Nasib Makin Tak Jelas, Ingin Pindah Negara Tujuan

Nasib Makin Tak Jelas, Ingin Pindah Negara Tujuan
A
A
A
Sapuan mata penuh kecurigaan para penghuni setiap kali ada seseorang masuk ke tempat penampungan imigran gelap yang berada di Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon.
Seolah mata mereka bertanya apa tujuan warga setempat masuk ke tempat yang mereka tinggal selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ini. Puluhan orang dari Afghanistan, Iran, Irak, ataupun Myanmar, langsung berkumpul dan mengelilingi setiap orang lokal masuk ke penampungan itu. Demikian juga ketika awak media mendatangi mereka belum lama ini. Tiba-tiba salah satu dari mereka dengan ukuran badan rata-rata sama dengan orang Indonesia menyeruak maju.
Senyum ramah langsung menyapa pria yang kala itu berbaju oranye. Sambutan tangan mengajak salaman langsung dia berikan kepada awak media. Dengan sedikit terbata-bata dan logatnya aneh, dia mengucapkan selamat datang. Meski agak susah dan mencoba mengucapkan salam berbahasa Indonesia.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu,” ucap lakilaki yang akhirnya diketahui bernama Mohammad Rezanuri ini. Meski terdengar logatnya sedikit aneh, tetapi dia memintakan maaf sikap dari rekanrekannya. Setelah sedikit memperkenalkan diri dan mengucapkan maksud dari kedatangan awak media, dia menjelaskan kepada rekan-rekannya. Satu per satu mereka membubarkan diri menuju ke ruangan mereka masing-masing.
Mohammed menuturkan, sudah delapan bulan tinggal di penampungan itu. Sebelumnya, dia tinggal di Pontianak selama dua tahun. Selama dua tahun tinggal di Pontianak, dia belajar bahasa Indonesia dari penduduk sekitar. Sedikit demi sedikit dia bisa mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Kini di penampungan selain menjadi juru bicara, dia juga mengajari temantemannya yang senasib dengan dirinya berbahasa Indonesia. “Kami terusir dari tempat tinggal di negara kami lahir,” ujarnya.
Dia mengaku sekitar 3 tahun meninggalkan negaranya untuk mencari suaka politik ke Australia. Dia terpaksa pergi dari negaranya di Afghanistan sebab oleh kelompok radikal, Taliban, dirinya dikira sebagai orang pemerintah. Dia terus diburu ke setiap sudut negaranya sehingga memutuskan pergi dari negaranya menggunakan kapal menuju ke Australia. Hanya ketika sampai di Perairan Indonesia, dia bersama rombongan lainnya terdampar di Kalimantan dan diamankan pihak imigrasi setempat.
Dirinya lantas “dipaksa” tinggal di penampungan sampai ada kepastian dari negara Australia yang membuka kembali pintu suaka bagi dirinya. Jika tidak diterima di Australia, ia ingin pergi ke Negara Paman Syam. “Setelah di Pontianak, saya dipindah ke sini (Sewon),” ujarnya. Jenuh, itulah yang dia rasakan selama di penampungan.
Meskipun tidak ada aturan ketat mereka harus berdiam diri di penampungan, karena pihak imigrasi memperbolehkan para imigran ke luar dari penampungan untuk sekadar main ataupun jalanjalan. Namun, kebebasan itu tidak mampu menghilangkan rasa rindunya kepada istrinya yang berprofesi sebagai guru di negaranya. Selama di penampungan, kesejahteraan mereka terjamin.
Bahkan, jika dilihat dari penampilan, mereka lebih makmur dibanding dengan masyarakat sekitar. Tentengan I-phone yang termasuk ponsel mahal hampir semua dimiliki penghuni imigran. Komunikasi dengan keluarganya juga lancar, tetapi keinginan mencari kepastian suaka juga masih terngiang dalam benaknya.
“Saya ingin segera mendapat kepastian,” tuturnya. Hanya tampaknya keinginan itu harus semakin lama terkubur dalam benaknya. Karena ternyata saat ini Australia menutup rapat pintu suaka dari Indonesia. Konon katanya, penutupan suaka tersebut gara-gara Presiden Jokowi melaksanakan hukuman mati bagi gembong-gembong narkotika yang banyak terdapat di beberapa penjara. Kepala Subseksi (Kasubsi) Penindakan Kantor Imigrasi DIY, Bambang Dwi Prayoko mengatakan, selama dalam penampungan para imigran gelap ini mendapatkan jatah hidup dan uang saku dari UNESCO.
Mereka juga diberi kebebasan beraktivitas di manapun, hanya tidak diperkenankan untuk bekerja. “Mereka tidak memegang paspor, jadi tidak bisa bekerja,” katanya. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan imigran tersebut menghuni tempat penampungan di Sewon. Karena semua itu tergantung pada negara yang memberi suaka, seperti Australia.
