Sempat Minder dan Malu, Kini Jadi Motivator Anak Tunarungu
A
A
A
Memiliki keterbatasan dan kelainan dibanding manusia normal lainnya memang hal yang tidak diinginkan.
Akibat menyandang kelainan itu, banyak penyandang cacat selalu menjadi bahan ejekan dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dalam kehidupan sosialnya. Hal tersebut juga pernah dirasakan Irena Cherry, perempuan kelahiran Semarang, 26 Maret 1988. Sejak dinyatakan mengidap penyakit tunarungu saat usia 4 tahun, Cherry kecil selalu diejek oleh teman-teman dan tetangga sekitar.
“Saya sering diejek oleh teman-teman normal lainnya. Saat itu saya malu sekali dan minder untuk bergaul. Saya sering menangis saat diejek karena sangat menyakitkan hati,” katanya saat ditemui seusai menjadi juri di salah satu acara anak tunarungu di Semarang, beberapa waktu lalu. Apalagi saat berangkat sekolah, Cherry selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Meski awalnya sakit hati, tapi karena dorongan semangat dari dirinya dan orang tuanya, Cherry mencoba tegar dan tetap semangat menjalani hidup.
“Apalagi saya sekolah sejak TK hingga SMA di sekolah umum bersama teman-teman normal lainnya. Jadi, pasti akan dianggap aneh dan kadang sering diejek,” katanya tersenyum getir mengenang masa kecilnya yang pahit itu. Dari ejekan dan hinaan yang diterima, Cherry tambah semangat belajar. Ternyata hasilnya memuaskan, selama sekolah dia selalu masuk empat besar siswa berprestasi. Pada 2014 lalu gadis cantik yang memiliki hobi berenang dan jalan-jalan ini mengikuti sebuah ajang pemilihan Putri Tunarungu Indonesia di Jakarta.
Berbekal semangat dan kemampuan modeling, bahasa isyarat dan menari, putri Alm Harry Noto dan Tunik Haryanto ini berangkat ke Jakarta untuk mengikuti ajang itu. “Saat itu saya hanya ingin menambah pengalaman. Selain itu, juga ingin menambah jaringan secara lebih luas,” ujar warga Cempolo Rejo Gang VII Nomor 21 Kecamatan Semarang Barat itu. Siapa sangka, kemampuan Cherry dalam berbagai ajang yang dilombakan itu menarik dewan juri. Akhirnya dia berhasil menyabet juara 2 Putri Tunarungu Indonesia tahun 2014.
“Itu adalah hal yang sangat membanggakan buat saya. Dengan gelar ini, saya ingin membuktikan kepada dunia bahwa orang berkebutuhan khusus juga dapat berprestasi,” ujarnya sambil berkaca-kaca. Setelah mendapatkan gelar itu, Cherry semakin percaya diri menjalani kehidupannya. Saat ini dia sering diundang menjadi pembicara atau juri untuk memotivasi anak-anak berkebutuhan khusus lainnya dan orang tua mereka.
“Setiap diundang mengisi acara, saya selalu berpesan kepada anak-anak tunarungu agar terus belajar dan berkarya dengan kemampuan masingmasing. Saya ingin mengajak mereka optimis dan semangat menjadi anak berprestasi. Sementara kepada orang tua anak tersebut, saya selalu mengingatkan bahwa anak tunarungu sama dengan anak normal lain. Mereka tidak perlu malu bahkan minder memiliki anak tunarungu, dan terus mendukung mereka untuk mengoptimalkan kemampuannya,” paparnya.
Pimpinan Rumah Pintar Anak Berkebutuhan Khusus Gangguan Pendengaran Efata Semarang Maria Caecilia Windy Aryadewi menilai sosok Cherry merupakan salah satu bukti bahwa kaum tunarungu juga dapat berprestasi. Melalui sosok Cherry ini, orang tua yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran atau gangguan lain diharapkan tidak minder dan terus semangat mendidik buah hatinya.
“Intinya bahwa anak dengan kebutuhan khusus itu sama dengan anak normal lainnya. Mereka juga berhak mendapatkan hal yang sama dan memiliki potensi yang harus dikembangkan. Namun, selama ini stigma negatif kepada mereka belum hilang. Diharapkan masyarakat semakin sadar dan memberikan ruang kepada mereka untuk berekspresi,” ujarnya.
