ATM, Angkat Telepon Mangkat

Kamis, 09 April 2015 - 10:28 WIB
ATM, Angkat Telepon...
ATM, Angkat Telepon Mangkat
A A A
Hamparan hijau persawahan dan nuansa asri khas pedesaan akan Anda rasakan saat memasuki area Nanggulan, Jatisarono, Kulonprogo. Masyarakatnya dominan bekerja sebagai petani. Latar belakang pendidikan masyarakat ditambah minimnya pengetahuan mereka terhadap perbankan, membuat kawasan ini minim akses permodalan.

Bank plecit alias rentenir pun tumbuh subur memodali para petani di Nanggulan. Merasa di atas angin, bank plecit dengan jumawanya menawarkan bunga berkisar 10–15% per bulan. Bunga yang sangat tinggi dibanding bank konvensional. Imbasnya, petani jadi terjerat utang. Apalagi jika hasil panen tak seperti yang diharapkan.

Hingga akhirnya muncul Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) Nanggulan di Nanggulan. Sadar akan minimnya pengetahuan perbankan, manajemen secara terusmenerus mengedukasi masyarakat untuk lepas dari jerat para rentenir. Mulainya disosialisasikan tentang pinjaman di BUKP. Antara lain, tak perlu jaminan atau agunan kalau hanya pinjam Rp1 juta.

Jaminan diperlukan bila ingin meminjam lebih dari Rp2 juta. “Rayuanrayuan” inilah yang disampaikan Kepala Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) Nanggulan, Kulonprogo, Surati, kepada calon nasabah untuk mendapatkan pembiayaan dari pihaknya. Di samping itu, lembaga keuangan mikro (LKM) ini punya strategi unik untuk menarik nasabah, menyalurkan kredit hingga meminta nasabah mengangsur cicilannya.

Tak heran upaya tersebut mampu menekan jumlah pelepas uang (pengijon) dan rentenir yang beredar di daerah pedesaan. “Lembaga kami yang sudah beroperasi dari 1992 bisa mengurangi rentenir. Dulu, sebelum ada BUKP Nanggulan ada 15 bank plecit, kini tinggal tiga,” ungkap Surati beberapa waktu lalu. Jumlah rentenir atau pengijon berkurang karena warga lebih memilih BUKP untuk keperluan modal atau lainnya.

Sebab, LKM yang sudah berbadan hukum tersebut hanya membebankan bunga 2% per bulan. Sistem jemput bola yang dilakoni manajemen juga berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. “Kami terapkan layanan ATM, bukan anjungan tunai mandiri tapi angkat telepon mangkat. Jadi kalau ada nasabah yang ingin pinjam uang, cukup telepon.

Lalu petugas kami akan mendatangi tempatnya. Kami tidak mengenakan administrasi bulanan, sehingga animo masyarakat di BUKP sangat tinggi,” paparnya. BUKP di masyarakat pedesaan tidak hanya menekan jumlah rentenir. Akan tetapi juga berperan dalam mengembangkan perekonomian daerah. Upaya itu dilakukan dengan menyediakan dana bagi masyarakat secara cepat, murah, dan mudah.

Pertumbuhan LKM menjadi pesat seiring perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pembiayaan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, secara nasional UMKM di Indonesia mencapai 56,53 juta unit dan pangsanya 99,99% dari seluruh kegiatan usaha di negeri ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengarahkan LKM antara berbentuk BUKP, bank desa, bank pasar, baitul maal wa tamwil (BMT), lembaga perkreditan kecamatan (LPK), dan sejenisnya untuk mendaftarkan diri serta wajib memperoleh izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK paling lambat 8 Januari 2016.

Kepala Biro Perekonomian Setda DIY Tri Mulyono mengatakan pertumbuhan ekonomi provinsi ini lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Angka kemiskinan tinggi dan disparitas antarkabupaten juga tinggi. “Kebanyakan warga masyarakat bergerak di sektor UMKM, khususnya mikro dan kecil, sehingga LKM seperti BUKP sangat strategis untuk mendorong mereka yang ingin menjalankan usaha produksi. Kalau hendak diawasi OJK, sebaiknya syarat untuk mendaftar disederhanakan,” tandasnya.

Windy Anggraina
Kulonprogo
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5899 seconds (0.1#10.140)