Kisah Dinasti Sanjaya dan Sailendra yang Berkuasa di Jawa Bagian Barat dan Tengah
Minggu, 11 Agustus 2024 - 06:32 WIB
Dinasti Rajasa menjadi penentu kejayaan di tiga kerajaan di Pulau Jawa. Tiga kerajaan itu yakni Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Tapi jauh sebelum dinasti itu berkuasa, ada dinasti raja-raja di barat Pulau Jawa yang sudah berkuasa terlebih dahulu.
Diawali dari Dinasti Sanjaya pasca masa Kerajaan Kalingga. Keberadaan dinasti terulik dari sebuah prasasti yang ditemukan di kawasan Candi Gunung Wukir, Jawa Tengah. Sebuah prasasti yang dinamakan Prasasti Canggal yang ditulis 6 Oktober 732.
Prasasti ini menyebut seorang raja bijaksana bernama Sanna, yang setelah kematiannya negara menjadi terpecah-belah. Keponakan Sanna yang bernama Śrī Sañjaya, putra Sannaha, naik tahta memimpin Pulau Jawa, yang kemudian keadaan kembali tenteram. Raja-raja yang membangkang berhasil ditaklukkan.
Prasasti Canggal tidak mencantumkan nama kerajaan yang dipimpin Śrī Sañjaya. Kelak dalam Prasasti Mantyäsih I yang dikeluarkan Śrī Mahārāja Rakai Watukura Dyah Balitung di Kerajaan Mataram kuno, pada 11 April 907, terdapat nama para leluhur yang pernah mendahului memimpin Medang di Poh Pitu (rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu) sebelum dirinya, dikutip dari buku "Pararaton : Biografi Para Raja Singhasari dan Majapahit".
Dalam daftar tersebut, Śrī Sañjaya menempati urutan pertama, dengan sebutan Rakai Mataram Sang Ratu Sañjaya. Dari prasasti ini diperoleh informasi bahwa kerajaan yang didirikan Sañjaya bernama Mědang, tetapi lazim disebut Mataram Kuno oleh para sejarawan.
Prasasti Mantyäsih I menyebut nama leluhur Medang sesudah Rakai Mataram Sang Ratu Sañjaya ialah Śrī Mahārāja Rakai Panangkaran. Sementara itu, Prasasti Wanua Tengah III menyebut, Rakai Panangkaran naik takhta pada 4 Oktober 746.
Pada prasasti ini Rakai Panangkaran dikisahkan telah menganugerahkan sawah di Wanua Tengah sebagai sima (tanah perdikan) untuk wihara di Pikatan yang dibangun oleh Rahyangta i Hara, adik Rahyangta ri Mdang. Dari analisis terdapat kesamaan tokoh antara Rahyangta ri Mdang dengan Sanjaya.
Rakai Panangkaran sendiri mengeluarkan Prasasti Kalasan pada tahun 778 tentang pendirian bangunan suci untuk Dewī Tārā, atas per- mohonan para guru raja Sailendra. Pada prasasti itu, namanya tertulis Mahārājam Dyah Pañcapaņam Paņamkaraņām, hasil pembacaan ilmuwan F.D.K. Bosch, atau Mahārājam Tejah Pūrņapanna Panamkaraņām, sedangkan pada bagian akhir tertulis Kariyāna Panamkaranah.
Selain itu, ada pula kata yang berbunyi śailendrawamśatilaka (permata Dinasti Šailendra) dalam prasasti itu. Selanjutnya ada Prasasti Kělurak (26 September 782) yang menyebut kata dharanindranāmnā. KD.K Bosch menafsirkan, bahwa raja yang mengeluarkan prasasti ini bernama Dharanindra.
Tetapi, sejarawan J.G. de Casparis mengoreksi bahwa tidak ada nama Dharanindra karena pembacaan yang benar ialah dharanindharena, yang bermakna "oleh raja". Adapun nama raja dalam prasasti itu ialah Śrī Sanggrāmadhananjaya, yang berjuluk wairiwarawirawimardana, atau pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira. Beberapa sejarawan dan arkeolog berpendapat bahwa, Rakai Panangkaran adalah raja Dinasti Sañjaya (Sañjayawangśa) beragama Śiwa yang menjadi bawahan raja Dinasti Śailendra, atau Sailendrawangsa, yang beragama Buddha.
