Ilmu Bisa Dicari Lagi, Nyawa Lebih Utama
A
A
A
Keluarga salah satu mahasiswa asal Kabupaten Tegal yang kuliah di Yaman, Muhammad Khoiruz Zadit Taqwa, 26, akhirnya bisa menghela napas. Setelah sempat terjebak perang yang berkobar di Yaman, Zadit bersama ratusan warga Negara Indonesia (WNI) lainnya berhasil dipulangkan ke Indonesia.
Setelah transit di Jakarta selama beberapa hari, Zadit pulang ke rumahnya di Desa Talang RT 02 RW 09, Kecamatan Talang, Selasa (7/4). Kepulangan mahasiswa yang sudah berada di Yaman selama enam tahun itu disambut haru kedua orang tuanya, Muhammad Baihaqi dan Miratun Khasanah. Ditemui di rumahnya, Zadit yang mantan ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Yaman itu menceritakan suasana mencekam perang, terutama di wilayah Hudaidah, tempat tinggalnya selama digempur koalisi negara teluk pimpinan Arab Saudi.
“Kondisi terakhir satu malam sebelum saya dan teman-teman dievakuasi, sangat mencekam,” katanya. Saat itu, rudal-rudal pesawat tempur menghantam sebuah pabrik susu. Suara dentuman akibat serangan rudal tersebut sangat terdengar jelas dari asrama tempat Zadit hingga yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi pabrik. “Dari tempat tinggal saya, terlihat dan terdengar sangat jelas dentuman kerasnya, warnanya merah,” ungkapnya.
Kondisi mencekam tersebut setiap hari harus dirasakan Zadit dan teman-teman kuliahnya selepas matahari tenggelam. Gempuran pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi terus dilakukan dengan menyasar sejumlah target. Wilayah Hudaidah pun tidak jauh berbeda dengan Ibu Kota Yaman, Sanaa, yang membara oleh serangan jet tempur.
“Kondisinya sangat membahayakan. Kami khawatir ada rudal yang nyasar . Hudaidah termasuk daerah yang dikuasai milisi Houthi, sehingga ikut menjadi sasaran rudal,” kata mahasiswa Universitas Darul Ulum Asy-Syariyah ini. Melihat konflik semakin panas, Zadit bersama temantemannya terpaksa menurut saat dilakukan evakuasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Namun, beberapa di antara teman-temannya memilih bertahan di Yaman.
“Evakuasi ini terpaksa kami terima, awalnya tidak mau ikut. Tapi karena khawatir akan keselamatan, akhirnya kami pulang. Ilmu bisa dicari lagi di tempat lain, tapi nyawa tidak bisa dicari lagi,” ujarnya. Menurut Zadit, keengganan untuk pulang sempat dirasakan para mahasiswa yang kuliah di Yaman wajar. Sebab, mereka sudah bertekad untuk tidak pulang sebelum tuntas menuntut ilmu.
“Sangat banyak yang tidak ingin pulang. Alasannya kita ke Yaman demi sebuah mimpi. Ketika mimpi belum tercapai, disuruh bangun, disuruh pulang, itu sebuah kenyataan pahit,” ujar anak pertama dari empat bersaudara ini. Bersama 109 WNI yang dibagi dalam empat kelompok, Zadit tiba di Indonesia pada Minggu (5/4) setelah melewati tiga tahapan evakuasi, yakni dari Yaman di evakuasi ke Arab Saudi melalui jalur darat, lalu melanjutkan ke Oman menggunakan pesawat TNI AU, dan terakhir diterbangkan ke Indonesia menggunakan pesawat komersial.
“Selama proses evakuasi Alhamdulillah tidak menemui kendala berarti,” ungkapnya. Sebelum berkecamuk perang antara milisi Houthi dan koalisi pimpinan Arab Saudi, Zadit berujar, kondisi Yaman amanaman saja. Konflik terakhir yang terjadi adalah pada 2011 saat terjadi pergolakan di kawasan Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring. Saat itu terjadi pergolakan menuntut Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, mundur dari jabatannya.
“Waktu itu kondisi relatif aman, kuliah masih normal. Kalau kemarin itu kuliah benar-benar berhenti total,” ucapnya. Zadit mengaku tetap ingin kembali ke Yaman untuk menyelesaikan kuliahnya yang sudah memasuki semester akhir. Namun, dia bingung bagaimana caranya untuk kembali ke Yaman. Terlebih perang hingga kini masih terus berlangsung dan tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
“Ketika situasi sudah memungkinkan, kami ingin kembali. Kalau tidak memungkinkan dalam waktu lama, pemerintah kami harap bisa menyalurkan kami ke universitas lain di Timur Tengah, karena pasti pemerintah punya akses. Ada Tunisia, Kairo, Mesir, Sudan, dan lainnya,” harapnya. Terkait keinginan itu, Zadit mengatakan, sudah menemui beberapa perwakilan anggota DPR saat di Jakarta. Aspirasi yang sudah disampaikan diharapkan bisa diteruskan ke pemerintah.
“Sampai saat ini belum ada kejelasan. Dari media saya baca memang ada jaminan dari Kemenag terkait kelanjutan pendidikan. Tapi jaminan apa, saya belum tahu,” ujarnya. Keinginan agar Zadit dapat kembali ke Yaman juga diungkapkan sang ayah, Baihaqi. Dia berharap putranya yang melanjutkan pendidikan ke Yaman setelah belajar di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Tegal. “Saya senang anak saya dapat pulang dengan selamat, tapi saya tetap ingin dia kembali lagi ke saya untuk menyelesaikan pendidikannya. Mudah-mudahan seperti kemarin waktu kembali lagi dan ada bantuan dari pemerintah,” ucapnya.
