Kisah Nagasasra, Keris Penolak 1.000 Bencana
A
A
A
Keris Nagasasra merupakan senjata pusaka milik Kerajaan Majapahit yang berluk 13 dan bertahtakan emas dan berlian.
Pusaka ini terkenal sangat ampuh yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V (1466–1478). Pembuatnya adalah Pangeran Mpu Sedayu yang lebih dikenal dengan nama Mpu Supa Mendagri atau Mpu Pitrang.
Alkisah pembuatan keris pusaka ini terjadi saat Kerajaan Majapahit sedang dilanda kemunduran setelah perang saudara.
Musim paceklik cukup panjang sehingga sawah dan ladang kering, hasil panen tidak mencukupi kebutuhan rakyat banyak.
Perekonomian masyarakat telah dikuasai para saudagar besar yang memonopoli perdagangan.
Selain itu para pejabat kerajaan tak mempedulikan keadaan rakyat, sibuk saling sikut untuk mencari kekuasaan dan memperkaya diri sendiri.
Kerajaan-kerajaan bawahan sudah mulai berani membangkang, terutama Kerajaan Blambangan yang menurut informasi para telik sandi, sudah menyiapkan bala tentara untuk menggempur ibukota Majapahit.
Sehingga Raja Brawijaya V mengumpulkan patih, para menteri dan penasihatnya. Semua yang hadir hanya menunduk terdiam.
Mulut mereka kelu terkunci tak mampu menyela ataupun menampik keprihatinan sang raja karena ini memang kenyatan yang terjadi di wilayah Kerajaan Majapahit saat itu.
Sementara raja menarik nafas dalam merasakan beban berat berada di pundaknya.
Ditengah rapat tersebut, seorang penasihat tiba-tiba membungkuk menyembah sang raja, memohon izin untuk menyampaikan pendapat.
Sang raja pun mengizinkan karena memang dia ingin sekali mendengar masukan dari yang hadir pada malam itu.
Maka si penasihat pun berkata,"Mohon ampun paduka, memang benar apa yang baginda sampaikan. Kamipun sangat merasakan keadaan tak menentu yang menimpa Kerajaan Majapahit saat ini. Menurut hemat saya, apakah tidak sebaiknya jika baginda memanggil Mpu Supa ke kerajaan dan memerintahkannya untuk membuat sebilah pusaka guna meredam semua bencana yang terjadi saat ini," kata abdi dalem tersebut.
Sang raja pun terhenyak dari kemasygulannya. Berdiri lantas berucap, "Benar apa yang kau sampaikan itu. Sudah lama kerajaan tidak memiliki pusaka setelah Kiai Sengkelat yang kita selamatkan dari Blambangan. Kini sudah saatnya Majapahit memiliki pusaka yang bisa menenteramkan kondisi kerajaan kita saat ini, ".
Maka segeralah Sang Prabu juga meminta kepada Mpu Supa agar dibuatkan sebilah keris bertuah yang bisa meredam 1.000 macam bencana di Majapahit kala itu.
Setelah Mpu Supa menerima titah raja, maka segeralah dia bersemedi memohon petunjuk sang Maha Pencipta.
Dia bertapa cukup lama sampai mendapatkan petunjuk bagaimana bentuk dan manfaat senjata yang nanti akan digunakan sebagai salah satu pusaka andalan Majapahit.
Kemudian sang mpu mendapatkan petunjuk berupa gambaran bentuk sebilah keris dengan dapur naga yang mempunyai 1.000 sisik.
Setelah itu, maka segeralah dia mencari bahan-bahan yang dibutuhkan dan mempersiapkan segala keperluan untuk pembuatan pusaka kerajaan tersebut.
Konon sang Mpu lalu mengambil bahan pembuatan keris tersebut dari batu meteor lalu menempanya di kawah gunung yang sangat panas, dan menyepuhnya di pinggir pantai sampai air laut itu bergejolak sehingga sampai disebut dengan Segara Wedang, yaitu air laut yang bergejolak seperti air panas yang bergelora.
Setelah selesai seluruh prosesi pembuatan pusaka yang berbentuk naga tersebut, lantas Mpu Supa menyerahkannya kepada sang raja. Tak ayal, sang raja sangat bergembira menerima pusaka yang dipesannya tersebut yang lantas menamainya dengan gelar Kiai Nagasasra.
Keris Nagasasra yang mempunyai 1.000 sisik emas dan bersabuk intan berlian ini mempunyai tuah untuk meredam seribu bencana dari berbagai penjuru wilayah kerajaan.
