Pengaruh Candu Merasuki Pasukan Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa
Senin, 17 Maret 2025 - 06:28 WIB
Di masa Pangeran Diponegoro, morfin atau sejenis candu yang merupakan bagian dari narkotika pernah menjadi komoditas menggiurkan. Bahkan, konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro dirasuki candu saat Perang Jawa agar tidak sakit. Foto: Ist
DI masa Pangeran Diponegoro , morfin atau sejenis candu yang merupakan bagian dari narkotika pernah menjadi komoditas menggiurkan. Candu diperjualbelikan dan dikonsumsi secara legal oleh setiap orang.
Bahkan, konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro dirasuki candu saat Perang Jawa agar tidak sakit.
Opium atau kerap disebut buah candu merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter dan merupakan tanaman dari luar negeri yang kebanyakan saat itu dari Asia Selatan.
Semasa Pangeran Diponegoro impor candu dengan mudahnya diimpor dari Benggala. Hal ini seiring pencabutan blokade Inggris atas Jawa pada Agustus-September 1811 dan tekanan ekonomi pada pemerintahan Raffles untuk menaikkan pendapatan menjadi persoalan utamanya.
Etnis Tionghoa lantas dengan cepat memainkan peran menonjol yang menyedihkan sekali dengan menjadi pengecer candu sekaligus penjaga gerbang cukai.
Bahkan, Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" mengisahkan bagaimana candu narkotika menjadi pendapatan menggiurkan di Yogyakarta.
Hal ini terjadi sekitar tahun 1814-1824 di mana pendapatan dari ladang candu di Yogya naik lima kali lipat. Pada 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang mendapat izin sebagai tempat menjual candu secara eceran di wilayah kekuasaan Sultan Yogya. Tempat-tempat itu sebagian besar gerbang cukai besar, kecil, dan pasar.
Berdasarkan data dari wanita pejabat Belanda, tingkat konsumsi candu pada akhir abad ke-19 diperkirakan 16 persen atau lebih dari 3 juta dari 20 juta penduduk Jawa saat itu yang mengonsumsi candu.
Bahkan, konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro dirasuki candu saat Perang Jawa agar tidak sakit.
Opium atau kerap disebut buah candu merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter dan merupakan tanaman dari luar negeri yang kebanyakan saat itu dari Asia Selatan.
Semasa Pangeran Diponegoro impor candu dengan mudahnya diimpor dari Benggala. Hal ini seiring pencabutan blokade Inggris atas Jawa pada Agustus-September 1811 dan tekanan ekonomi pada pemerintahan Raffles untuk menaikkan pendapatan menjadi persoalan utamanya.
Etnis Tionghoa lantas dengan cepat memainkan peran menonjol yang menyedihkan sekali dengan menjadi pengecer candu sekaligus penjaga gerbang cukai.
Bahkan, Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" mengisahkan bagaimana candu narkotika menjadi pendapatan menggiurkan di Yogyakarta.
Hal ini terjadi sekitar tahun 1814-1824 di mana pendapatan dari ladang candu di Yogya naik lima kali lipat. Pada 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang mendapat izin sebagai tempat menjual candu secara eceran di wilayah kekuasaan Sultan Yogya. Tempat-tempat itu sebagian besar gerbang cukai besar, kecil, dan pasar.
Berdasarkan data dari wanita pejabat Belanda, tingkat konsumsi candu pada akhir abad ke-19 diperkirakan 16 persen atau lebih dari 3 juta dari 20 juta penduduk Jawa saat itu yang mengonsumsi candu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda