Kisah Kerajaan Buton yang Disegani hingga Tak Pernah Dijajah Belanda

Jum'at, 28 April 2023 - 09:45 WIB
loading...
Kisah Kerajaan Buton yang Disegani hingga Tak Pernah Dijajah Belanda
Benteng Kerajaan Buton yang masih kokoh berdiri menghadap laut yang siap mengawasi pergerakan pendatang dari segala penjuru. Foto: Istimewa
A A A
KERAJAAN Buton yang berdiri sejak abad ke-12 hingga kisahnya kini tetap dikenang dengan kepala tegak. Kerajaan yang dikenal dengan kesultanan itu sejak dulu disegani bahkan tidak pernah tersentuh dengan penjajah Belanda.

Kesultanan Buton merupakan salah satu kesultanan di Indonesia yang terletak di Kepulauan Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dahulu kala wilayahnya meliputi seluruh Pulau Buton, termasuk kini Kabupaten Buton, Wakatobi hingga Kota Baubau.

Berdasarkan sejarahnya, Kesultanan ini dulunya Kerajaan Buton yang berdiri dari kedatangan orang-orang Melayu ke wilayah Buton pada akhir abad ke-13 M. Ada empat tokoh Melayu yang datang namun tidak bersamaan, yaitu Sipanjongan, Sijawangkati, Simalui dan Sitamanajo yang masing-masing membawa serta para pengikutnya.

Kesultanan Buton terletak di pulau yang strategis dengan jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur Nusantara.

Meskipun Portugis dan Belanda sudah masuk ke Indonesia sejak 1600-an, dua bangsa Eropa tersebut tak pernah berani menjajah Kesultanan Buton.

Kisah Kerajaan Buton yang Disegani hingga Tak Pernah Dijajah Belanda



Bahkan penduduknya tidak pernah mengalami kerja paksa. Sebaliknya, Buton dijadikan tempat singgah karena letaknya yang strategis. Karena tidak berhasil menjajah, maka Belanda dan Portugis memilih menjalin hubungan baik untuk mendapatkan rempah-rempah.

Kesultanan Buton lalu membangun benteng pertahanan. Bangunan tersebut kini menjadi benteng terluas di dunia yang dibuat tahun 1634 pada masa pemerintahan Sultan La Buke dengan panjang 2.740 meter. Benteng ini dibangun untuk melindungi area seluas 401.900 meter persegi dengan dilengkapi 16 bastion atau menara pengintai dan 12 pintu gerbang.



Perjalanan Kesultanan Buton juga diwarnai dengan hubungan baik dengan VOC. Hingga akhirnya di tahun 1637, kedekatan tersebut berakhir dan berujung perang. Namun rupanya, benteng Kesultanan Buton terlalu kuat untuk VOC sehingga tak mampu ditembus.

Perang kembali terjadi pada 1752, 1755, dan 1776, karena VOC melakukan kelicikan dalam perdagangan rempah-rempah. Tetapi di bawah pimpinan Sultan La Karambau, Buton berhasil mengatasi Belanda.

Bukan itu saja, mereka menilai Kesultanan Buton memiliki struktur monarki yang solid dan kekuatan pertahanan yang kokoh.

Apalagi Kesultanan Buton juga aktif memantau bajak laut yang mendekat dan tidak segan untuk angkat senjata untuk mengusirnya.

Kesultanan Buton memiliki sistem pemerintahan yang cukup ideal dengan adanya raja, perdana menteri, tentara sebagai badan pertahanan dan tentunya rakyat.

Kisah Kerajaan Buton yang Disegani hingga Tak Pernah Dijajah Belanda



Eksistensi Kesultanan Buton sebagai sebuah negeri tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni.

Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air.

Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam surat-menyurat dengan Majapahit, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni.

Sedangkan orang Bugis menyebutnya Butung dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong).

Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16. Selama masa pra Islam, di Buton berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan.

Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.

Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17.

Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh Sultan. Struktur kekuasaan di Kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan, yaitu Kaomu dan Walaka.

Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, Namun, sultan harus berasal dari golongan Kaomu.

Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut Kadie.

Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah Bontona (Menteri), Menteri Besar, Bonto, Kepala Siolimbona, dan Sekretaris Sultan.



Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf.

Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.

Sebagai alat tukar dalam aktivitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.

Kesultanan Buton juga mempunyai sistem pertahanan berlapis, yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Periode Kesultanan Buton terdiri dari era pra-Islam dari 1332 hingga 1542. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Pada periode Islam dari 1542 hingga 1960 dan diperintah 38 Sultan. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada 1960.

Mengetahui kedudukan Kesultanan Buton yang berdaulat, maka pada awal Februari 1950, Presiden Sukarno menggelar Pertemuan di Malino (Sulawesi Selatan) dengan mengundang seluruh raja se-Sulawesi dihadiri Sultan Andi Mappanyuki (Raja Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (Gubenur Afdeling Makassar) yang telah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Sedangkan Kesultanan Buton diwakili oleh Sultan La Ode Muh Falihi. Pada Pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengajak Sultan La Ode Falihi agar Kesultana Buton masuk dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan Presiden Sukarno menawarkan Kesultanan Buton dengan opsi menjadi wilayah istimewa.

Pada 15 Januari 1951, democratiseering dilakukan terhadap anggota-anggota swapraja Buton dan disaksikan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Razak Bagindo Maharaja Lelo dan Kesultanan Buton pun berakhir.

Dalam proses selanjutnya, Buton pada 1952 menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tengara (Suseltra) yang terdiri atas dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Selatan dengan ibu kota di Ujung Pandang dan Kabupaten Sulawesi Tenggara (bekas wilayah Kesultanan Buton) dengan ibu kota di Baubau (Buton) dengan pusat pemerintahan di Ujung Pandang (Makassar).

Pada 1960, Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat kabupaten, yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Kendari. Selanjutnya di tahun 1962, Sulawesi Tenggara menjadi sebuah provinsi dengan Ibu kota di Kendari.

Sumber:
dok.sindonews, inews.id
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2299 seconds (0.1#10.140)