Sang raja lalu memakainya untuk memadamkan pemberontakan dan serbuan tentara Blambangan. Hasilnya tidak pemberontakan Blambangan tak berlangsung lama dan dapat diredam hingga Majapahit kembali tenteram.
Selain itu masa paceklik lalu berakhir dan beberapa kerajaan bawahan pun kembali tunduk terhadap Majapahit. Warga pun dapat kembali hidup damai dan tentram.
Tetapi dalam versi lain menyebutkan bahwa pusaka ini, sesuai dengan namanya, konon tercipta dari lidah sesosok makhluk berbentuk ular naga yang sangat sakti.
Namanya, Nagasasra konon sang naga ini adalah putera seorang pertapa sakti mandraguna bernama Manggir.
Sang pertapa kemudian berkelana dan bersemedi di salah satu gunung api. Namun sebelum pergi dia sempat berpesan kepada istrinya,
"Bila sekiranya ada keturunannya yang ingin bertemu, suruh dia mencariku ke sana," pesan Manggir kepada Ratu Perangin Angin, isterinya yang tengah mengandung.
Ketika lahir, ternyata anak yang dikandung ratu bentuk fisiknya bak ular naga. Tak hanya itu, perkembangan tubuh si anak juga begitu cepat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat telah menjelma menjadi seekor naga raksasa yang sangat ganas. Sesuai dengan keadaannya, si anak diberi nama Nogososro atau Nagasasra.
Dikisahkan, apabila Nagasasra berjalan atau merayap, maka langkahnya menggetarkan permukaan bumi dan mengakibatkan banyak gunung terancam meletus.
Sampailah pada suatu hari Nagasasra bertanya kepada ibunya, "Hai lbuku, tunjukkan di mana gerangan ayahku berada?, mengapa aku tidak seperti manusia biasa, sehingga tak seorangpun makhluk yang mau bergaul denganku. Aku akan mencari ayah dan meminta padanya agar tubuhku dirubah seperti manusia biasa, " kata Nagasasra kepada ibunya.
Ratu Perangin-angin tak dapat menjawab, karena dia sendiri merasa bahwa hal itu di luar kehendak dirinya.
Dia sendiri tak dapat menjelaskan di mana keberadaan ayah dari anaknya, sebab dia tak tahu di gunung mana suaminya bertapa.
Karena jawaban sang ibu, akhirnya Nagasasra dengan membawa perasaan yang sangat pilu, pergi mencari ayahnya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia menemukan ayah yang dicarinya di sebuah gunung berapi yang berada di tepi pantai.
Melihat sosok anaknya, Manggir terkejut bukan kepalang. Dia menilai Nagasasra adalah ancaman bagi warga di tanah Jawa.
Karena merasa sangat malu, Manggir enggan mengakui Nogososro sebagai anaknya. Namun dia tidak secara terang-terangan menyatakan hal itu, melainkan dengan sebuah taktik.
Disuruhnya Nagasasra melilitkan tubuhnya ke sekeliling gunung tempatnya bertapa. Dengan pesan, apabila ekornya bisa menyentuh kepalanya, maka dia akan diakui sebagai anaknya.
Kenyataannya, kepala dan ekor Nagasasra tidak bisa saling menyentuh, meskipun sebahagian tubuhnya telah masuk ke dalam gunung karena kuatnya dia melilit.
Sambil menitikkan air mata, Nagasasra lalu menjulurkan lidahnya agar dapat mencapai ekor. Usahanya ini berhasil.
Tetapi Manggir tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia menganggap bahwa Nagasasra telah berbuat curang. Manggir mencabut kerisnya, kemudian membabat lidah anaknya. Apa yang terjadi?.
Sungguh luar biasa! lidah Nagasasra yang terputus mengeluarkan api seperti petir yang sangat dahsyat. Seketika Pulau Jawa bergoncang dengan hebatnya. Lalu lidah Nagasasra berubah menjadi sebilah keris berbentuk lidah naga.
Ketika Majapahit runtuh, keris itu dibawa ke Keraton Demak oleh Raden Patah. Kemudian ketika Kerajaan Demak runtuh, keris tersebut dibawa Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Raja Pajang.
Kemudian keris tersebut jatuh ke tangan Penembahan Senopati dan seterusnya keris tersebut berada di bawah penguasaan Raja-raja Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Saat ini keris-keris tersebut konon disimpan di Keraton Solo. Wallahualam bissawab
Sumber :
kedaigaib.blogspot.
sejarah-kuno-indonesia.blogspot.
