Komunitas GSM Gelar Ngkaji Pendidikan di Surabaya
Senin, 27 Mei 2024 - 15:45 WIB
SURABAYA - Komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Jawa Timur menjadi tuan rumah pada Ngkaji Pendidikan bersama Founder GSM Muhammad Nur Rizal. Kegiatan ini digelar di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (25/5/2024).
Dengan edisi spesial Bulan Pendidikan, tema yang dibawakan adalah “Revolusi Guru Indonesia”. Ngkaji Pendidikan dihadiri sekitar 400 peserta yang berasal tidak hanya dari Surabaya, tapi juga dari kota dan kabupaten lain di Jawa Timur. Termasuk juga dari Bali, Pekalongan, Rembang, Semarang, Tangsel, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya.
Memilih kata revolusi, alih-alih transformasi sebagai metode perubahan bukanlah tanpa alasan. Revolusi diartikan Muhammad Nur Rizal sebagai perubahan mendasar dari akar rumput, sementara transformasi merupakan perubahan mendasar yang dilakukan dari atas menggunakan kekuatan politik.
Rizal mengajak perubahan mendasar dari diri sendiri yang berkembang menjadi kelompok, lalu, komunitas, dan membesar menjadi kekuatan akar rumput layaknya tokoh-tokoh perjuangan dari Surabaya, seperti HOS Tjokroaminoto, Cak Durasim, dan lain-lain.
“Dari akar katanya pada Bahasa Sanskerta, guru itu terdiri atas Gu dan Ru. Gu itu gelap dan Ru itu pemusnah. Jadi, maknanya adalah pemusnah kegelapan yang tidak hanya membawa jalan terang, tetapi juga harus memusnahkan kegelapan yang dimanifestasikan sebagai kebodohan dan ketidakberdayaan,” katanya.
Menurutnya, secara dimensi fisik, guru mengajarkan jalan-jalan kehidupan yang baik bagi manusia. Secara dimensi spiritualnya, guru mengajarkan jalan-jalan bagi manusia untuk mengetahui siapa dirinya, kelemahan dan kelebihan, asal-usul, dan ke mana hidup manusia akan menuju. ”Definisi guru tidak hanya disempitkan pada pengajar di ruang kelas, tetapi juga guru di alam kehidupan dalam rupa orang tua, budayawan, sastrawan, dan seniman,” tambahnya.
Setelahnya, Rizal membahas tentang bagaimana tereduksinya makna dan marwah seorang guru di Indonesia dari masa ke masa. Dimulai dari guru zaman kolonialisme yang berhasil membentuk sifat idealis, tegas, dan keras.
Orde Lama yang pusat pengajarannya ada pada karakter, moral, dan nilai-nilai. Orde Baru yang pekat akan unsur feodalisme. Sedangkan Zaman Reformasi yang menuai anggapan bahwa insentif bagi guru tidak sejalan dengan kualitas yang ditunjukkan. ”Hingga masa yang sedang kita alami, yaitu era teknologi dan internet yang justeru semakin menjauhkan guru dari marwahnya, guru seolah hanya sekadar menjadi budak teknologi,” tuturnya.
Rizal juga menekankan bahwa masalah terbesar bagi guru saat ini adalah kesulitan untuk lepas dari tirani pikiran lama. Para pendidik sulit untuk menjadi diri sendiri dan menemukan versi terbaik dari dirinya yang secara tidak sadar menjadikan mereka robot-robot manusia kerumunan.
“Pesan saya, jangan jadi manusia kerumunan. Jadilah manusia yang memiliki nilai hidup sendiri yang dipandu oleh moralitas alamiah, agar kita bisa mencatatkan sejarah dalam lembar kehidupan kita," tandasnya.
Kepala Sekolah SD Negeri 2 Api-api dan pegiat GSM dari Pekalongan C Nuredi berterima kasih atas gelaran Ngkaji Pendidikan di Surabaya itu. ”Ini adalah sebuah revolusi yang berakar dari hati dan jiwa para pendidik: sebuah Revolusi Guru Indonesia yang dipelopori Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM),” ungkapnya.
