Pernah Jadi Tripod saat Ambil Foto Delegasi Negara
A
A
A
BANDUNG - Terus dikenangnya perhelatan akbar Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 silam, tantu tak lepas dari peran semua pihak yang terlibat didalamnya.
Tak terkecuali para pewarta foto (forografer) yang kala itu berperan mengaba dikan semua momen penting. Salah satu orang yang ter libat pada pendo ku men ta si an momen bersejarah itu adalah Paul Tedjasurja. Pria yang kini ber usia 85 tahun ini adalah salah satu saksi hidup dan perekam sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 silam.
Saat itu, kakek enam cucu ini berusia 25 tahun dan sudah menjadi seorang fotografer lepas. Saat itu, Paul terlibat mengabadikan sejumlah peristiwa penting yang terjadi pada momen KAA. Di antaranya bandara dan di Gedung Merdeka. Ri buan gambar sudah dia abadikan dalam jempretan kamera. Berkat karyanya itu, generasi masa kini dapat menyaksikan bagaimana peristiwa puluhan tahun silam itu terjadi.
Semua momen tersebut, saat ini dipamerkan pada pameran foto dan peluncuran buku Paul Tedjasurja Bandung 1955 Moments of Asian African Conferencedi Mal Paris Van Java, Jalan Sukajadi, Kota Bandung. Pameran itu memajang sekitar 50 foto karyanya. Acara tersebut diselenggarakan selama satu minggu mulai 20-26 April 2015. Kendati telah sepuh, Paul hadir menjawab pertanyaan wartawan pada sesi konferensi pers dengan awak media.
Kemudian acara di lanjutkan dengan launching buku. Tak banyak yang diungkap saat dia menjawab pertanyaan wartawan. Bahkan sesekali pertanyaan dari awal media harus diulang kembali oleh moderator. Jawabannya pun singkatsingkat. Barangkali karena kapasitas bicara dan mendengarnya mulai terbatas. Tapi dia terlihat sehat dan berseri-seri saat bertemu dengan awak media.
Menurut dia, ada beberapa hal unik tapi berkesan saat di Bandara Husein Sastranegara. Ketika semua wartawan mengabadikan kedatangan para pemimpinan negara Asia Afrika, dia dijadikan tripod oleh salah seorang wartawan. “Saya tidak Marah. Itu kenangan yang tak bisa dilupakan,” ungkap Paul.
Dia juga mengisahkan, bagaimana wartawan dengan mudahnya mewawancarai atau menemui kepala negara. Begitu juga dengan masyarakat. Saat itu warga Bandung bisa menyaksikan dari dekat. “Kalau sekarang memang ketat ya. Dulu tidak seketat sekarang,” kata ayah tiga anak ini. Saat ditanya harapan dengan KAA saat ini, dia mengharapkan anggota KAA bisa terus bersatu. “Negara anggota KAA harus bersatu,” ujar pria dengan julukkan “The Publie Eye” ini.
Galih Sedayu dari Air Photoghrafi, yang turut hadir dalam kesempatan itu menuturkan, foto yang dipamerkan berasal dari dokumentasi karya Paul. Baik dalam bentuk foto atau pun negatif (klise). Namun, oleh Air Fotografi, foto-foto tersebut dialihkan dalam bentuk digital, dengan persetujuan Paul. “Mungkin hanya foto ini yang tersisa,” ujar Galih.
Dia mengharapkan, pameran foto ini menjadi referensi masyarakat tentang sejarah KAA. Sementara buku yang baru saja diterbitkan itu berharap bisa menjadi jejak literasi bangsa ini dalam kegiatan KAA.
Anne Rufaidah
Tak terkecuali para pewarta foto (forografer) yang kala itu berperan mengaba dikan semua momen penting. Salah satu orang yang ter libat pada pendo ku men ta si an momen bersejarah itu adalah Paul Tedjasurja. Pria yang kini ber usia 85 tahun ini adalah salah satu saksi hidup dan perekam sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 silam.
Saat itu, kakek enam cucu ini berusia 25 tahun dan sudah menjadi seorang fotografer lepas. Saat itu, Paul terlibat mengabadikan sejumlah peristiwa penting yang terjadi pada momen KAA. Di antaranya bandara dan di Gedung Merdeka. Ri buan gambar sudah dia abadikan dalam jempretan kamera. Berkat karyanya itu, generasi masa kini dapat menyaksikan bagaimana peristiwa puluhan tahun silam itu terjadi.
Semua momen tersebut, saat ini dipamerkan pada pameran foto dan peluncuran buku Paul Tedjasurja Bandung 1955 Moments of Asian African Conferencedi Mal Paris Van Java, Jalan Sukajadi, Kota Bandung. Pameran itu memajang sekitar 50 foto karyanya. Acara tersebut diselenggarakan selama satu minggu mulai 20-26 April 2015. Kendati telah sepuh, Paul hadir menjawab pertanyaan wartawan pada sesi konferensi pers dengan awak media.
Kemudian acara di lanjutkan dengan launching buku. Tak banyak yang diungkap saat dia menjawab pertanyaan wartawan. Bahkan sesekali pertanyaan dari awal media harus diulang kembali oleh moderator. Jawabannya pun singkatsingkat. Barangkali karena kapasitas bicara dan mendengarnya mulai terbatas. Tapi dia terlihat sehat dan berseri-seri saat bertemu dengan awak media.
Menurut dia, ada beberapa hal unik tapi berkesan saat di Bandara Husein Sastranegara. Ketika semua wartawan mengabadikan kedatangan para pemimpinan negara Asia Afrika, dia dijadikan tripod oleh salah seorang wartawan. “Saya tidak Marah. Itu kenangan yang tak bisa dilupakan,” ungkap Paul.
Dia juga mengisahkan, bagaimana wartawan dengan mudahnya mewawancarai atau menemui kepala negara. Begitu juga dengan masyarakat. Saat itu warga Bandung bisa menyaksikan dari dekat. “Kalau sekarang memang ketat ya. Dulu tidak seketat sekarang,” kata ayah tiga anak ini. Saat ditanya harapan dengan KAA saat ini, dia mengharapkan anggota KAA bisa terus bersatu. “Negara anggota KAA harus bersatu,” ujar pria dengan julukkan “The Publie Eye” ini.
Galih Sedayu dari Air Photoghrafi, yang turut hadir dalam kesempatan itu menuturkan, foto yang dipamerkan berasal dari dokumentasi karya Paul. Baik dalam bentuk foto atau pun negatif (klise). Namun, oleh Air Fotografi, foto-foto tersebut dialihkan dalam bentuk digital, dengan persetujuan Paul. “Mungkin hanya foto ini yang tersisa,” ujar Galih.
Dia mengharapkan, pameran foto ini menjadi referensi masyarakat tentang sejarah KAA. Sementara buku yang baru saja diterbitkan itu berharap bisa menjadi jejak literasi bangsa ini dalam kegiatan KAA.
Anne Rufaidah
(ftr)