungagung.
Rencana kerusuhan dirancang oleh Bupati Ngrowo Notodiwiryo dan Bupati Kalangbret Mangundirono. Laporan itu ditanggapi Jenderal De Kock dengan tenang sekaligus bertekad siap mengambil tindakan untuk menjaga ketentraman.