Sunario Sastrowardoyo, Sosok Penting di Balik KAA
A
A
A
SUNARIO Sastrowardoyo merupakan salah satu sosok penting dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Berikut kisah kakek aktris cantik Dian Sastrowardoyo itu.
Sunario lahir di Madiun, Jawa Timur pada 28 Agustus 1902. Ia adalah anak pertama dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran dan Suyati Kartokusumo. Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo memiliki 14 anak.
Sunario menempuh pendidikan pada tahun 1908 di Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun, lalu masuk Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909-1916. Dia tinggal di rumah kakeknya yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster, bernama Sastrosentono.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sejenis dengan Sekolah Menengah Pertama di Madiun. Ia bersekolah hanya satu tahun. Pada tahun 1917, ia pindah ke Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia.
Di Batavia, dia tinggal di rumah pamannya yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechtschool, ia belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah di situ, ia menjadi anggota Jong Java.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Rechtschool, ia melanjutkan pendidikan ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri, dengan menaiki kapal sampai ke Genoa, Italia, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia, dan menginap di sana semalam.
Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral. Pada tahun 1925, dia meraih gelar Mr atau Meester in de Rechten yang berarti ahli ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof C van Vollenhoven dan Prof NY Krom.
Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional, yakni Manifesto 1925 dan Kongres Pemuda II.
Sunario menikah dengan Dina Maranta Pantouw pada 7 Juli 1930, gadis Minahasa yang dikenalnya saat rangkaian Kongres Pemuda II. Ada kisah menarik sebelum pernikahan berlangsung.
Pada malam midodareni, Sunario dan Dina diminta untuk datang ke rumah Mr Sartono. Di sana telah hadir MH Thamrin dan AK Pringgodigdo.
Kemudian diputarlah lagu "Indonesia Raya" sebagai penghormatan kepada kedua calon mempelai yang sangat besar cintanya kepada Indonesia. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai lima orang anak.
Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota dan kemudian Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) pada periode 1953-1955. Saat menjadi Menlu inilah, diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung pada 18-24 April 1955.
Dalam konferensi tersebut, Sunario bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia. Konferensi tersebut akhirnya menghasilkan "Dasasila Bandung" dan kerja sama yang baik di antara negara-negara peserta konferensi tersebut.
Selain memberikan perubahan yang baik bagi 29 negara peserta, konferensi ini juga memberikan pengaruh bagi bangsa-bangsa lain yang belum merdeka sehingga mereka dapat mencapai kemerdekaannya masing-masing. Konferensi ini juga menjadi cikal bakal munculnya Gerakan Non-Blok (GNB), walaupun pada saat itu Sunario sudah tidak aktif karena menjadi Duta Besar di Inggris (1956-1961).
Karena adanya hubungan baik antara negara-negara anggota KAA, Sunario juga berhasil melakukan perjanjian dengan Menlu/Perdana Menteri RRC Chou En-Lai untuk mengakhiri 'dwi kewarganegaraan' orang China perantau yang datang ke Indonesia.
Sunario juga diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sunario menerima Tanda Penghormatan Mahaputera Adipradana yang diberikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Agustus 1985. Pada 18 Mei 1997, Sunario wafat. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Meski telah tiada, banyak nilai-nilai luhur yang ditinggalkan Sunario. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Membedah Tokoh Sejarah: Hidup atau Mati. Penerbit Ombak, 2009, menulis, kakek dari bintang sinetron Dian Sastrowardoyo ini terkenal sederhana. Setelah pensiun ia mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tidak punya mobil sendiri, dari rumah di Jalan Raden Saleh, Jakarta, ia pergi ke kampus naik bus kota atau bajaj. Sempat membuat heboh pejabat Departemen Luar Negeri ketika suatu saat Sunario yang mantan Menlu ini datang ke Pejambon dengan naik sepeda.
Pelajaran utama yang selalu diajarkan kepada anak-anaknya serta dijalaninya sendiri adalah hidup jujur. Kenapa harus jujur? Alasannya sederhana, supaya malam hari bisa tidur nyenyak.