Diolah dari berbagai sumber.
Pusaka ini terkenal sangat ampuh yang dibuat pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V (1466–1478). Pembuatnya adalah Pangeran Mpu Sedayu yang lebih dikenal dengan nama Mpu Supa Mendagri atau Mpu Pitrang.
Alkisah pembuatan keris pusaka ini terjadi saat Kerajaan Majapahit sedang dilanda kemunduran setelah perang saudara.
Musim paceklik cukup panjang sehingga sawah dan ladang kering, hasil panen tidak mencukupi kebutuhan rakyat banyak.
Perekonomian masyarakat telah dikuasai para saudagar besar yang memonopoli perdagangan.
Selain itu para pejabat kerajaan tak mempedulikan keadaan rakyat, sibuk saling sikut untuk mencari kekuasaan dan memperkaya diri sendiri.
Kerajaan-kerajaan bawahan sudah mulai berani membangkang, terutama Kerajaan Blambangan yang menurut informasi para telik sandi, sudah menyiapkan bala tentara untuk menggempur ibukota Majapahit.
Sehingga Raja Brawijaya V mengumpulkan patih, para menteri dan penasihatnya. Semua yang hadir hanya menunduk terdiam.
Mulut mereka kelu terkunci tak mampu menyela ataupun menampik keprihatinan sang raja karena ini memang kenyatan yang terjadi di wilayah Kerajaan Majapahit saat itu.
Sementara raja menarik nafas dalam merasakan beban berat berada di pundaknya.
Ditengah rapat tersebut, seorang penasihat tiba-tiba membungkuk menyembah sang raja, memohon izin untuk menyampaikan pendapat.
Sang raja pun mengizinkan karena memang dia ingin sekali mendengar masukan dari yang hadir pada malam itu.
Maka si penasihat pun berkata,"Mohon ampun paduka, memang benar apa yang baginda sampaikan. Kamipun sangat merasakan keadaan tak menentu yang menimpa Kerajaan Majapahit saat ini. Menurut hemat saya, apakah tidak sebaiknya jika baginda memanggil Mpu Supa ke kerajaan dan memerintahkannya untuk membuat sebilah pusaka guna meredam semua bencana yang terjadi saat ini," kata abdi dalem tersebut.
Sang raja pun terhenyak dari kemasygulannya. Berdiri lantas berucap, "Benar apa yang kau sampaikan itu. Sudah lama kerajaan tidak memiliki pusaka setelah Kiai Sengkelat yang kita selamatkan dari Blambangan. Kini sudah saatnya Majapahit memiliki pusaka yang bisa menenteramkan kondisi kerajaan kita saat ini, ".
Maka segeralah Sang Prabu juga meminta kepada Mpu Supa agar dibuatkan sebilah keris bertuah yang bisa meredam 1.000 macam bencana di Majapahit kala itu.
Setelah Mpu Supa menerima titah raja, maka segeralah dia bersemedi memohon petunjuk sang Maha Pencipta.
Dia bertapa cukup lama sampai mendapatkan petunjuk bagaimana bentuk dan manfaat senjata yang nanti akan digunakan sebagai salah satu pusaka andalan Majapahit.
Kemudian sang mpu mendapatkan petunjuk berupa gambaran bentuk sebilah keris dengan dapur naga yang mempunyai 1.000 sisik.
Setelah itu, maka segeralah dia mencari bahan-bahan yang dibutuhkan dan mempersiapkan segala keperluan untuk pembuatan pusaka kerajaan tersebut.
Konon sang Mpu lalu mengambil bahan pembuatan keris tersebut dari batu meteor lalu menempanya di kawah gunung yang sangat panas, dan menyepuhnya di pinggir pantai sampai air laut itu bergejolak sehingga sampai disebut dengan Segara Wedang, yaitu air laut yang bergejolak seperti air panas yang bergelora.
Setelah selesai seluruh prosesi pembuatan pusaka yang berbentuk naga tersebut, lantas Mpu Supa menyerahkannya kepada sang raja. Tak ayal, sang raja sangat bergembira menerima pusaka yang dipesannya tersebut yang lantas menamainya dengan gelar Kiai Nagasasra.
Keris Nagasasra yang mempunyai 1.000 sisik emas dan bersabuk intan berlian ini mempunyai tuah untuk meredam seribu bencana dari berbagai penjuru wilayah kerajaan.
