Mengenal Hazairin, Mantan Residen Bengkulu
A
A
A
HAZAIRIN adalah salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat. Pria ini pernah mengeluarkan kebijakan pencetakan Uang Kertas Hazairin. Berikut kisahnya.
Hazairin lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 28 November 1906, di tengah-tengah keluarga sangat religius.
Ayahnya, Zakaria Bahri, berasal dari Bengkulu. Ibunya, Aminah, dari Minangkabau. Ayahnya merupakan guru yang cukup terpandang di masyarakat. Kakeknya, Ahmad Bakar, ulama yang cukup populer. Dari ayah dan kakeknya, Hazairin mendapatkan dasar-dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.
Setelah merampungkan pendidikan dasarnya di kampung halaman, Hazairin berhasil menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge School) pada 1936 dengan gelar doktor hukum adat. Saat itu, dia berhasil mempertahankan desertasi berjudul De Rejang, yang membahas adat istiadat Rejang di Bengkulu. Hal ini mengantarkannya sebagai seorang ahli hukum adat.
Tamat kuliah, ia bekerja sebagai Kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, ia juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, ia diberi gelar "Pangeran Alamsyah Harahap".
Pada April 1946, Hazairin diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan. Dua tahun setelah pengangkatannya, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II pada 1948. Bersama-sama kekuatan tentara dan rakyat, Hazairin secara aktif memberikan dorongan semangat perjuangan melawan pasukan Belanda.
Hazairin bergerilya di hutan belantara Bukit Barisan bersama keluarganya. Ia juga memimpin langsung secara aktif dan mengadakan pertemuan dengan para pamong praja untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat, persatuan, serta kesatuan.
Pada 1949, Hazairin membantu perjuangan secara swadana untuk membiayai kebutuhan logistik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di wilayah Keresidenan Bengkulu.
Pada Agresi Militer Belanda II, Hazairin yang menjadi salah satu tokoh yang menjadi sasaran penangkapan Belanda, kerap gagal ditangkap. Atas perintah Hazairin, pasukan TKR berhasil menghancurkan seluruh jembatan yang ada di Keresidenan Bengkulu hingga perbatasan Padang, Palembang, Lampung. Hal itu dilakukan untuk menghambat serbuan dan gerak maju pasukan Belanda.
Pada masa perang kemerdekaan, Hazairin menunjukkan perannya yang menonjol dalam perjuangan. Saat menjadi Wakil Gubernur Muda Provinsi Sumatera, ia mengeluarkan kebijakan pencetakan uang kertas, yang dikenal Uang Kertas Hazairin. Uang itu berlaku 1 Desember 1947-27 Desember 1949 di daerah Keresidenan Bengkulu.
Uang Kertas Hazairin itu dikeluarkan untuk mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat dan untuk membiayai angkatan perang. Dengan adanya Uang Kertas Hazairin tersebut, roda perekonomian rakyat, khususnya Keresidenan Bengkulu, bergerak lagi, setelah sebelumnya mengalami kesulitan karena langkanya mata uang RI.
Bahkan, uang kertas tersebut berlaku hingga Lampung. Dengan Uang Kertas Hazairin, kebutuhan seragam TKR dan logistiknya juga dapat terpenuhi sehingga semangat TKR dan rakyat untuk bergerilya semakin tinggi.
Selain dikenal sebagai pejuang, dalam wilayah hukum, Hazairin dikenal sebagai pemikir besar. Pada 1956, ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante sampai 1959.
Hazairin juga sangat produktif dalam menghasilkan karya ilmiah di bidang hukum. Sejumlah bukunya bahkan sering dijadikan sebagai rujukan di perguruan tinggi, misal Hukum Kewarisan Menurut Alquran.
Hazairin juga tokoh yang aktif di kancah perpolitikan Indonesia. Ia ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya. Bersama Wongsonegoro dan Rooseno, Hazairin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) sebagai wakil Partai PIR.
Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955). Pada Pemilu 1955, Partai PIR terpecah menjadi dua, yakni PIR-Wongsonegoro dan PIR-Hazairin. Dalam pemilihan tersebut, PIR-Hazairin hanya memperoleh 114.644 suara atau setara satu kursi.
Selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer, dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Hazairin meninggal 11 Desember 1975 di Jakarta, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Hazairin berdasarkan SK Presiden RI Nomor 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu universitas di Bengkulu, yakni Universitas Prof Dr Hazairin SH atau Unihaz.