Hanya sampai saat ini tampaknya harapan pihak Australia membuka pintu suaka kapan dilakukan karena setahu dirinya ada efek tertentu karena kebijakan presiden terkini.
Erfanto Linangkung
Bantul
Seolah mata mereka bertanya apa tujuan warga setempat masuk ke tempat yang mereka tinggal selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ini. Puluhan orang dari Afghanistan, Iran, Irak, ataupun Myanmar, langsung berkumpul dan mengelilingi setiap orang lokal masuk ke penampungan itu. Demikian juga ketika awak media mendatangi mereka belum lama ini. Tiba-tiba salah satu dari mereka dengan ukuran badan rata-rata sama dengan orang Indonesia menyeruak maju.
Senyum ramah langsung menyapa pria yang kala itu berbaju oranye. Sambutan tangan mengajak salaman langsung dia berikan kepada awak media. Dengan sedikit terbata-bata dan logatnya aneh, dia mengucapkan selamat datang. Meski agak susah dan mencoba mengucapkan salam berbahasa Indonesia.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu,” ucap lakilaki yang akhirnya diketahui bernama Mohammad Rezanuri ini. Meski terdengar logatnya sedikit aneh, tetapi dia memintakan maaf sikap dari rekanrekannya. Setelah sedikit memperkenalkan diri dan mengucapkan maksud dari kedatangan awak media, dia menjelaskan kepada rekan-rekannya. Satu per satu mereka membubarkan diri menuju ke ruangan mereka masing-masing.
Mohammed menuturkan, sudah delapan bulan tinggal di penampungan itu. Sebelumnya, dia tinggal di Pontianak selama dua tahun. Selama dua tahun tinggal di Pontianak, dia belajar bahasa Indonesia dari penduduk sekitar. Sedikit demi sedikit dia bisa mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Kini di penampungan selain menjadi juru bicara, dia juga mengajari temantemannya yang senasib dengan dirinya berbahasa Indonesia. “Kami terusir dari tempat tinggal di negara kami lahir,” ujarnya.
Dia mengaku sekitar 3 tahun meninggalkan negaranya untuk mencari suaka politik ke Australia. Dia terpaksa pergi dari negaranya di Afghanistan sebab oleh kelompok radikal, Taliban, dirinya dikira sebagai orang pemerintah. Dia terus diburu ke setiap sudut negaranya sehingga memutuskan pergi dari negaranya menggunakan kapal menuju ke Australia. Hanya ketika sampai di Perairan Indonesia, dia bersama rombongan lainnya terdampar di Kalimantan dan diamankan pihak imigrasi setempat.
Dirinya lantas “dipaksa” tinggal di penampungan sampai ada kepastian dari negara Australia yang membuka kembali pintu suaka bagi dirinya. Jika tidak diterima di Australia, ia ingin pergi ke Negara Paman Syam. “Setelah di Pontianak, saya dipindah ke sini (Sewon),” ujarnya. Jenuh, itulah yang dia rasakan selama di penampungan.
Meskipun tidak ada aturan ketat mereka harus berdiam diri di penampungan, karena pihak imigrasi memperbolehkan para imigran ke luar dari penampungan untuk sekadar main ataupun jalanjalan. Namun, kebebasan itu tidak mampu menghilangkan rasa rindunya kepada istrinya yang berprofesi sebagai guru di negaranya. Selama di penampungan, kesejahteraan mereka terjamin.
Bahkan, jika dilihat dari penampilan, mereka lebih makmur dibanding dengan masyarakat sekitar. Tentengan I-phone yang termasuk ponsel mahal hampir semua dimiliki penghuni imigran. Komunikasi dengan keluarganya juga lancar, tetapi keinginan mencari kepastian suaka juga masih terngiang dalam benaknya.
“Saya ingin segera mendapat kepastian,” tuturnya. Hanya tampaknya keinginan itu harus semakin lama terkubur dalam benaknya. Karena ternyata saat ini Australia menutup rapat pintu suaka dari Indonesia. Konon katanya, penutupan suaka tersebut gara-gara Presiden Jokowi melaksanakan hukuman mati bagi gembong-gembong narkotika yang banyak terdapat di beberapa penjara. Kepala Subseksi (Kasubsi) Penindakan Kantor Imigrasi DIY, Bambang Dwi Prayoko mengatakan, selama dalam penampungan para imigran gelap ini mendapatkan jatah hidup dan uang saku dari UNESCO.
Mereka juga diberi kebebasan beraktivitas di manapun, hanya tidak diperkenankan untuk bekerja. “Mereka tidak memegang paspor, jadi tidak bisa bekerja,” katanya. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan imigran tersebut menghuni tempat penampungan di Sewon. Karena semua itu tergantung pada negara yang memberi suaka, seperti Australia.
Hanya sampai saat ini tampaknya harapan pihak Australia membuka pintu suaka kapan dilakukan karena setahu dirinya ada efek tertentu karena kebijakan presiden terkini.
Erfanto Linangkung
Bantul
(ars)