Sumber: id.wikipedia.org dan http://labsky2013.blogspot.com.
Sunario lahir di Madiun, Jawa Timur pada 28 Agustus 1902. Ia adalah anak pertama dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran dan Suyati Kartokusumo. Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo memiliki 14 anak.
Sunario menempuh pendidikan pada tahun 1908 di Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun, lalu masuk Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909-1916. Dia tinggal di rumah kakeknya yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster, bernama Sastrosentono.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sejenis dengan Sekolah Menengah Pertama di Madiun. Ia bersekolah hanya satu tahun. Pada tahun 1917, ia pindah ke Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia.
Di Batavia, dia tinggal di rumah pamannya yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechtschool, ia belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah di situ, ia menjadi anggota Jong Java.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Rechtschool, ia melanjutkan pendidikan ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri, dengan menaiki kapal sampai ke Genoa, Italia, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia, dan menginap di sana semalam.
Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral. Pada tahun 1925, dia meraih gelar Mr atau Meester in de Rechten yang berarti ahli ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof C van Vollenhoven dan Prof NY Krom.
Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional, yakni Manifesto 1925 dan Kongres Pemuda II.
Sunario menikah dengan Dina Maranta Pantouw pada 7 Juli 1930, gadis Minahasa yang dikenalnya saat rangkaian Kongres Pemuda II. Ada kisah menarik sebelum pernikahan berlangsung.
Pada malam midodareni, Sunario dan Dina diminta untuk datang ke rumah Mr Sartono. Di sana telah hadir MH Thamrin dan AK Pringgodigdo.
Kemudian diputarlah lagu "Indonesia Raya" sebagai penghormatan kepada kedua calon mempelai yang sangat besar cintanya kepada Indonesia. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai lima orang anak.
Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota dan kemudian Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) pada periode 1953-1955. Saat menjadi Menlu inilah, diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar di Bandung pada 18-24 April 1955.
Dalam konferensi tersebut, Sunario bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia. Konferensi tersebut akhirnya menghasilkan "Dasasila Bandung" dan kerja sama yang baik di antara negara-negara peserta konferensi tersebut.
Selain memberikan perubahan yang baik bagi 29 negara peserta, konferensi ini juga memberikan pengaruh bagi bangsa-bangsa lain yang belum merdeka sehingga mereka dapat mencapai kemerdekaannya masing-masing. Konferensi ini juga menjadi cikal bakal munculnya Gerakan Non-Blok (GNB), walaupun pada saat itu Sunario sudah tidak aktif karena menjadi Duta Besar di Inggris (1956-1961).
Karena adanya hubungan baik antara negara-negara anggota KAA, Sunario juga berhasil melakukan perjanjian dengan Menlu/Perdana Menteri RRC Chou En-Lai untuk mengakhiri 'dwi kewarganegaraan' orang China perantau yang datang ke Indonesia.
Sunario juga diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sunario menerima Tanda Penghormatan Mahaputera Adipradana yang diberikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Agustus 1985. Pada 18 Mei 1997, Sunario wafat. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Meski telah tiada, banyak nilai-nilai luhur yang ditinggalkan Sunario. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Membedah Tokoh Sejarah: Hidup atau Mati. Penerbit Ombak, 2009, menulis, kakek dari bintang sinetron Dian Sastrowardoyo ini terkenal sederhana. Setelah pensiun ia mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tidak punya mobil sendiri, dari rumah di Jalan Raden Saleh, Jakarta, ia pergi ke kampus naik bus kota atau bajaj. Sempat membuat heboh pejabat Departemen Luar Negeri ketika suatu saat Sunario yang mantan Menlu ini datang ke Pejambon dengan naik sepeda.
Pelajaran utama yang selalu diajarkan kepada anak-anaknya serta dijalaninya sendiri adalah hidup jujur. Kenapa harus jujur? Alasannya sederhana, supaya malam hari bisa tidur nyenyak.
Sumber: id.wikipedia.org dan http://labsky2013.blogspot.com.
(zik)