Sumber: Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis: Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014) dan pahlawancenter.com.
Hazairin lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 28 November 1906, di tengah-tengah keluarga sangat religius.
Ayahnya, Zakaria Bahri, berasal dari Bengkulu. Ibunya, Aminah, dari Minangkabau. Ayahnya merupakan guru yang cukup terpandang di masyarakat. Kakeknya, Ahmad Bakar, ulama yang cukup populer. Dari ayah dan kakeknya, Hazairin mendapatkan dasar-dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.
Setelah merampungkan pendidikan dasarnya di kampung halaman, Hazairin berhasil menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge School) pada 1936 dengan gelar doktor hukum adat. Saat itu, dia berhasil mempertahankan desertasi berjudul De Rejang, yang membahas adat istiadat Rejang di Bengkulu. Hal ini mengantarkannya sebagai seorang ahli hukum adat.
Tamat kuliah, ia bekerja sebagai Kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, ia juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, ia diberi gelar "Pangeran Alamsyah Harahap".
Pada April 1946, Hazairin diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan. Dua tahun setelah pengangkatannya, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II pada 1948. Bersama-sama kekuatan tentara dan rakyat, Hazairin secara aktif memberikan dorongan semangat perjuangan melawan pasukan Belanda.
Hazairin bergerilya di hutan belantara Bukit Barisan bersama keluarganya. Ia juga memimpin langsung secara aktif dan mengadakan pertemuan dengan para pamong praja untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat, persatuan, serta kesatuan.
Pada 1949, Hazairin membantu perjuangan secara swadana untuk membiayai kebutuhan logistik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di wilayah Keresidenan Bengkulu.
Pada Agresi Militer Belanda II, Hazairin yang menjadi salah satu tokoh yang menjadi sasaran penangkapan Belanda, kerap gagal ditangkap. Atas perintah Hazairin, pasukan TKR berhasil menghancurkan seluruh jembatan yang ada di Keresidenan Bengkulu hingga perbatasan Padang, Palembang, Lampung. Hal itu dilakukan untuk menghambat serbuan dan gerak maju pasukan Belanda.
Pada masa perang kemerdekaan, Hazairin menunjukkan perannya yang menonjol dalam perjuangan. Saat menjadi Wakil Gubernur Muda Provinsi Sumatera, ia mengeluarkan kebijakan pencetakan uang kertas, yang dikenal Uang Kertas Hazairin. Uang itu berlaku 1 Desember 1947-27 Desember 1949 di daerah Keresidenan Bengkulu.
Uang Kertas Hazairin itu dikeluarkan untuk mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat dan untuk membiayai angkatan perang. Dengan adanya Uang Kertas Hazairin tersebut, roda perekonomian rakyat, khususnya Keresidenan Bengkulu, bergerak lagi, setelah sebelumnya mengalami kesulitan karena langkanya mata uang RI.
Bahkan, uang kertas tersebut berlaku hingga Lampung. Dengan Uang Kertas Hazairin, kebutuhan seragam TKR dan logistiknya juga dapat terpenuhi sehingga semangat TKR dan rakyat untuk bergerilya semakin tinggi.
Selain dikenal sebagai pejuang, dalam wilayah hukum, Hazairin dikenal sebagai pemikir besar. Pada 1956, ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante sampai 1959.
Hazairin juga sangat produktif dalam menghasilkan karya ilmiah di bidang hukum. Sejumlah bukunya bahkan sering dijadikan sebagai rujukan di perguruan tinggi, misal Hukum Kewarisan Menurut Alquran.
Hazairin juga tokoh yang aktif di kancah perpolitikan Indonesia. Ia ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya. Bersama Wongsonegoro dan Rooseno, Hazairin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) sebagai wakil Partai PIR.
Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955). Pada Pemilu 1955, Partai PIR terpecah menjadi dua, yakni PIR-Wongsonegoro dan PIR-Hazairin. Dalam pemilihan tersebut, PIR-Hazairin hanya memperoleh 114.644 suara atau setara satu kursi.
Selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer, dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Hazairin meninggal 11 Desember 1975 di Jakarta, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Hazairin berdasarkan SK Presiden RI Nomor 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu universitas di Bengkulu, yakni Universitas Prof Dr Hazairin SH atau Unihaz.
Sumber: Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis: Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014) dan pahlawancenter.com.
(zik)