Harus Sabar dan Mampu Redam Emosi Pasien
A
A
A
Menjadi seorang fisioterapis bukan cita-cita yang diinginkan Miarel Ananda Fitri, 22. Sejak kecil dia ingin menjadi pengacara dan ayahnya memintanya jadi polisi wanita (polwan).
Namun, pilihannya menekuni profesi fisioterapis bukan pelarian. Miarel sadar dan paham dengan konsekuensi pilihannya tersebut. Sebagai fisioterapis, dia harus sabar dan mampu mengontrol emosi pasiennya yang bosan menjalani terapi pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya.
“Kuncinya ketenangan dan sabar. Soalnya fisioterapis harus bisa mengontrol emosi pasien. Apalagi menghadapi pasien dari pedalaman yang hanya bisa bahasa daerah. Belum lagi mereka tak sabar menjalani terapis agar segera sembuh,” ungkap Miarel kepada KORAN SINDO MEDAN , Jumat (8/5). Wanita lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Siti Hajar ini mengaku tidak mudah menjalani profesi sebagai fisioterapis. Banyak tantangan dihadapi.
Bukan sekadar menguasai teori dan mampu menangani pasien. Dibutuhkan kemampuan lebih, terutama kreativitas menangani pasien dengan kasus sakit yang berbeda. “Kalau tidak punya kemampuan itu bisa memperlama si pasien sembuh. Jadi, tidak bisa mengandalkan apa yang didapat dari kuliah atau sekadar menguasai teori.
Butuh kemampuan lebih, berani bereksperimen dan mengembangkan ilmu yang didapat,” kata bungsu dari empat bersaudara ini. Tantangan lain yang dialami Miarel selama menggeluti profesi ini ketika berinteraksi dengan pasien. Terutama dalam memberikan penjelasan terkait penyakit yang diderita, penanganan, efek yang dirasakan, dan imbasnya setelah dilakukan penanganan.
Sebab, tidak semua pasien bisa mengerti dengan bahasa medis. Seorang fisioterapis harus menyesuaikan dengan bahasa mereka agar mudah dipahami. “Pasien harus diberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami. Seperti syaraf diganti urat. Harus mengikuti bahasa mereka. Kami harus akui tidak semuanya paham,” kata gadis yang tinggal di Perumnas Helvetia ini.
Semua tantangan yang dihadapi terasa manis ketika berhasil menyembuhkan pasien yang ditangani. Terutama pasien yang menderita penyakit parah dan ditangani sejak awal. “Salah satunya ketika saya menangani dokter paru yang mengalami sakit pinggang.
Dia sembuh dan sangat puas dengan pengobatan yang dijalani. Saya pun senang. Banyak juga yang lain. Bahkan ada yang memberikan makanan sebagai ungkapan terima kasih,” ujar Miarel. Sepertinya, pilihan Miarel menjadi fisioterapis tidak keliru. Meski menjadi salah satu-satu fisioterapis termuda di Klinik Fisioterapi Siti Hajar, dia sudah banyak merasakan asam garam profesi ini.
“Saya memilih profesi sebagai fisioterapis atas saran kakak. Ternyata ngak salah karena peluangnya masih terbuka lebar dan masih sedikit yang tertarik menekuninya. Saya yakin ke depan profesi fisioterapis akan lebih dihargai,” pungkasnya.
Reza shahab
Medan
Namun, pilihannya menekuni profesi fisioterapis bukan pelarian. Miarel sadar dan paham dengan konsekuensi pilihannya tersebut. Sebagai fisioterapis, dia harus sabar dan mampu mengontrol emosi pasiennya yang bosan menjalani terapi pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya.
“Kuncinya ketenangan dan sabar. Soalnya fisioterapis harus bisa mengontrol emosi pasien. Apalagi menghadapi pasien dari pedalaman yang hanya bisa bahasa daerah. Belum lagi mereka tak sabar menjalani terapis agar segera sembuh,” ungkap Miarel kepada KORAN SINDO MEDAN , Jumat (8/5). Wanita lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Siti Hajar ini mengaku tidak mudah menjalani profesi sebagai fisioterapis. Banyak tantangan dihadapi.
Bukan sekadar menguasai teori dan mampu menangani pasien. Dibutuhkan kemampuan lebih, terutama kreativitas menangani pasien dengan kasus sakit yang berbeda. “Kalau tidak punya kemampuan itu bisa memperlama si pasien sembuh. Jadi, tidak bisa mengandalkan apa yang didapat dari kuliah atau sekadar menguasai teori.
Butuh kemampuan lebih, berani bereksperimen dan mengembangkan ilmu yang didapat,” kata bungsu dari empat bersaudara ini. Tantangan lain yang dialami Miarel selama menggeluti profesi ini ketika berinteraksi dengan pasien. Terutama dalam memberikan penjelasan terkait penyakit yang diderita, penanganan, efek yang dirasakan, dan imbasnya setelah dilakukan penanganan.
Sebab, tidak semua pasien bisa mengerti dengan bahasa medis. Seorang fisioterapis harus menyesuaikan dengan bahasa mereka agar mudah dipahami. “Pasien harus diberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami. Seperti syaraf diganti urat. Harus mengikuti bahasa mereka. Kami harus akui tidak semuanya paham,” kata gadis yang tinggal di Perumnas Helvetia ini.
Semua tantangan yang dihadapi terasa manis ketika berhasil menyembuhkan pasien yang ditangani. Terutama pasien yang menderita penyakit parah dan ditangani sejak awal. “Salah satunya ketika saya menangani dokter paru yang mengalami sakit pinggang.
Dia sembuh dan sangat puas dengan pengobatan yang dijalani. Saya pun senang. Banyak juga yang lain. Bahkan ada yang memberikan makanan sebagai ungkapan terima kasih,” ujar Miarel. Sepertinya, pilihan Miarel menjadi fisioterapis tidak keliru. Meski menjadi salah satu-satu fisioterapis termuda di Klinik Fisioterapi Siti Hajar, dia sudah banyak merasakan asam garam profesi ini.
“Saya memilih profesi sebagai fisioterapis atas saran kakak. Ternyata ngak salah karena peluangnya masih terbuka lebar dan masih sedikit yang tertarik menekuninya. Saya yakin ke depan profesi fisioterapis akan lebih dihargai,” pungkasnya.
Reza shahab
Medan
(bbg)