Pemda Tak Berdaya Soal KBU

Minggu, 12 April 2015 - 10:09 WIB
Pemda Tak Berdaya Soal...
Pemda Tak Berdaya Soal KBU
A A A
BANDUNG - Pemkot Bandung, Pemkab Bandung Barat, Pemkot Cimahi, dan Pemkab Bandung dinilai tak berdaya menegakkan aturan pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU).

Bangunan komersial dikawasan resapan air tersebut terus bertambah dari hari kehari. Celakanya, pemilik bangunan telah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dari pemerintah daerah setempat. Padahal pemilik bangunan belum mengantongi rekomendasi Gu bernur Jawa Barat sebagai syarat mendirikan bangunan di kawasan itu.

Seperti diketahui, pada Rabu (1/4) Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar sidak ke Dago, dimana kawasan tersebut masuk kedalam zona KBU. Dalam ins peksinya, dia menemukan sejumlah hotel dan apartemen dibangun tanpa rekomendasi gubernur. Dalam Perda Nomor 1/2008 ten tang Kawasan Bandung Utara, daerah di ketinggian tersebut merupakan zona A1, dimana tidak boleh ada gedung yang dibangun karena bisa merusak lingkungan.

Pakar hukum lingkungan Uni versitas Parahyangan Bandung Asep Warlan menilai, semakin banyaknya bangunan komersial baru di KBU menunjukkan lemahnya penegakan atur an oleh pemerintah daerah. Kelemahan ini dijadikan celah bagi para pengembang untuk diamdiam mendirikan bangunan.

KBU ada didalam wilayah ad ministratif empat pemerintah daerah, yakni Pemkot Bandung, Pemkab Bandung Barat, Pemkot Cimahi, dan Pemkab Ban dung. “Lemahnya banyak. Saya dengan teman-teman dari Belanda melakukan riset tata ruang Kota Bandung dan sekitarnya.

Jadi kami riset betul dan mereka bilang sangat lemah penegakan hukum di sana. Ada pembiaran, mengabaikan, melalaikan pemanfaatan ruang,”ujar Asep usai diskusi Kawasan Ban dung Utara (KBU) dan Solusinya di Rumah Ma kan Cengek, Jalan Braga ke ma rin. Pemberian izin di KBU rupanya disalahartikan oleh pengembang dan otoritas pemerin tahan sendiri.

Izin dianggap se bagai pemanfaatan, bukan ins trumen pengendalian pemanfaatan ruangnya “Jadi izin itu jangan ditempatkan sebagai se bagai pemanfaatan, tapi izin sebagai pengendalian. Ketika me reka memanfaatkan ruang di KBU, asal ada izin di anggapnya jadi sah gitu. Padahal daya dukung ruangnya salah, prosedurnya tidak sebagaimana harusnya,”katanya.

Guru Besar Ilmu Hukum ini menyayangkan pernyataan WaliKota Bandung Ridwan Kamil yang selalu beralasan bahwa ba ngunan baru di KBU merupakan produk izin lama, alias dikeluarkan saat dirinya belum jadi Wali Kota Bandung. Asep mengingatkan, dengan kewenangan yang dimiliki, seorang wali kota bisa menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi di KBU.

“Statement itu seharusnya tidak muncul lagi. Sebagai wali kota seharusnya bisa handle, selesaikan,” tandasnya. Emil, kata Asep, dalam kapasitasnya sebagai wali kota bisa mencabut izin yang sudah terlanjur keluar. “Jangan hanya berkelit karena itu izin lama sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.

Bapak (wali kota) bisa ber buat apa-apa termasuk menghentikan izin, membekukan izi, dan bisa mengajukan keranah pidana kalo mereka bersalah,” katanya. Jangan sampai, lanjut Asep, wali kota terkesan tidak bertanggungjawab jika semuanya di lemparkan ke pemerintahan sebelumnya. “Bukan berarti tidak boleh, tetapi ambil alih problemnya sebagai wali kota.

Ambil alih supaya ada pengendalian izin,” saran dia. Menurut Asep, wali kota seharusnya meninjau kembali bangunan bangunan yang telah di keluarkan izinnya. Dari hasil peninjauan akan muncul data.”Harus di-review. Mana yang ber izin sesuai peruntukkannya, mana yang berizin tidak sesuai peruntukkannya, mana tidak berizin sesuai dengan peruntukkannya, dan mana yang tidak berizin dan tidak sesuai peruntukannya,” jelasnya.

