Kisah Gajah Mada Pemicu Mitos Wanita Sunda Tak Boleh Menikah dengan Lelaki Jawa
Selasa, 23 Juli 2024 - 17:31 WIB
Di masyarakat, mitos tentang pantangan pernikahan antara suku Jawa dan suku Sunda masih sering terdengar. Banyak yang percaya bahwa jika pantangan ini dilanggar, malapetaka akan menimpa keluarga yang melanggar. Meski zaman sudah modern, kepercayaan ini masih melekat kuat. Asal-usul mitos ini ternyata sudah ada sejak zaman kerajaan.
Kisah ini bermula pada abad ke-14, saat terjadi Perang Bubat yang legendaris. Cerita ini berkaitan dengan keinginan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, yang ingin menikahi putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ketertarikan Hayam Wuruk pada Dyah Pitaloka bermula dari lukisan sang putri yang dibuat secara diam-diam oleh seniman Sungging Prabangkara dan sampai ke Majapahit.
Hayam Wuruk mengirim surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana, ayah Dyah Pitaloka, untuk melamar putrinya. Lamaran tersebut diterima, dan Maharaja Linggabuana bersama rombongan berangkat ke Majapahit, ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Namun, Mahapatih Gajah Mada melihat kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit untuk memenuhi Sumpah Palapa.
Kesalahpahaman ini memicu terjadinya Perang Bubat. Rombongan Sunda yang mengantar Dyah Pitaloka terbunuh, termasuk keluarga putri itu. Menyaksikan tragedi ini, Dyah Pitaloka memilih bela pati (bunuh diri) untuk membela kehormatan negaranya. Peristiwa ini merusak hubungan antara Majapahit dan Sunda, dan sejak saat itu muncul larangan menikah antara laki-laki Jawa dan perempuan Sunda, terutama dari pihak keluarga Sunda.
Selain kisah tersebut, ada legenda lain tentang nasib tragis Mahapatih Gajah Mada. Setelah Perang Bubat, Gajah Mada terus disalahkan atas tragedi tersebut. Tekanan datang dari Raja Wengker yang menuntut agar Gajah Mada dihukum. Perang Bubat yang menyebabkan kematian putri Sunda membuat Raja Hayam Wuruk berduka dan jatuh sakit hingga meninggal. Raja Wengker, didukung Raja Kahuripan, mengumpulkan para menteri untuk menuntut Gajah Mada.
Para tentara Majapahit mengepung rumah Gajah Mada, namun sang patih tidak ditemukan. Istri Gajah Mada hanya bisa mondar-mandir gelisah di dalam rumah. Meski Gajah Mada bersemedi dengan tenang, tentara Majapahit tidak menemukannya dan merampas semua harta benda di rumahnya. Menurut Kidung Sundayana, Gajah Mada moksa (menghilang) ke Wisnuloka saat bersemedi. Istri Gajah Mada, sebagai tanda kesetiaan, menikamkan keris ke dadanya dan melakukan bela pati.
Kematian Gajah Mada masih menjadi misteri hingga kini. Kitab Negarakertagama mencatat bahwa Gajah Mada wafat pada tahun 1364. Setelah mendengar kematian Gajah Mada, Hayam Wuruk segera mencari penggantinya. Tragedi Perang Bubat dan nasib tragis Gajah Mada menambah kompleksitas sejarah hubungan antara Majapahit dan Sunda, yang kemudian melahirkan mitos larangan pernikahan antara dua suku besar ini.
Kisah ini bermula pada abad ke-14, saat terjadi Perang Bubat yang legendaris. Cerita ini berkaitan dengan keinginan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, yang ingin menikahi putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ketertarikan Hayam Wuruk pada Dyah Pitaloka bermula dari lukisan sang putri yang dibuat secara diam-diam oleh seniman Sungging Prabangkara dan sampai ke Majapahit.
Hayam Wuruk mengirim surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana, ayah Dyah Pitaloka, untuk melamar putrinya. Lamaran tersebut diterima, dan Maharaja Linggabuana bersama rombongan berangkat ke Majapahit, ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Namun, Mahapatih Gajah Mada melihat kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit untuk memenuhi Sumpah Palapa.
Kesalahpahaman ini memicu terjadinya Perang Bubat. Rombongan Sunda yang mengantar Dyah Pitaloka terbunuh, termasuk keluarga putri itu. Menyaksikan tragedi ini, Dyah Pitaloka memilih bela pati (bunuh diri) untuk membela kehormatan negaranya. Peristiwa ini merusak hubungan antara Majapahit dan Sunda, dan sejak saat itu muncul larangan menikah antara laki-laki Jawa dan perempuan Sunda, terutama dari pihak keluarga Sunda.
Selain kisah tersebut, ada legenda lain tentang nasib tragis Mahapatih Gajah Mada. Setelah Perang Bubat, Gajah Mada terus disalahkan atas tragedi tersebut. Tekanan datang dari Raja Wengker yang menuntut agar Gajah Mada dihukum. Perang Bubat yang menyebabkan kematian putri Sunda membuat Raja Hayam Wuruk berduka dan jatuh sakit hingga meninggal. Raja Wengker, didukung Raja Kahuripan, mengumpulkan para menteri untuk menuntut Gajah Mada.
Para tentara Majapahit mengepung rumah Gajah Mada, namun sang patih tidak ditemukan. Istri Gajah Mada hanya bisa mondar-mandir gelisah di dalam rumah. Meski Gajah Mada bersemedi dengan tenang, tentara Majapahit tidak menemukannya dan merampas semua harta benda di rumahnya. Menurut Kidung Sundayana, Gajah Mada moksa (menghilang) ke Wisnuloka saat bersemedi. Istri Gajah Mada, sebagai tanda kesetiaan, menikamkan keris ke dadanya dan melakukan bela pati.
Kematian Gajah Mada masih menjadi misteri hingga kini. Kitab Negarakertagama mencatat bahwa Gajah Mada wafat pada tahun 1364. Setelah mendengar kematian Gajah Mada, Hayam Wuruk segera mencari penggantinya. Tragedi Perang Bubat dan nasib tragis Gajah Mada menambah kompleksitas sejarah hubungan antara Majapahit dan Sunda, yang kemudian melahirkan mitos larangan pernikahan antara dua suku besar ini.
(hri)
tulis komentar anda