Gepeng Terazia Mayoritas dari Luar DIY
A
A
A
YOGYAKARTA - Dinas Sosial DIY mencatat mayoritas gelandangan dan pengemis (gepeng) yang terazia operasi yustisi Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gepeng berasal dari luar daerah.
"Satu banding sepuluh orang, lebih banyak dari luar DIY," ungkap Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi, kemarin. Bahkan jumlah gepeng yang terazia meningkat tajam dari tahun ke tahun. Tercatat pada 2014 lalu Dinas Sosial DIY merazia sekitar 400 gepeng. Tapi saat ini meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 960 gepeng.
Setelah diundangkannya Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014 itu, lanjut Untung, pihaknya berkoordinasi dengan aparat Satpol PP melaksanakan operasi penertiban di lapangan dengan tegas. "Kami tegas tapi bukan dengan kekerasan. Ketegasan juga diarahkan kepada pemberi uang recehan ke gepeng di jalanan. Mereka bisa kena sanksi," katanya.
Menurut Untung, ketegasan dalam pelaksanaan Perda Gepeng itu guna mewujudkan DIY bebas dari gepeng. Sosialisasi melalui media iklan juga telah terpasang di beberapa titik di pinggir jalan. Adanya sorotan dari komunitas pemerhati gepeng yang menuding adanya pelanggaran HAM oleh aparat penegak perda, Untung terbuka mengajak komunitas itu untuk public hearing.
Penertiban di lapangan diakuinya dalam rangka pembinaan. Karena gepeng yang terazia kemudian dibawa ke camp assessment Dinas Sosial DIY yang berada di Sewon, Bantul. "Komunitas yang memprotes perda, kami siap memberi penjelasan," katanya.
Sementara itu, Sudarmaji, salah satu pengasuh anak jalanan di Kota Yogyakarta menilai pemerintah seharusnya lebih mengutamakan upaya mengubah mental gepeng agar tidak lagi berada di jalanan. "Pelatihan kerja juga penting, tapi itu nomor dua. Yang utama, mengubah mental anak jalanan dan gepeng," ujarnya yang memiliki tempat pembinaan gepeng di Gondokusuman, Yogyakarta.
Pemberian fasilitas untuk belajar dan mendapatkan ijazah Kejar Paket A, B, dan C bagi mereka yang putus sekolah juga tak kalah penting. Agar ke depan para gepeng bisa mengubah hidupnya dengan berbekal kompetensi pendidikan yang diperoleh semasa dibina di panti rehabilitasi sosial.
Ristu hanafi
"Satu banding sepuluh orang, lebih banyak dari luar DIY," ungkap Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi, kemarin. Bahkan jumlah gepeng yang terazia meningkat tajam dari tahun ke tahun. Tercatat pada 2014 lalu Dinas Sosial DIY merazia sekitar 400 gepeng. Tapi saat ini meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 960 gepeng.
Setelah diundangkannya Perda DIY Nomor 1 Tahun 2014 itu, lanjut Untung, pihaknya berkoordinasi dengan aparat Satpol PP melaksanakan operasi penertiban di lapangan dengan tegas. "Kami tegas tapi bukan dengan kekerasan. Ketegasan juga diarahkan kepada pemberi uang recehan ke gepeng di jalanan. Mereka bisa kena sanksi," katanya.
Menurut Untung, ketegasan dalam pelaksanaan Perda Gepeng itu guna mewujudkan DIY bebas dari gepeng. Sosialisasi melalui media iklan juga telah terpasang di beberapa titik di pinggir jalan. Adanya sorotan dari komunitas pemerhati gepeng yang menuding adanya pelanggaran HAM oleh aparat penegak perda, Untung terbuka mengajak komunitas itu untuk public hearing.
Penertiban di lapangan diakuinya dalam rangka pembinaan. Karena gepeng yang terazia kemudian dibawa ke camp assessment Dinas Sosial DIY yang berada di Sewon, Bantul. "Komunitas yang memprotes perda, kami siap memberi penjelasan," katanya.
Sementara itu, Sudarmaji, salah satu pengasuh anak jalanan di Kota Yogyakarta menilai pemerintah seharusnya lebih mengutamakan upaya mengubah mental gepeng agar tidak lagi berada di jalanan. "Pelatihan kerja juga penting, tapi itu nomor dua. Yang utama, mengubah mental anak jalanan dan gepeng," ujarnya yang memiliki tempat pembinaan gepeng di Gondokusuman, Yogyakarta.
Pemberian fasilitas untuk belajar dan mendapatkan ijazah Kejar Paket A, B, dan C bagi mereka yang putus sekolah juga tak kalah penting. Agar ke depan para gepeng bisa mengubah hidupnya dengan berbekal kompetensi pendidikan yang diperoleh semasa dibina di panti rehabilitasi sosial.
Ristu hanafi
(ftr)