Presiden Belum Serahkan Nama Pengganti Panglima TNI ke DPR, Begini Komentar Pengamat Militer
Selasa, 27 Juli 2021 - 23:30 WIB
JAKARTA - Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki pensiun pada November 2021. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum juga menyerahkan nama calon Panglima TNI kepada DPR.Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi memberikan analisa mengapa sampai saat ini presiden belum juga menyerahkan nama calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada DPR.
"Apa pertimbangan beliau hingga kini belum memberikan nama ke DPR? Apakah karena ketiga kepala staf yang ada sekarang tidak ada yang menjabat hingga 2024 sehingga ada kepentingan politik dalam pemilihan nama calon Panglima TNI?," ujar Khairul Fahmi di Jakarta, Senin (26/7/2021).
Sepertinya, lanjut Fahmi, ada beberapa pertimbangan kenapa Jokowi tidak juga menyerahkan nama Jenderal aktif sebagai pengganti Hadi Tjahjanto. Pertama, masa aktif Panglima TNI Hadi Tjahjanto masih cukup lama yakni sampai November 2021. Oleh karena itu tidak ada urgensi dan keharusan bagi presiden untuk mengusulkan penggantian Panglima TNI dalam waktu dekat.
"Pengusulan Panglima TNI merupakan hak dan kewenangan Presiden, maka sepanjang tidak ada kebutuhan mendesak atau persoalan yang mengharuskan penggantian segera. Hanya presiden yang berhak menentukan waktu terbaik untuk mengganti Panglima TNI dan mengusulkan calon penggantinya ke DPR," paparnya.
Kedua, lanjut Fahmi, presiden tidak melihat masa aktif yang relatif singkat dari ketiga kepala staf (AL, AD dan AU) yang ada saat ini sebagai alasan yang relevan. Mereka ini ditunjuk dan diangkat oleh presiden sendiri. Baca juga: Panglima TNI: Tekan Kasus COVID-19, TNI Gunakan Tracer Digital dan Lapangan
Menurutnya, ada dua kepala staf yang relatif baru, dan satu yang justru sudah relatif lama. Namun hal ini pada dasarnya menunjukkan kelemahan presiden dalam kalkulasi proyeksi kepemimpinan TNI. "Dan bisa jadi juga (tidak usulkan nama pengganti Panglima TNI) mengindikasikan kuatnya pertimbangan politis sehingga membawa implikasi problem regenerasi kepemimpinan TNI," jelasnya.
Bagaimanapun, sambung Fahmi, sesuai ketentuan Undang-undang, presiden tetap saja harus memilih salah satu dari ketiganya (AL, AD dan AU). Kecuali dalam waktu dekat ada penggantian di jajaran kepala staf sehingga memungkinkan munculnya kandidat baru di luar tiga nama yang ada saat ini.
Ketiga, Fahmi menambahkan, kepentingan politik dalam penentuan calon Panglima TNI adalah sebuah keniscayaan. Sehingga adanya nuansa politik dipastikan tidak terhindarkan. Bagaimanapun, kata Fahmi, pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana Presiden mengusulkan dan kemudian DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan presiden.
"Yang tidak patut adalah jika para 'bakal calon' ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih Presiden melalui komunikasi dan negosiasi politik. Sulit membayangkan hal itu akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional bahkan kontraktual," tambahnya.
Keempat, lanjut Fahmi, menjadikan tahun penyelenggaraan hajatan demokrasi (Pemilu) sebagai variabel yang seolah-olah sangat penting dalam penentuan calon Panglima TNI, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Era di mana TNI memiliki peran dominan dan sangat penting dalam agenda sosial politik negara dan pengelolaan pemerintahan.
Menurut Fahmai, salah satu agenda reformasi adalah menjadikan TNI sebagai alat negara yang profesional dan mumpuni dalam menegakkan kedaulatan dan keamanan nasional dengan membatasi peran dan pelibatannya di luar agenda politik negara. "Apalagi dalam urusan-urusan politik sektoral bahkan elektoral. Saat ini, netralitas TNI mestinya adalah harga mati," pungkasnya.
Menurut pengamat militer ini, ada dua nama Jenderal saat ini yang kuat dan digadang akan menggantikan posisinya sebagaiPanglima TNI. Kedua sosok yang namanya kerap santer dibicarakan adalahKSAL Laksamana Yudo Margono dan KSAD Jenderal Andika Perkasa. "Namun siapa nantinya yang akan dipilih untuk menggantikan Panglima TNIHadi Tjahjantoadalah hakprerogatif dari Presiden Jokowi," tutupnya.
