Pakar Unair Sebut Kebijakan JHT Jamsostek Picu Kemiskinan
Kamis, 24 Februari 2022 - 14:30 WIB
SURABAYA - Kebijakan Menteri Ketenagakerjaan , Ida Fauziyah terkait pencairan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) di usia 56 tahun sampai meninggal, menuai banyak kritik. Bahkan aturan tersebut memicu kemiskinan karena semakin beratnya situasi yang dihadapi saat ini.
“Terlalu lama waktu tunggu untuk pencairan Jamsostek ini. Karena mestinya bahwa dana itu bisa dipakai untuk strategi pekerja dalam bertahan hidup. Dalam Sosiologi, hal ini dapat memicu proses pemiskinan,” kata Sosiolog Universitas Airlangga Prof Dr Sutinah Dra MS, Kamis (24/2/2022). Baca juga: Dukung Petisi Tolak JHT, Wakil Ketua MPR: Demi Kemanusiaan
Sebagai informasi, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek disebutkan bahwa JHT dapat dicarikan saat penerima manfaat berusia 56 tahun sampai meninggal.
Menurut Prof Dr Sutinah, aturan tersebut kurang tepat. Terlebih mengingat saat ini kita masih berada di situasi pandemi. “Karena di masa pandemi, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan,” kata Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) itu.
Melalui Permenaker yang baru itu, Prof Sutinah mengatakan hal itu justru akan menyulitkan pekerja. “Mengingat sebagian besar pekerja yang kehilangan pekerjaannya itu usianya masih muda, jauh di bawah 56 tahun. Namun mereka belum bisa mendapatkan penghasilan yang terjamin sampai usianya menginjak 56 tahun,” imbuhnya.
Melihat kondisi tersebut, maka pencairan Jamsostek akan membutuhkan waktu yang lama. Padahal menurut Prof Sutinah, dana Jamsostek dapat bermanfaat sebagai modal untuk membuka usaha sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Ketika tidak lagi bekerja di perusahaan masing-masing, pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha mandiri.
“Dana Jamsostek itu diberikan sebanyak satu kali, dalam jumlah tertentu. Bagi para pekerja, mungkin dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagai salah satu mekanisme survival, sehingga mereka masih bisa mempertahan hidup bersama keluarganya sudah tidak menjadi pekerja,” kata Prof Sutinah.
Aturan baru Jamsostek ini membuat pekerja miskin akan semakin miskin. Karena apabila ia tidak lagi bekerja di masa pandemi ini maka harus menunggu lama untuk dapat mencairkan Jamsostek. Lebih-lebih bila selama menunggu tidak ada kegiatan yang menghasilkan.
“Sementara kita lihat bahwa saat ini kebutuhan masyarakat meningkat dan harga di pasaran serba mahal, sehingga pekerja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya,” lanjut Pakar Sosiologi Industri tersebut.
Meski pemerintah akan mengeluarkan kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun itu tidak sepenuhnya bisa menjadi solusi. JKP, hanya untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Kalau untuk pekerja yang mengundurkan diri, tidak bisa menerima JKP. Selain itu, pekerja yang mengalami sakit cacat tetap karena kecelakaan kerja, juga tidak bisa mendapat bantuan tersebut,” kata Prof Sutinah.
“Terlalu lama waktu tunggu untuk pencairan Jamsostek ini. Karena mestinya bahwa dana itu bisa dipakai untuk strategi pekerja dalam bertahan hidup. Dalam Sosiologi, hal ini dapat memicu proses pemiskinan,” kata Sosiolog Universitas Airlangga Prof Dr Sutinah Dra MS, Kamis (24/2/2022). Baca juga: Dukung Petisi Tolak JHT, Wakil Ketua MPR: Demi Kemanusiaan
Sebagai informasi, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek disebutkan bahwa JHT dapat dicarikan saat penerima manfaat berusia 56 tahun sampai meninggal.
Menurut Prof Dr Sutinah, aturan tersebut kurang tepat. Terlebih mengingat saat ini kita masih berada di situasi pandemi. “Karena di masa pandemi, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan,” kata Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) itu.
Melalui Permenaker yang baru itu, Prof Sutinah mengatakan hal itu justru akan menyulitkan pekerja. “Mengingat sebagian besar pekerja yang kehilangan pekerjaannya itu usianya masih muda, jauh di bawah 56 tahun. Namun mereka belum bisa mendapatkan penghasilan yang terjamin sampai usianya menginjak 56 tahun,” imbuhnya.
Melihat kondisi tersebut, maka pencairan Jamsostek akan membutuhkan waktu yang lama. Padahal menurut Prof Sutinah, dana Jamsostek dapat bermanfaat sebagai modal untuk membuka usaha sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Ketika tidak lagi bekerja di perusahaan masing-masing, pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha mandiri.
“Dana Jamsostek itu diberikan sebanyak satu kali, dalam jumlah tertentu. Bagi para pekerja, mungkin dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagai salah satu mekanisme survival, sehingga mereka masih bisa mempertahan hidup bersama keluarganya sudah tidak menjadi pekerja,” kata Prof Sutinah.
Aturan baru Jamsostek ini membuat pekerja miskin akan semakin miskin. Karena apabila ia tidak lagi bekerja di masa pandemi ini maka harus menunggu lama untuk dapat mencairkan Jamsostek. Lebih-lebih bila selama menunggu tidak ada kegiatan yang menghasilkan.
“Sementara kita lihat bahwa saat ini kebutuhan masyarakat meningkat dan harga di pasaran serba mahal, sehingga pekerja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya,” lanjut Pakar Sosiologi Industri tersebut.
Meski pemerintah akan mengeluarkan kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun itu tidak sepenuhnya bisa menjadi solusi. JKP, hanya untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Kalau untuk pekerja yang mengundurkan diri, tidak bisa menerima JKP. Selain itu, pekerja yang mengalami sakit cacat tetap karena kecelakaan kerja, juga tidak bisa mendapat bantuan tersebut,” kata Prof Sutinah.
(don)
tulis komentar anda