Farid Firdaus
Slawi
Setelah transit di Jakarta selama beberapa hari, Zadit pulang ke rumahnya di Desa Talang RT 02 RW 09, Kecamatan Talang, Selasa (7/4). Kepulangan mahasiswa yang sudah berada di Yaman selama enam tahun itu disambut haru kedua orang tuanya, Muhammad Baihaqi dan Miratun Khasanah. Ditemui di rumahnya, Zadit yang mantan ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Yaman itu menceritakan suasana mencekam perang, terutama di wilayah Hudaidah, tempat tinggalnya selama digempur koalisi negara teluk pimpinan Arab Saudi.
“Kondisi terakhir satu malam sebelum saya dan teman-teman dievakuasi, sangat mencekam,” katanya. Saat itu, rudal-rudal pesawat tempur menghantam sebuah pabrik susu. Suara dentuman akibat serangan rudal tersebut sangat terdengar jelas dari asrama tempat Zadit hingga yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi pabrik. “Dari tempat tinggal saya, terlihat dan terdengar sangat jelas dentuman kerasnya, warnanya merah,” ungkapnya.
Kondisi mencekam tersebut setiap hari harus dirasakan Zadit dan teman-teman kuliahnya selepas matahari tenggelam. Gempuran pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi terus dilakukan dengan menyasar sejumlah target. Wilayah Hudaidah pun tidak jauh berbeda dengan Ibu Kota Yaman, Sanaa, yang membara oleh serangan jet tempur.
“Kondisinya sangat membahayakan. Kami khawatir ada rudal yang nyasar . Hudaidah termasuk daerah yang dikuasai milisi Houthi, sehingga ikut menjadi sasaran rudal,” kata mahasiswa Universitas Darul Ulum Asy-Syariyah ini. Melihat konflik semakin panas, Zadit bersama temantemannya terpaksa menurut saat dilakukan evakuasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Namun, beberapa di antara teman-temannya memilih bertahan di Yaman.
“Evakuasi ini terpaksa kami terima, awalnya tidak mau ikut. Tapi karena khawatir akan keselamatan, akhirnya kami pulang. Ilmu bisa dicari lagi di tempat lain, tapi nyawa tidak bisa dicari lagi,” ujarnya. Menurut Zadit, keengganan untuk pulang sempat dirasakan para mahasiswa yang kuliah di Yaman wajar. Sebab, mereka sudah bertekad untuk tidak pulang sebelum tuntas menuntut ilmu.
“Sangat banyak yang tidak ingin pulang. Alasannya kita ke Yaman demi sebuah mimpi. Ketika mimpi belum tercapai, disuruh bangun, disuruh pulang, itu sebuah kenyataan pahit,” ujar anak pertama dari empat bersaudara ini. Bersama 109 WNI yang dibagi dalam empat kelompok, Zadit tiba di Indonesia pada Minggu (5/4) setelah melewati tiga tahapan evakuasi, yakni dari Yaman di evakuasi ke Arab Saudi melalui jalur darat, lalu melanjutkan ke Oman menggunakan pesawat TNI AU, dan terakhir diterbangkan ke Indonesia menggunakan pesawat komersial.
“Selama proses evakuasi Alhamdulillah tidak menemui kendala berarti,” ungkapnya. Sebelum berkecamuk perang antara milisi Houthi dan koalisi pimpinan Arab Saudi, Zadit berujar, kondisi Yaman amanaman saja. Konflik terakhir yang terjadi adalah pada 2011 saat terjadi pergolakan di kawasan Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring. Saat itu terjadi pergolakan menuntut Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, mundur dari jabatannya.
“Waktu itu kondisi relatif aman, kuliah masih normal. Kalau kemarin itu kuliah benar-benar berhenti total,” ucapnya. Zadit mengaku tetap ingin kembali ke Yaman untuk menyelesaikan kuliahnya yang sudah memasuki semester akhir. Namun, dia bingung bagaimana caranya untuk kembali ke Yaman. Terlebih perang hingga kini masih terus berlangsung dan tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
“Ketika situasi sudah memungkinkan, kami ingin kembali. Kalau tidak memungkinkan dalam waktu lama, pemerintah kami harap bisa menyalurkan kami ke universitas lain di Timur Tengah, karena pasti pemerintah punya akses. Ada Tunisia, Kairo, Mesir, Sudan, dan lainnya,” harapnya. Terkait keinginan itu, Zadit mengatakan, sudah menemui beberapa perwakilan anggota DPR saat di Jakarta. Aspirasi yang sudah disampaikan diharapkan bisa diteruskan ke pemerintah.
“Sampai saat ini belum ada kejelasan. Dari media saya baca memang ada jaminan dari Kemenag terkait kelanjutan pendidikan. Tapi jaminan apa, saya belum tahu,” ujarnya. Keinginan agar Zadit dapat kembali ke Yaman juga diungkapkan sang ayah, Baihaqi. Dia berharap putranya yang melanjutkan pendidikan ke Yaman setelah belajar di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Tegal. “Saya senang anak saya dapat pulang dengan selamat, tapi saya tetap ingin dia kembali lagi ke saya untuk menyelesaikan pendidikannya. Mudah-mudahan seperti kemarin waktu kembali lagi dan ada bantuan dari pemerintah,” ucapnya.
Farid Firdaus
Slawi
(bbg)