Kisah Putusnya Persahabatan Mataram dan Banten Akibat Kegagalan Perkawinan Anak Pejabat
Senin, 11 September 2023 - 06:34 WIB
MATARAM - Kerajaan Mataram dan Banten memiliki hubungan baik pasca Sultan Amangkurat I memutuskan menuruti permintaan ulama. Hubungan baik kedua kerajaan ini pun terjalin begitu lama. Namun hubungan persahabatan ini akhirnya terputus akibat kegagalan rencana perkawinan.
Saat itu salah satu pejabat Kerajaan Mataram ingin menikahi perempuan dari Banten. Pada sekitar awal bulan Juli 1657, tibalah di Banten empat perahu Tumenggung Pati dari Kerajaan Mataram, rombongan itu membawa hadiah-hadiah aneh, yang atas perintah Sunan Mataram harus disampaikan kepada Sultan Banten.
Hadiah-hadiah itu berupa sepasang ayam hutan dan sepasang burung dara, berikut sebuah kantung kecil berisi buah-buahan Jawa yang kalau diperas mengeluarkan minyak. Sudah tentu hadiah ini mempunyai arti yang kurang menyenangkan bagi orang Banten.
Sultan Banten pun membalas hadiah Sultan Amangkurat I penguasa Mataram ini dengan beberapa hadiah menarik pula. Tercatat sebagaimana dikutip dari "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I", hadiah mulai dari sebuah pisau cukur, gunting, topi Jawa berwarna putih, dan kain putih yang panjang, diberikan sang Sultan Banten ini.
Penjelasan yang diberikan mengenai hadiah itu tidak banyak memuaskan. Lebih masuk akal hadiah itu dipandang sebagai sindiran terhadap sangat kurangnya kesalehan Sunan. Orang alim mencukur rambutnya dan memakai jubah putih Arab yang panjang, berikut sebuah kopiah putih.
Bagaimana pun, pertukaran pikiran yang simbolis ini mengandung sifat yang sengit serta menunjuk kepada hubungan yang semakin dingin, dan pasti akan pecah menjadi peperangan. Adanya ketegangan ini menggembirakan orang di Batavia.
Menurut Truijtman utusan Belanda di Batavia, kedua belah pihak bagaikan dua musuh besar, yang saling amat menakuti. Demikianlah, maka pisau yang satu membuat pisau yang kedua tetap berada di dalam sarung.
Di momen menjelang perkawinan itu, bahkan konon terjadi percakapan antara Tumenggung Pati dengan penguasa wilayah Banten. Sang tumenggung meminta rekomendasi 100 gadis yang akan dibawa dan dipilih. Nantinya konon hanya dua gadis saja yang akan dipilih dari 100 gadis Banten yang diminta.
Sayang prosesi itu ditolak oleh Banten, mereka konon meminta gadis-gadis Banten untuk menolaknya. Sebab Sultan Banten ingin memilihnya sendiri siapa warganya yang akan dinikahkan dengan putra pejabat Kerajaan Mataram.
Konon hal inilah yang tak disukai Mataram sehingga memunculkan perang dingin, yang berujung pada putusnya hubungan kedua kesultanan Islam saat itu
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Saat itu salah satu pejabat Kerajaan Mataram ingin menikahi perempuan dari Banten. Pada sekitar awal bulan Juli 1657, tibalah di Banten empat perahu Tumenggung Pati dari Kerajaan Mataram, rombongan itu membawa hadiah-hadiah aneh, yang atas perintah Sunan Mataram harus disampaikan kepada Sultan Banten.
Hadiah-hadiah itu berupa sepasang ayam hutan dan sepasang burung dara, berikut sebuah kantung kecil berisi buah-buahan Jawa yang kalau diperas mengeluarkan minyak. Sudah tentu hadiah ini mempunyai arti yang kurang menyenangkan bagi orang Banten.
Sultan Banten pun membalas hadiah Sultan Amangkurat I penguasa Mataram ini dengan beberapa hadiah menarik pula. Tercatat sebagaimana dikutip dari "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I", hadiah mulai dari sebuah pisau cukur, gunting, topi Jawa berwarna putih, dan kain putih yang panjang, diberikan sang Sultan Banten ini.
Penjelasan yang diberikan mengenai hadiah itu tidak banyak memuaskan. Lebih masuk akal hadiah itu dipandang sebagai sindiran terhadap sangat kurangnya kesalehan Sunan. Orang alim mencukur rambutnya dan memakai jubah putih Arab yang panjang, berikut sebuah kopiah putih.
Bagaimana pun, pertukaran pikiran yang simbolis ini mengandung sifat yang sengit serta menunjuk kepada hubungan yang semakin dingin, dan pasti akan pecah menjadi peperangan. Adanya ketegangan ini menggembirakan orang di Batavia.
Menurut Truijtman utusan Belanda di Batavia, kedua belah pihak bagaikan dua musuh besar, yang saling amat menakuti. Demikianlah, maka pisau yang satu membuat pisau yang kedua tetap berada di dalam sarung.
Di momen menjelang perkawinan itu, bahkan konon terjadi percakapan antara Tumenggung Pati dengan penguasa wilayah Banten. Sang tumenggung meminta rekomendasi 100 gadis yang akan dibawa dan dipilih. Nantinya konon hanya dua gadis saja yang akan dipilih dari 100 gadis Banten yang diminta.
Sayang prosesi itu ditolak oleh Banten, mereka konon meminta gadis-gadis Banten untuk menolaknya. Sebab Sultan Banten ingin memilihnya sendiri siapa warganya yang akan dinikahkan dengan putra pejabat Kerajaan Mataram.
Konon hal inilah yang tak disukai Mataram sehingga memunculkan perang dingin, yang berujung pada putusnya hubungan kedua kesultanan Islam saat itu
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(hri)
tulis komentar anda