Dari uraian Prasasti Kalasan tahun 778 dapat ditafsirkan bahwa Rakai Panangkaran diperintah oleh raja Śailendra untuk mendirikan bangunan suci Buddha. Adapun raja Śailendra yang menjadi atasan Rakai Panangkaran diperkirakan sama dengan Śrī Sanggrāmadhananjaya yang mengeluarkan Prasasti Kelurak pada tahun 782.
Diawali dari Dinasti Sanjaya pasca masa Kerajaan Kalingga. Keberadaan dinasti terulik dari sebuah prasasti yang ditemukan di kawasan Candi Gunung Wukir, Jawa Tengah. Sebuah prasasti yang dinamakan Prasasti Canggal yang ditulis 6 Oktober 732.
Prasasti ini menyebut seorang raja bijaksana bernama Sanna, yang setelah kematiannya negara menjadi terpecah-belah. Keponakan Sanna yang bernama Śrī Sañjaya, putra Sannaha, naik tahta memimpin Pulau Jawa, yang kemudian keadaan kembali tenteram. Raja-raja yang membangkang berhasil ditaklukkan.
Prasasti Canggal tidak mencantumkan nama kerajaan yang dipimpin Śrī Sañjaya. Kelak dalam Prasasti Mantyäsih I yang dikeluarkan Śrī Mahārāja Rakai Watukura Dyah Balitung di Kerajaan Mataram kuno, pada 11 April 907, terdapat nama para leluhur yang pernah mendahului memimpin Medang di Poh Pitu (rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu) sebelum dirinya, dikutip dari buku "Pararaton : Biografi Para Raja Singhasari dan Majapahit".
Dalam daftar tersebut, Śrī Sañjaya menempati urutan pertama, dengan sebutan Rakai Mataram Sang Ratu Sañjaya. Dari prasasti ini diperoleh informasi bahwa kerajaan yang didirikan Sañjaya bernama Mědang, tetapi lazim disebut Mataram Kuno oleh para sejarawan.
Prasasti Mantyäsih I menyebut nama leluhur Medang sesudah Rakai Mataram Sang Ratu Sañjaya ialah Śrī Mahārāja Rakai Panangkaran. Sementara itu, Prasasti Wanua Tengah III menyebut, Rakai Panangkaran naik takhta pada 4 Oktober 746.
Pada prasasti ini Rakai Panangkaran dikisahkan telah menganugerahkan sawah di Wanua Tengah sebagai sima (tanah perdikan) untuk wihara di Pikatan yang dibangun oleh Rahyangta i Hara, adik Rahyangta ri Mdang. Dari analisis terdapat kesamaan tokoh antara Rahyangta ri Mdang dengan Sanjaya.
Rakai Panangkaran sendiri mengeluarkan Prasasti Kalasan pada tahun 778 tentang pendirian bangunan suci untuk Dewī Tārā, atas per- mohonan para guru raja Sailendra. Pada prasasti itu, namanya tertulis Mahārājam Dyah Pañcapaņam Paņamkaraņām, hasil pembacaan ilmuwan F.D.K. Bosch, atau Mahārājam Tejah Pūrņapanna Panamkaraņām, sedangkan pada bagian akhir tertulis Kariyāna Panamkaranah.
Selain itu, ada pula kata yang berbunyi śailendrawamśatilaka (permata Dinasti Šailendra) dalam prasasti itu. Selanjutnya ada Prasasti Kělurak (26 September 782) yang menyebut kata dharanindranāmnā. KD.K Bosch menafsirkan, bahwa raja yang mengeluarkan prasasti ini bernama Dharanindra.
Tetapi, sejarawan J.G. de Casparis mengoreksi bahwa tidak ada nama Dharanindra karena pembacaan yang benar ialah dharanindharena, yang bermakna "oleh raja". Adapun nama raja dalam prasasti itu ialah Śrī Sanggrāmadhananjaya, yang berjuluk wairiwarawirawimardana, atau pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira. Beberapa sejarawan dan arkeolog berpendapat bahwa, Rakai Panangkaran adalah raja Dinasti Sañjaya (Sañjayawangśa) beragama Śiwa yang menjadi bawahan raja Dinasti Śailendra, atau Sailendrawangsa, yang beragama Buddha.
Dari uraian Prasasti Kalasan tahun 778 dapat ditafsirkan bahwa Rakai Panangkaran diperintah oleh raja Śailendra untuk mendirikan bangunan suci Buddha. Adapun raja Śailendra yang menjadi atasan Rakai Panangkaran diperkirakan sama dengan Śrī Sanggrāmadhananjaya yang mengeluarkan Prasasti Kelurak pada tahun 782.
(hri)
tulis komentar anda