BNPT Gelar Dialog dengan Mantan Napiter di Palembang
loading...
A
A
A
PALEMBANG - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar buka puasa dan diskusi dengan mitra deradikalisasi atau mantan narapidana terorisme (napiter) di Palembang, Sumsel. Dalam diskusi, para mitra deradikalisasi berdialog untuk menyamakan konsep perbedaan di tengah kemajemukan Indonesia.
Kasubdit Bina Masyarakat BNPT Kolonel Pas Sujatmiko menyatakan bahwa sering disamakan ideologi itu dengan wahyu Ilahi. Padahal wahyu Ilahi sangat agung, sangat tinggi, dan wahyu Ilahi tidak hanya mengenai Islam saja.
"Jangan sampai memiliki pemikiran yang berbeda, lalu merasa benar sendiri, dan menjadi eksklusif. Manakala kita mencari kebenaran, dan kita benar-benar yakin akan kebenaran tersebut, lalu kita merasa benar sendiri, akhirnya muncullah kesombongan, sedangkan kesombongan adalah jebakan iblis,” kata Sujatmiko, dikutip Sabtu (8/4/2023).
Diskusi diikuti oleh 16 mantan napiter yang telah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Mereka berasal dari Palembang, Muara Enim, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir.
Sujatmiko mengajak para mitra deradikalisasi jangan sampai salah jalan lagi. Karena itu, dialog dan diskusi ini penting terus dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yang lebih luas dan lebih terbuka.
“Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita anggap sebagai kebaikan, ternyata suatu kerusakan. Setiap perbedaan yang kita temui, kita bicarakan secara akademis dan mengakar. Kalau masih ada yang mengganjal di diri kita semua, mari kita kupas semua bersama-sama,” katanya.
Dia menyampaikan empat poin penting tentang proses radikalisasi, bentuk radikalisasi, alasan terjadinya radikalisasi, dan indikator radikalisasi.
Pertama, proses radikalisasi di Republik Indonesia sampai sekarang masih berjalan. Ciri-ciri proses radikalisasi antara lain anti ideologi negara atau Pancasila, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika, dan anti UUD 1945.
“Radikalisasi tersebut berbentuk intoleran, mengusung kekerasan, dan mengkafirkan orang lain,” tutur Sujatmiko menjelaskan poin kedua.
Sedangkan poin ketiga, berdasarkan hasil penelitian terhadap napiter di Indonesia, presentease paling tinggi mengapa napiter melakukan tindak pidana terorisme (proses radikalisasi) sebanyak 45,45 persen karena alasan ideologi.
Poin keempat mengenai indikator proses radikalisasi adalah ajaran agama yang distorsi dan pengetahuan agama yang dangkal.
“Radikalisasi yang selama ini terjadi ditandai dengan agama didistorsi dan dimanipulasi untuk kepentingan kelompok dan kepentingan politik. Tidak ada kejahatan yang luar biasa, selain mendistorsi dan memanipulasi agama yang menimbulkan kerusakan. Bukan agama yang salah, tetapi orang yang mendistrosi atau memanipulasi agama,” tegas Sujatmiko.
Silaturahmi ini juga dihadiri oleh perwakilan Kodam II/Sriwijaya, Polda Sumatera Selatan, Kanwil Kemenag Provinsi Sumatera Selatan, BINDA Sumatera Selatan, BAIS Sumatera Selatan, FKPT Sumatra Selatan, Kodim 0418/Kota Palembang, Polresta Palembang, dan Polsek Tungkal Jaya Polres Muba.
Salah satu mitra deradikalisasi dalam diskusi ini berharap agar kedepannya negara dapat memberikan pembinaan tentang kebangsaan dan dasar-dasar hukum Islam secara lebih intensif.
Hal ini penting agar mitra deradikalisasi dapat menjadi pribadi yang lebih positif dan kontributif.
Kasubdit Bina Masyarakat BNPT Kolonel Pas Sujatmiko menyatakan bahwa sering disamakan ideologi itu dengan wahyu Ilahi. Padahal wahyu Ilahi sangat agung, sangat tinggi, dan wahyu Ilahi tidak hanya mengenai Islam saja.
"Jangan sampai memiliki pemikiran yang berbeda, lalu merasa benar sendiri, dan menjadi eksklusif. Manakala kita mencari kebenaran, dan kita benar-benar yakin akan kebenaran tersebut, lalu kita merasa benar sendiri, akhirnya muncullah kesombongan, sedangkan kesombongan adalah jebakan iblis,” kata Sujatmiko, dikutip Sabtu (8/4/2023).
Diskusi diikuti oleh 16 mantan napiter yang telah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Mereka berasal dari Palembang, Muara Enim, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir.
Sujatmiko mengajak para mitra deradikalisasi jangan sampai salah jalan lagi. Karena itu, dialog dan diskusi ini penting terus dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yang lebih luas dan lebih terbuka.
“Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita anggap sebagai kebaikan, ternyata suatu kerusakan. Setiap perbedaan yang kita temui, kita bicarakan secara akademis dan mengakar. Kalau masih ada yang mengganjal di diri kita semua, mari kita kupas semua bersama-sama,” katanya.
Dia menyampaikan empat poin penting tentang proses radikalisasi, bentuk radikalisasi, alasan terjadinya radikalisasi, dan indikator radikalisasi.
Pertama, proses radikalisasi di Republik Indonesia sampai sekarang masih berjalan. Ciri-ciri proses radikalisasi antara lain anti ideologi negara atau Pancasila, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika, dan anti UUD 1945.
“Radikalisasi tersebut berbentuk intoleran, mengusung kekerasan, dan mengkafirkan orang lain,” tutur Sujatmiko menjelaskan poin kedua.
Sedangkan poin ketiga, berdasarkan hasil penelitian terhadap napiter di Indonesia, presentease paling tinggi mengapa napiter melakukan tindak pidana terorisme (proses radikalisasi) sebanyak 45,45 persen karena alasan ideologi.
Poin keempat mengenai indikator proses radikalisasi adalah ajaran agama yang distorsi dan pengetahuan agama yang dangkal.
“Radikalisasi yang selama ini terjadi ditandai dengan agama didistorsi dan dimanipulasi untuk kepentingan kelompok dan kepentingan politik. Tidak ada kejahatan yang luar biasa, selain mendistorsi dan memanipulasi agama yang menimbulkan kerusakan. Bukan agama yang salah, tetapi orang yang mendistrosi atau memanipulasi agama,” tegas Sujatmiko.
Silaturahmi ini juga dihadiri oleh perwakilan Kodam II/Sriwijaya, Polda Sumatera Selatan, Kanwil Kemenag Provinsi Sumatera Selatan, BINDA Sumatera Selatan, BAIS Sumatera Selatan, FKPT Sumatra Selatan, Kodim 0418/Kota Palembang, Polresta Palembang, dan Polsek Tungkal Jaya Polres Muba.
Salah satu mitra deradikalisasi dalam diskusi ini berharap agar kedepannya negara dapat memberikan pembinaan tentang kebangsaan dan dasar-dasar hukum Islam secara lebih intensif.
Hal ini penting agar mitra deradikalisasi dapat menjadi pribadi yang lebih positif dan kontributif.
(shf)