Andika Prabowo
Kota Semarang
Akibat menyandang kelainan itu, banyak penyandang cacat selalu menjadi bahan ejekan dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dalam kehidupan sosialnya. Hal tersebut juga pernah dirasakan Irena Cherry, perempuan kelahiran Semarang, 26 Maret 1988. Sejak dinyatakan mengidap penyakit tunarungu saat usia 4 tahun, Cherry kecil selalu diejek oleh teman-teman dan tetangga sekitar.
“Saya sering diejek oleh teman-teman normal lainnya. Saat itu saya malu sekali dan minder untuk bergaul. Saya sering menangis saat diejek karena sangat menyakitkan hati,” katanya saat ditemui seusai menjadi juri di salah satu acara anak tunarungu di Semarang, beberapa waktu lalu. Apalagi saat berangkat sekolah, Cherry selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Meski awalnya sakit hati, tapi karena dorongan semangat dari dirinya dan orang tuanya, Cherry mencoba tegar dan tetap semangat menjalani hidup.
“Apalagi saya sekolah sejak TK hingga SMA di sekolah umum bersama teman-teman normal lainnya. Jadi, pasti akan dianggap aneh dan kadang sering diejek,” katanya tersenyum getir mengenang masa kecilnya yang pahit itu. Dari ejekan dan hinaan yang diterima, Cherry tambah semangat belajar. Ternyata hasilnya memuaskan, selama sekolah dia selalu masuk empat besar siswa berprestasi. Pada 2014 lalu gadis cantik yang memiliki hobi berenang dan jalan-jalan ini mengikuti sebuah ajang pemilihan Putri Tunarungu Indonesia di Jakarta.
Berbekal semangat dan kemampuan modeling, bahasa isyarat dan menari, putri Alm Harry Noto dan Tunik Haryanto ini berangkat ke Jakarta untuk mengikuti ajang itu. “Saat itu saya hanya ingin menambah pengalaman. Selain itu, juga ingin menambah jaringan secara lebih luas,” ujar warga Cempolo Rejo Gang VII Nomor 21 Kecamatan Semarang Barat itu. Siapa sangka, kemampuan Cherry dalam berbagai ajang yang dilombakan itu menarik dewan juri. Akhirnya dia berhasil menyabet juara 2 Putri Tunarungu Indonesia tahun 2014.
“Itu adalah hal yang sangat membanggakan buat saya. Dengan gelar ini, saya ingin membuktikan kepada dunia bahwa orang berkebutuhan khusus juga dapat berprestasi,” ujarnya sambil berkaca-kaca. Setelah mendapatkan gelar itu, Cherry semakin percaya diri menjalani kehidupannya. Saat ini dia sering diundang menjadi pembicara atau juri untuk memotivasi anak-anak berkebutuhan khusus lainnya dan orang tua mereka.
“Setiap diundang mengisi acara, saya selalu berpesan kepada anak-anak tunarungu agar terus belajar dan berkarya dengan kemampuan masingmasing. Saya ingin mengajak mereka optimis dan semangat menjadi anak berprestasi. Sementara kepada orang tua anak tersebut, saya selalu mengingatkan bahwa anak tunarungu sama dengan anak normal lain. Mereka tidak perlu malu bahkan minder memiliki anak tunarungu, dan terus mendukung mereka untuk mengoptimalkan kemampuannya,” paparnya.
Pimpinan Rumah Pintar Anak Berkebutuhan Khusus Gangguan Pendengaran Efata Semarang Maria Caecilia Windy Aryadewi menilai sosok Cherry merupakan salah satu bukti bahwa kaum tunarungu juga dapat berprestasi. Melalui sosok Cherry ini, orang tua yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran atau gangguan lain diharapkan tidak minder dan terus semangat mendidik buah hatinya.
“Intinya bahwa anak dengan kebutuhan khusus itu sama dengan anak normal lainnya. Mereka juga berhak mendapatkan hal yang sama dan memiliki potensi yang harus dikembangkan. Namun, selama ini stigma negatif kepada mereka belum hilang. Diharapkan masyarakat semakin sadar dan memberikan ruang kepada mereka untuk berekspresi,” ujarnya.
Andika Prabowo
Kota Semarang
(ars)