Inen Rusnan, Saksi Hidup Konferensi Asia Afrika
A
A
A
BANDUNG - Inen Rusnan menjadi tokoh penting di balik pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, pada 1955. Berikut kisah sosok Inen Rusnan.
"Silahkan, masuk," ajak Inen dengan ramah saat dikunjungi di kediamannya di kawasan Cipaganti, Kota Bandung.
Ketika obrolan seputar pengalamannya dimulai, Inen dengan semangat menceritakan kisahnya sebagai saksi hidup Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955. Saat itu, Inen bertugas menjadi bagian dokumentasi sebagai fotografer. Usianya saat itu baru sekira 17 tahun.
"Mungkin saat itu saya fotografer termuda yang ada di Konferensi Asia Afrika. Apalagi saat itu belum banyak orang yang bisa mengoperasikan kamera," kata Inen.
Meski berusia muda, Inen saat itu tidak canggung menjalankan tugasnya. Sebab ia sudah terbiasa menjadi fotografer lepas dan mengirim karyanya ke sejumlah media massa di Jawa Barat saat itu.
Karena pengalaman itu, Inen didaulat panitia menjadi fotografer pengabadi momen KAA. Panitia tak ragu karena Inen punya pengalaman memotret berbagai kegiatan penting yang melibatkan pejabat.
Bermodalkan kamera Leica F3, ia mengabadikan berbagai momen penting kegiatan KAA saat itu. Ada banyak keasyikan yang dirasakannya. Ia pun bangga karena tidak banyak orang yang punya kesempatan emas seperti dirinya berada di antara para delegasi berbagai negara.
"Momen yang paling saya suka pas motret itu adalah saat para kepala negara sedang asyik ngobrol. Itu momen langka," ungkap pria kelahiran Sumedang, 2 Agustus 1937.
Tentu perlu keahlian yang mumpuni untuk memotret momen itu, mengingat kamera yang dipakai tidak secanggih saat ini. Apalagi jumlah roll film yang dibawa terbatas jumlahnya, yaitu sekira 20 roll.
Perlu kejelian dan keahlian untuk menangkap momen. Hasilnya pun harus memuaskan agar tidak mengecewakan panitia dan para delegasi berbagai negara.
Hasil foto Inen pun kini mejeng di Museum Konferensi Asia Afrika. Bahkan banyak dari para delegasi yang membawa hasil foto Inen ke negaranya masing-masing untuk kenang-kenangan.
Tapi koleksi foto yang ada di rumah Inen tinggal beberapa saja. Salah satu yang tersisa adalah foto ketika ada rombongan penyambut tamu menunggu kedatangan para delegasi.
"Sisanya kebanyakan rusak karena rumah bapak pernah kebakaran beberapa tahun lalu. Yang ada sekarang tinggal sisanya saja," tuturnya.
Selain foto KAA, masih ada sejumlah foto yang tersisa yaitu foto-foto saat Inen meliput di zaman dahulu. Ada juga beberapa foto Inen dengan sejumlah pejabat, salah satunya Presiden Pertama RI, Soekarno.
Foto-foto itu dipajang di dinding rumahnya yang sederhana. Foto itu jadi kenangan perjalanan Inen sebagai fotografer sekaligus perekam sejarah.
Inen sendiri lebih banyak belajar foto secara otodidak. Selain itu, ia mendapat bimbingan dari ayah angkatnya yang merupakan fotografer.
Sepanjang hidupnya, Inen terus berkutat dengan dunia foto. Ia tak bisa lepas dari profesinya karena memiliki kecintaan tersendiri pada dunia foto.
"Buat saya mah kamera itu seperti istri pertama," tandas Inen.
"Silahkan, masuk," ajak Inen dengan ramah saat dikunjungi di kediamannya di kawasan Cipaganti, Kota Bandung.
Ketika obrolan seputar pengalamannya dimulai, Inen dengan semangat menceritakan kisahnya sebagai saksi hidup Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955. Saat itu, Inen bertugas menjadi bagian dokumentasi sebagai fotografer. Usianya saat itu baru sekira 17 tahun.
"Mungkin saat itu saya fotografer termuda yang ada di Konferensi Asia Afrika. Apalagi saat itu belum banyak orang yang bisa mengoperasikan kamera," kata Inen.
Meski berusia muda, Inen saat itu tidak canggung menjalankan tugasnya. Sebab ia sudah terbiasa menjadi fotografer lepas dan mengirim karyanya ke sejumlah media massa di Jawa Barat saat itu.
Karena pengalaman itu, Inen didaulat panitia menjadi fotografer pengabadi momen KAA. Panitia tak ragu karena Inen punya pengalaman memotret berbagai kegiatan penting yang melibatkan pejabat.
Bermodalkan kamera Leica F3, ia mengabadikan berbagai momen penting kegiatan KAA saat itu. Ada banyak keasyikan yang dirasakannya. Ia pun bangga karena tidak banyak orang yang punya kesempatan emas seperti dirinya berada di antara para delegasi berbagai negara.
"Momen yang paling saya suka pas motret itu adalah saat para kepala negara sedang asyik ngobrol. Itu momen langka," ungkap pria kelahiran Sumedang, 2 Agustus 1937.
Tentu perlu keahlian yang mumpuni untuk memotret momen itu, mengingat kamera yang dipakai tidak secanggih saat ini. Apalagi jumlah roll film yang dibawa terbatas jumlahnya, yaitu sekira 20 roll.
Perlu kejelian dan keahlian untuk menangkap momen. Hasilnya pun harus memuaskan agar tidak mengecewakan panitia dan para delegasi berbagai negara.
Hasil foto Inen pun kini mejeng di Museum Konferensi Asia Afrika. Bahkan banyak dari para delegasi yang membawa hasil foto Inen ke negaranya masing-masing untuk kenang-kenangan.
Tapi koleksi foto yang ada di rumah Inen tinggal beberapa saja. Salah satu yang tersisa adalah foto ketika ada rombongan penyambut tamu menunggu kedatangan para delegasi.
"Sisanya kebanyakan rusak karena rumah bapak pernah kebakaran beberapa tahun lalu. Yang ada sekarang tinggal sisanya saja," tuturnya.
Selain foto KAA, masih ada sejumlah foto yang tersisa yaitu foto-foto saat Inen meliput di zaman dahulu. Ada juga beberapa foto Inen dengan sejumlah pejabat, salah satunya Presiden Pertama RI, Soekarno.
Foto-foto itu dipajang di dinding rumahnya yang sederhana. Foto itu jadi kenangan perjalanan Inen sebagai fotografer sekaligus perekam sejarah.
Inen sendiri lebih banyak belajar foto secara otodidak. Selain itu, ia mendapat bimbingan dari ayah angkatnya yang merupakan fotografer.
Sepanjang hidupnya, Inen terus berkutat dengan dunia foto. Ia tak bisa lepas dari profesinya karena memiliki kecintaan tersendiri pada dunia foto.
"Buat saya mah kamera itu seperti istri pertama," tandas Inen.
(zik)