Duh, RS di Bukittinggi Tolak Ibu Hamil untuk Persalinan
Senin, 04 Mei 2020 - 10:05 WIB
BUKITTINGGI - Kasus ibu hamil ditolak rumah sakit (RS) terjadi kembali di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kali ini dialami oleh Sri Mahayu (33) warga Mandiangin, Koto Selayan.
Di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Sri Hamayu yang sudah menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan harus menjalani prosedur panjang di rumah sakit.
Kejadian berawal papda Sabtu, 2 Mei 2020 saat Sri mengalami pecah ketuban dan tanda-tanda akan segera melahirkan. Saat dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Bukittinggi, Sri menjalani sejumlah proses untuk mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
Ema Malini, adik Sri mengungkapkan proses awalnya berjalan lancar. Namun tiba-tiba kakaknya batal mendapat pelayanan. Diduga hal itu karena saat ditanya tentang suaminya, Sri menjelaskan bahwa Rinaldi (47), suaminya bekerja di Kota Duri, Riau
Sri tidak jadi dilayani dan disuruh oleh ke rumah sakit lain dengan alasan karena kontak dengan orang dari daerah terjangkit COVID-19. (BACA JUGA: 700 Warga Dua Dusun di Simalungun Jalani Rapid Test, 9 Diketahui Positif Reaktif Covid 19)
“Jam setengah tiga subuh keluar tanda, terus jam setengah sembilan pecah ketuban langsung inisiatif ke rumah sakit, ada sekitar satu jam menunggu, lalu ditanya di mana suaminya,” ujarnya.
Setelah dijawab bekerja di Duri dan dijelaskan pulang terakhir pada 15 Maret 2020 lalu, paramedis ragu dan menyuruh tunggu dokter karena mereka yang memutuskan.
“Lalu perawat keluar dan mengatakan tidak bisa diproses di sini disuruh pergi ke rumah sakit Achmad Mochtar atau Yarsi karena takutnya ketuban sudah pecah. Di kedua RS itu ada alat mendeteksi terjangkit COVID-19 atau tidak. Selanjutnya kami pergi tidak mau ke RS Achmad Mochtar atau Yarsi karena takutnya nanti banyak prosedur akan lama dilayani sedangkan air ketuban sudah pecah,” kata Ema.
Akhirnya, Sri dan Ema pergi ke bidan praktek swasta di pinggir kota. Keduanya mengaku tidak pergi ke rumah sakit yang disarankan dokter di rumah sakit sebelumnya karena khawatir akan menjalani proses panjang.
Di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Sri Hamayu yang sudah menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan harus menjalani prosedur panjang di rumah sakit.
Kejadian berawal papda Sabtu, 2 Mei 2020 saat Sri mengalami pecah ketuban dan tanda-tanda akan segera melahirkan. Saat dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Bukittinggi, Sri menjalani sejumlah proses untuk mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
Ema Malini, adik Sri mengungkapkan proses awalnya berjalan lancar. Namun tiba-tiba kakaknya batal mendapat pelayanan. Diduga hal itu karena saat ditanya tentang suaminya, Sri menjelaskan bahwa Rinaldi (47), suaminya bekerja di Kota Duri, Riau
Sri tidak jadi dilayani dan disuruh oleh ke rumah sakit lain dengan alasan karena kontak dengan orang dari daerah terjangkit COVID-19. (BACA JUGA: 700 Warga Dua Dusun di Simalungun Jalani Rapid Test, 9 Diketahui Positif Reaktif Covid 19)
“Jam setengah tiga subuh keluar tanda, terus jam setengah sembilan pecah ketuban langsung inisiatif ke rumah sakit, ada sekitar satu jam menunggu, lalu ditanya di mana suaminya,” ujarnya.
Setelah dijawab bekerja di Duri dan dijelaskan pulang terakhir pada 15 Maret 2020 lalu, paramedis ragu dan menyuruh tunggu dokter karena mereka yang memutuskan.
“Lalu perawat keluar dan mengatakan tidak bisa diproses di sini disuruh pergi ke rumah sakit Achmad Mochtar atau Yarsi karena takutnya ketuban sudah pecah. Di kedua RS itu ada alat mendeteksi terjangkit COVID-19 atau tidak. Selanjutnya kami pergi tidak mau ke RS Achmad Mochtar atau Yarsi karena takutnya nanti banyak prosedur akan lama dilayani sedangkan air ketuban sudah pecah,” kata Ema.
Akhirnya, Sri dan Ema pergi ke bidan praktek swasta di pinggir kota. Keduanya mengaku tidak pergi ke rumah sakit yang disarankan dokter di rumah sakit sebelumnya karena khawatir akan menjalani proses panjang.
tulis komentar anda