Sang raja lalu memakainya untuk memadamkan pemberontakan dan serbuan tentara Blambangan. Hasilnya tidak pemberontakan Blambangan tak berlangsung lama dan dapat diredam hingga Majapahit kembali tenteram.
Selain itu masa paceklik lalu berakhir dan beberapa kerajaan bawahan pun kembali tunduk terhadap Majapahit. Warga pun dapat kembali hidup damai dan tentram.
Tetapi dalam versi lain menyebutkan bahwa pusaka ini, sesuai dengan namanya, konon tercipta dari lidah sesosok makhluk berbentuk ular naga yang sangat sakti.
Namanya, Nagasasra konon sang naga ini adalah putera seorang pertapa sakti mandraguna bernama Manggir.
Sang pertapa kemudian berkelana dan bersemedi di salah satu gunung api. Namun sebelum pergi dia sempat berpesan kepada istrinya,
"Bila sekiranya ada keturunannya yang ingin bertemu, suruh dia mencariku ke sana," pesan Manggir kepada Ratu Perangin Angin, isterinya yang tengah mengandung.
Ketika lahir, ternyata anak yang dikandung ratu bentuk fisiknya bak ular naga. Tak hanya itu, perkembangan tubuh si anak juga begitu cepat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat telah menjelma menjadi seekor naga raksasa yang sangat ganas. Sesuai dengan keadaannya, si anak diberi nama Nogososro atau Nagasasra.
Dikisahkan, apabila Nagasasra berjalan atau merayap, maka langkahnya menggetarkan permukaan bumi dan mengakibatkan banyak gunung terancam meletus.
Sampailah pada suatu hari Nagasasra bertanya kepada ibunya, "Hai lbuku, tunjukkan di mana gerangan ayahku berada?, mengapa aku tidak seperti manusia biasa, sehingga tak seorangpun makhluk yang mau bergaul denganku. Aku akan mencari ayah dan meminta padanya agar tubuhku dirubah seperti manusia biasa, " kata Nagasasra kepada ibunya.
Ratu Perangin-angin tak dapat menjawab, karena dia sendiri merasa bahwa hal itu di luar kehendak dirinya.
Dia sendiri tak dapat menjelaskan di mana keberadaan ayah dari anaknya, sebab dia tak tahu di gunung mana suaminya bertapa.
Karena jawaban sang ibu, akhirnya Nagasasra dengan membawa perasaan yang sangat pilu, pergi mencari ayahnya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia menemukan ayah yang dicarinya di sebuah gunung berapi yang berada di tepi pantai.
Melihat sosok anaknya, Manggir terkejut bukan kepalang. Dia menilai Nagasasra adalah ancaman bagi warga di tanah Jawa.
Karena merasa sangat malu, Manggir enggan mengakui Nogososro sebagai anaknya. Namun dia tidak secara terang-terangan menyatakan hal itu, melainkan dengan sebuah taktik.
Disuruhnya Nagasasra melilitkan tubuhnya ke sekeliling gunung tempatnya bertapa. Dengan pesan, apabila ekornya bisa menyentuh kepalanya, maka dia akan diakui sebagai anaknya.
Kenyataannya, kepala dan ekor Nagasasra tidak bisa saling menyentuh, meskipun sebahagian tubuhnya telah masuk ke dalam gunung karena kuatnya dia melilit.
Sambil menitikkan air mata, Nagasasra lalu menjulurkan lidahnya agar dapat mencapai ekor. Usahanya ini berhasil.
Tetapi Manggir tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia menganggap bahwa Nagasasra telah berbuat curang. Manggir mencabut kerisnya, kemudian membabat lidah anaknya. Apa yang terjadi?.
Sungguh luar biasa! lidah Nagasasra yang terputus mengeluarkan api seperti petir yang sangat dahsyat. Seketika Pulau Jawa bergoncang dengan hebatnya. Lalu lidah Nagasasra berubah menjadi sebilah keris berbentuk lidah naga.
Ketika Majapahit runtuh, keris itu dibawa ke Keraton Demak oleh Raden Patah. Kemudian ketika Kerajaan Demak runtuh, keris tersebut dibawa Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Raja Pajang.
Kemudian keris tersebut jatuh ke tangan Penembahan Senopati dan seterusnya keris tersebut berada di bawah penguasaan Raja-raja Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Saat ini keris-keris tersebut konon disimpan di Keraton Solo. Wallahualam bissawab
Sumber :
kedaigaib.blogspot.
sejarah-kuno-indonesia.blogspot.
Diolah dari berbagai sumber.
(sms)