Dengan edisi spesial Bulan Pendidikan, tema yang dibawakan adalah “Revolusi Guru Indonesia”. Ngkaji Pendidikan dihadiri sekitar 400 peserta yang berasal tidak hanya dari Surabaya, tapi juga dari kota dan kabupaten lain di Jawa Timur. Termasuk juga dari Bali, Pekalongan, Rembang, Semarang, Tangsel, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya.
Memilih kata revolusi, alih-alih transformasi sebagai metode perubahan bukanlah tanpa alasan. Revolusi diartikan Muhammad Nur Rizal sebagai perubahan mendasar dari akar rumput, sementara transformasi merupakan perubahan mendasar yang dilakukan dari atas menggunakan kekuatan politik.
Rizal mengajak perubahan mendasar dari diri sendiri yang berkembang menjadi kelompok, lalu, komunitas, dan membesar menjadi kekuatan akar rumput layaknya tokoh-tokoh perjuangan dari Surabaya, seperti HOS Tjokroaminoto, Cak Durasim, dan lain-lain.
“Dari akar katanya pada Bahasa Sanskerta, guru itu terdiri atas Gu dan Ru. Gu itu gelap dan Ru itu pemusnah. Jadi, maknanya adalah pemusnah kegelapan yang tidak hanya membawa jalan terang, tetapi juga harus memusnahkan kegelapan yang dimanifestasikan sebagai kebodohan dan ketidakberdayaan,” katanya.
Menurutnya, secara dimensi fisik, guru mengajarkan jalan-jalan kehidupan yang baik bagi manusia. Secara dimensi spiritualnya, guru mengajarkan jalan-jalan bagi manusia untuk mengetahui siapa dirinya, kelemahan dan kelebihan, asal-usul, dan ke mana hidup manusia akan menuju. ”Definisi guru tidak hanya disempitkan pada pengajar di ruang kelas, tetapi juga guru di alam kehidupan dalam rupa orang tua, budayawan, sastrawan, dan seniman,” tambahnya.
Setelahnya, Rizal membahas tentang bagaimana tereduksinya makna dan marwah seorang guru di Indonesia dari masa ke masa. Dimulai dari guru zaman kolonialisme yang berhasil membentuk sifat idealis, tegas, dan keras.
Orde Lama yang pusat pengajarannya ada pada karakter, moral, dan nilai-nilai. Orde Baru yang pekat akan unsur feodalisme. Sedangkan Zaman Reformasi yang menuai anggapan bahwa insentif bagi guru tidak sejalan dengan kualitas yang ditunjukkan. ”Hingga masa yang sedang kita alami, yaitu era teknologi dan internet yang justeru semakin menjauhkan guru dari marwahnya, guru seolah hanya sekadar menjadi budak teknologi,” tuturnya.
Rizal juga menekankan bahwa masalah terbesar bagi guru saat ini adalah kesulitan untuk lepas dari tirani pikiran lama. Para pendidik sulit untuk menjadi diri sendiri dan menemukan versi terbaik dari dirinya yang secara tidak sadar menjadikan mereka robot-robot manusia kerumunan.
“Pesan saya, jangan jadi manusia kerumunan. Jadilah manusia yang memiliki nilai hidup sendiri yang dipandu oleh moralitas alamiah, agar kita bisa mencatatkan sejarah dalam lembar kehidupan kita," tandasnya.
Kepala Sekolah SD Negeri 2 Api-api dan pegiat GSM dari Pekalongan C Nuredi berterima kasih atas gelaran Ngkaji Pendidikan di Surabaya itu. ”Ini adalah sebuah revolusi yang berakar dari hati dan jiwa para pendidik: sebuah Revolusi Guru Indonesia yang dipelopori Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM),” ungkapnya.
(poe)
tulis komentar anda