"Apa pertimbangan beliau hingga kini belum memberikan nama ke DPR? Apakah karena ketiga kepala staf yang ada sekarang tidak ada yang menjabat hingga 2024 sehingga ada kepentingan politik dalam pemilihan nama calon Panglima TNI?," ujar Khairul Fahmi di Jakarta, Senin (26/7/2021).
Sepertinya, lanjut Fahmi, ada beberapa pertimbangan kenapa Jokowi tidak juga menyerahkan nama Jenderal aktif sebagai pengganti Hadi Tjahjanto. Pertama, masa aktif Panglima TNI Hadi Tjahjanto masih cukup lama yakni sampai November 2021. Oleh karena itu tidak ada urgensi dan keharusan bagi presiden untuk mengusulkan penggantian Panglima TNI dalam waktu dekat.
"Pengusulan Panglima TNI merupakan hak dan kewenangan Presiden, maka sepanjang tidak ada kebutuhan mendesak atau persoalan yang mengharuskan penggantian segera. Hanya presiden yang berhak menentukan waktu terbaik untuk mengganti Panglima TNI dan mengusulkan calon penggantinya ke DPR," paparnya.
Kedua, lanjut Fahmi, presiden tidak melihat masa aktif yang relatif singkat dari ketiga kepala staf (AL, AD dan AU) yang ada saat ini sebagai alasan yang relevan. Mereka ini ditunjuk dan diangkat oleh presiden sendiri. Baca juga: Panglima TNI: Tekan Kasus COVID-19, TNI Gunakan Tracer Digital dan Lapangan
Menurutnya, ada dua kepala staf yang relatif baru, dan satu yang justru sudah relatif lama. Namun hal ini pada dasarnya menunjukkan kelemahan presiden dalam kalkulasi proyeksi kepemimpinan TNI. "Dan bisa jadi juga (tidak usulkan nama pengganti Panglima TNI) mengindikasikan kuatnya pertimbangan politis sehingga membawa implikasi problem regenerasi kepemimpinan TNI," jelasnya.
Bagaimanapun, sambung Fahmi, sesuai ketentuan Undang-undang, presiden tetap saja harus memilih salah satu dari ketiganya (AL, AD dan AU). Kecuali dalam waktu dekat ada penggantian di jajaran kepala staf sehingga memungkinkan munculnya kandidat baru di luar tiga nama yang ada saat ini.
Ketiga, Fahmi menambahkan, kepentingan politik dalam penentuan calon Panglima TNI adalah sebuah keniscayaan. Sehingga adanya nuansa politik dipastikan tidak terhindarkan. Bagaimanapun, kata Fahmi, pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana Presiden mengusulkan dan kemudian DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan presiden.
"Yang tidak patut adalah jika para 'bakal calon' ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih Presiden melalui komunikasi dan negosiasi politik. Sulit membayangkan hal itu akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional bahkan kontraktual," tambahnya.
Keempat, lanjut Fahmi, menjadikan tahun penyelenggaraan hajatan demokrasi (Pemilu) sebagai variabel yang seolah-olah sangat penting dalam penentuan calon Panglima TNI, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Era di mana TNI memiliki peran dominan dan sangat penting dalam agenda sosial politik negara dan pengelolaan pemerintahan.
Menurut Fahmai, salah satu agenda reformasi adalah menjadikan TNI sebagai alat negara yang profesional dan mumpuni dalam menegakkan kedaulatan dan keamanan nasional dengan membatasi peran dan pelibatannya di luar agenda politik negara. "Apalagi dalam urusan-urusan politik sektoral bahkan elektoral. Saat ini, netralitas TNI mestinya adalah harga mati," pungkasnya.
Menurut pengamat militer ini, ada dua nama Jenderal saat ini yang kuat dan digadang akan menggantikan posisinya sebagaiPanglima TNI. Kedua sosok yang namanya kerap santer dibicarakan adalahKSAL Laksamana Yudo Margono dan KSAD Jenderal Andika Perkasa. "Namun siapa nantinya yang akan dipilih untuk menggantikan Panglima TNIHadi Tjahjantoadalah hakprerogatif dari Presiden Jokowi," tutupnya.
(don)
tulis komentar anda