Dihantam Pandemi, Industri Hasil Tembakau Butuh Dukungan Pemerintah
Jum'at, 05 Juni 2020 - 15:17 WIB
SURABAYA - Tanaman tembakau kini sedang memasuki musim tanam yang hampir serentak di seluruh wilayah di Indonesia.
Meskipun di tengah masa pandemi Covid-19, para petani tembakau tetap berupaya menghidupi ladangnya dengan mematuhi pembatasan-pembatasan yang berlaku di masing-masing daerah. Upaya ini demi menyambung kehidupan di masa sulit sekarang.
Tembakau sendiri diketahui merupakan sumber penghasilan bagi sekitar tiga juta petani di seluruh Indonesia. Selain bergantung pada kondisi cuaca untuk menghasilkan panen tembakau yang berkualitas, keberlangsungan hidup para petani tembakau juga sangat bergantung pada eksistensi beragam industri tembakau sebagai penyerap hasil panen tembakau yang berbeda-beda kualitasnya.
Namun, eksistensi seluruh industri tembakau juga sangat bergantung pada otoritas pemerintah, yang menetapkan peraturan atas keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.
Melihat ketergantungan yang cukup tinggi dengan ekonomi masyarakat akar rumput, pemerintah perlu menghasilkan kebijakan terkait IHT yang stabil agar dapat menjaga eksistensi tidak hanya industri rokok, melainkan juga seluruh entitas yang dinaunginya. Sebagai contoh kebijakan terkait tarif cukai. Sejak tahun 2015, tarif cukai rokok terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Berturut-turut, tarif cukai rokok mengalami kenaikan sebesar 8,72 persen pada tahun 2015, 11,19 persen pada 2016, 10,54 persen pada 2017, 10,04 persen pada 2018, 10,04 persen pada 2019, dan terakhir 23 persen pada awal 2020. Kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun ini juga dibarengi oleh kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sekitar 35 persen dan cukai hasil tembakau (CHT) sekitar 21,55 persen.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyoroti dampak kenaikan tarif cukai yang terus-menerus tersebut kian menghimpit para pelaku industri tembakau.
“Dengan kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun 2020, penjualan rokok tahun ini diprediksi menurun sekitar 15% hingga 20%. Ditambah lagi, industri tembakau juga ikut terhantam oleh keberadaan pandemi COVID-19 karena berdampak pada penjualan rokok yang diprediksi semakin menurun hingga sekitar 30% sampai 40%,” terangnya melalui siaran pers, Jumat (05/6/2020).
Sebelumnya, pandangan serupa juga diutarakan oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji terhadap kenaikan tarif cukai rokok. Menurut Agus, petani tembakau juga terpapar terhadap dampak dari kenaikan tarif cukai yang menghantam para pelaku industri.
Meskipun di tengah masa pandemi Covid-19, para petani tembakau tetap berupaya menghidupi ladangnya dengan mematuhi pembatasan-pembatasan yang berlaku di masing-masing daerah. Upaya ini demi menyambung kehidupan di masa sulit sekarang.
Tembakau sendiri diketahui merupakan sumber penghasilan bagi sekitar tiga juta petani di seluruh Indonesia. Selain bergantung pada kondisi cuaca untuk menghasilkan panen tembakau yang berkualitas, keberlangsungan hidup para petani tembakau juga sangat bergantung pada eksistensi beragam industri tembakau sebagai penyerap hasil panen tembakau yang berbeda-beda kualitasnya.
Namun, eksistensi seluruh industri tembakau juga sangat bergantung pada otoritas pemerintah, yang menetapkan peraturan atas keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.
Melihat ketergantungan yang cukup tinggi dengan ekonomi masyarakat akar rumput, pemerintah perlu menghasilkan kebijakan terkait IHT yang stabil agar dapat menjaga eksistensi tidak hanya industri rokok, melainkan juga seluruh entitas yang dinaunginya. Sebagai contoh kebijakan terkait tarif cukai. Sejak tahun 2015, tarif cukai rokok terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Berturut-turut, tarif cukai rokok mengalami kenaikan sebesar 8,72 persen pada tahun 2015, 11,19 persen pada 2016, 10,54 persen pada 2017, 10,04 persen pada 2018, 10,04 persen pada 2019, dan terakhir 23 persen pada awal 2020. Kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun ini juga dibarengi oleh kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sekitar 35 persen dan cukai hasil tembakau (CHT) sekitar 21,55 persen.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyoroti dampak kenaikan tarif cukai yang terus-menerus tersebut kian menghimpit para pelaku industri tembakau.
“Dengan kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun 2020, penjualan rokok tahun ini diprediksi menurun sekitar 15% hingga 20%. Ditambah lagi, industri tembakau juga ikut terhantam oleh keberadaan pandemi COVID-19 karena berdampak pada penjualan rokok yang diprediksi semakin menurun hingga sekitar 30% sampai 40%,” terangnya melalui siaran pers, Jumat (05/6/2020).
Sebelumnya, pandangan serupa juga diutarakan oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji terhadap kenaikan tarif cukai rokok. Menurut Agus, petani tembakau juga terpapar terhadap dampak dari kenaikan tarif cukai yang menghantam para pelaku industri.
tulis komentar anda