Pertaruhkan Nyawa demi Logam Mulia

Rabu, 01 April 2015 - 09:32 WIB
Pertaruhkan Nyawa demi Logam Mulia
Pertaruhkan Nyawa demi Logam Mulia
A A A
Kandungan emas murni ibarat anugerah bagi warga Kecamatan Cineam dan Karangjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Aktivitas penambangan secara tradisional menjadi sumber mata pencaharian utama bagi sekitar 400 orang warga setempat.

Saat ini tercatat lebih dari 30 lubang aktif terus digali di atas lahan sekitar 170 km2, yang tersebar di beberapa tempat, seperti Bukit Cengal, Bukit Karangpanunggal, dan Bukit Leuwidungus. Meski sudah digali sejak 1970-an, belum ada kajian ilmiah dari Pemkab Tasikmalaya mengenai seberapa besar potensinya. Untuk mengambil kandungan emas yang berada di dalam perut bumi, penggalian terowongan menggunakan pahat dengan berpondasi bambu dan kayu adalah satusatunya cara.

Konstruksinya tidak seragam bergantung uang yang ditanam pemilik modal, karena modal terkecil biasanya mencapai sekitar Rp50 juta. Terowongan di Bukit Karangpanunggal adalah contoh yang dibuat dengan dana Rp50 juta. Untuk mendapatkan hasil lebih banyak, dibuat sumur vertikal selebar satu meter dengan kedalaman sekitar 20 meter, untuk membuka terowongan horizontal baru.

Sumur biasanya terus dibuat hingga batas kedalaman 80 meter. Tidak ada sarana pengaman, seperti cadangan oksigen atau masker sehingga kematian akibat sesak nafas atau runtuhnya dinding tanah besar kemungkinan terjadi. Terlebih jika kondisi fisik yang lelah karena berjuang masuk diperlukan stamina yang sangat kuat. Apalagi di dalam terowongan mereka bekerja dengan menggali demi mendapatkan bongkahanbongkahan batu yang diduga mengandung emas.

Seperti dikisahkan Sadili, 48, warga Kampung Ciherang, Desa Karanglayung, Kecamatan Karangjaya, Kabupaten Tasikmalaya, pada dua tahun silam dirinya bersama rekan-rekannya terkejut saat mendengar bunyi gemuruh dari salah satu sudut terowongan atau dalam bahasa setempat disebut lubang tambang emas di perut Bukit Karangpaningal.

Gemuruh menjadi tanda ada dinding tanah yang ambruk yang saat itu juga membuat kepanikan karena mengetahui jika salah seorang rekannya sesama penambang, yakni Ateng,47, terperangkap di ujung terowongan pada kedalaman 30 meter. Dengan menggunakan lingis, pacul, tali tambang, dan pahat, di terowongan sepanjang 20 meter, dan lebar satu meter, serta tinggi satu meter, dengan kedalaman maksimal 80 meter ini, penambang lain bergerak melakukan penyelamatan.

Hingga baru satu jam kemudian longsoran tanah bisa disingkirkan dan Ateng berhasil diselamatkan, kendati saat itu kondisinya sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. “Saat itu saya sudah tidak ingat apa-apa dan baru tersadar setelah berada di rumah di puskesmas, entah kenapa tibatiba terowongan itu ambruk hingga menutup pintu keluar dan juga udara yang sudah jelas telah sangat minim. Dalam kegelapan dan pengap saya sempat bertahan beberapa menit hingga akhirnya kepala pusing dan nafas sesak yang kemudian membuat saya tak sadarkan diri,” ungkap Ateng saat ditemui dengan nampak tanah lempung kering di sekujur tubuhnya menandakan baru saja keluar dari terowongan yang hampir mencabut nyawanya itu.

Pengalaman pahit yang dialaminya tersebut, seperti tidak membuatnya jera untuk kemudian terus mengadu nasib dengan masuk ke dalam perut bumi untuk mencari emas yang sebenarnya keberadaannya pun hanya untung-untungan. Kejadian serupa yang nyaris merenggut nyawanya kemudian terjadi pada Agustus 2011 silam di terowongan yang sama.

Nanang Kuswara
Kabupaten Tasikmalaya
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6498 seconds (0.1#10.140)