Masing-masing kasus, lanjut Asep, bisa disikapi dengan ca ra sesuai porsi. “Kalo yang tidak berizin tapi sesuai peruntukkannya, paksa dia untuk mengurus izin dan pake uang paksa namanya. Di perda ada uang paksa namanya sebagai pengganti bongkar,” terangnya. Rekomendasi Gubernur Jawa Barat, kata dia, adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi setiap pengembang yang akan berinvestasi diKBU.

Berdasarkan Perda KBU, rekomendasi gu bernur merupakan dasar hukum dan bersifat mengikat pada setiap pembangunan diKBU. Artinya jika tidak ada rekomendasi, maka izin yang diberikan di pastikan cacat prosedur. Pasalnya rekomendasi yang dikeluarkan berdasarkan perda merupakan dasar hukum dan bersifat mengikat. “Mengapa ada istilah rekomendasi, bukan persetujuan? Kan rekomendasi itu lebih kebahasa hukumnya, dasar hukum.

Persetujuan itu dasar hukum sehingga dia tidak boleh mengabaikan rekomendasi. Nah, sekarang rekomendasi dianggap sebagai administratif, sehingga pemahaman awal Pak Emil (Wali Kota Bandung) ini tidak mengikat. Saya bilang berkali kali itu dasar hukum bukan administratif. Tanpa rekomendasi tidak sah, itu ada cacat hukum, bukan cacat administrasi,”katanya.

Untuk itu, tandas Asep, Perda KBU yang menjadi payung hukum penataan KBU harus direvisi. Asep yang juga men jadi bagian tim revisi sudah me nyiapkan empat skenario. Pertama, pemberian izin dan rekomendasi keadaannya dibalik. Gubernur yang mengeluarkan izin, sementara rekomendasi dari bupati/wali kota. Kedua, rekomendasi itu hanya untuk kepentingan tertentu.

Dengan begitu, pemda telah m e nentukan pemanfaatan sebuah kawasan tertentu di KBU. Jadi tidak semua pemanfaatan harus dengan rekomendasi. Ketiga, membiarkan izin tanpa rekomendasi. Namun gubernur punya hak veto untuk mem batalkan sebuah izin itu. “Ada risiko kalo gini. Sudah dibangun tapi tiba- tiba bisa dibatalkan. Makanya review maksimal 30 hari.

Izin dikeluarkan, tapi di-review. Izin diterbitkan dulu baru pengujian atau pemeriksaan oleh provinsi,” jelas Asep. Skenario keempat, jangan ada rekomendasi tetapi menggunakan instrumen pengendalian yang lain. Ada lima aspek pengendalian KBU yakni, peta zonasi, pengawasan, perizinan, insentif, dan penegakan hukum. “Biarkan izin kebupati wali kota /bupati tetapi yang lainnya keprovinsi. Nah sekarang se dang dikaji. Bener gakdasar hukumnya.

Sekarang ada empat ke mungkinan. Kedepan sedang dipikirkan model begitu,” ucap Asep. Asep bersama tim menargetkan revisi dapat selesai bulan Mei ini. Setelah revisi selesai selanjutnya akan dibahas di DPRD Jabar. “Ini menjadi penyempurnaan Perda Nomor 1 /2008. Ada delapan poin yang di bahas, diantaranya tata ruang di KBU, perizinan dan rekomendasi, sanksi, pengawasan dan penertiban,percepatan, dan pemulihan KBU, serta kelanjutan pola batas-batas.

Ini ditunggu betul oleh pemda kota/kabupaten. Kalo ini gak ada lagi persoalan tidak selesai karena batas-batas tidak jelas, izin rekomendasi tidak jelas, sanksi seperti apa,” tandasnya. Anggota Komisi IV DPRD Jabar Yod Mintaraga mengingatkan kepada semua pemkota/ pemkab yang sebagian wilayah nya masuk KBU, bahwa reko mendasi Gubernur Jabar kekuatan hukum tetap karena telah dituangkan dalam perda yang disepakati Pemprov dan DPRD Jabar.

“Rekomendasi gubernur itu harus ada. Jadi kalobangunan di KBU tidak dilengkapi rekomendasi gubernur, telah terjadi pelanggaran hukum,” tegas Yod. Menanggapi salah tafsir pemkot/pemkab terkait Perda KBU, menurutnya hal itu tidak mungkin terjadi. Yod justru menyayangkan lemahnya pengawasan dimasing-masing otoritas pemerintahan. “Masa pemerintahnya tidak tahu. Paling tidak kan harusnya turun kelapangan setiap tiga bulan sekali,” ucapnya.

Dian rosadi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2901 seconds (0.1#10.140)