Prihatin Degradasi Moral, Dirikan Sekolah Berbasis Islam
A
A
A
Kamidi, 44, hanyalah warga biasa yang tinggal di Pedukuhan Kopok Kidul, Desa Tawangsari, Kecamatan Pengasih. Namun, namanya cukup dikenal di masyarakat karena upayanya yang gigih untuk mengembangkan dunia pendidikan di sekitar tempat tinggalnya.
Padahal dasar pendidikannya justru dari STM. Lembaga pendidikan yang dirintis, dimulai pada 2006 silam. Saat itu Kamidi rela melepas pekerjaan sebagai salah satu karyawan di sebuah pabrik gelas yang ada di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta. Keuletannya dalam bekerja, membuat atasannya menahannya agar tidak keluar. Namun tekad untuk pulang kembali ke kampung halamannya sudah bulat. Apalagi orang tuanya juga memintanya untuk kembali.
Saat itulah, dia mencoba merintis usaha dengan berjualan soto keliling sambil mencari kerja. Namun usahanya ini pun mengalami pasang surut serta ditinggalkannya dan beralih profesi sebagai buruh bangunan. Kemampuannya dalam mengelas kala menjadi buruh pabrik, mendorongnya untuk membuka bengkel sepeda dan tambal ban. Alhasil, bengkel ini pun kian sukses dan bertahan sampai sekarang. Pada 2009, dia mulai mencoba membuat PAUD Permata Islam.
Menggunakan rumah orang tuanya dan peralatan seadanya, PAUD itu bisa menampung 15 anak di sekitar tempat tinggalnya. Walaupun pendidikan masih dilakukan secara lesehan dengan menggunakan tempat seadanya. Seiring peserta didik yang akan lulus, dia pun membuat TK yang juga masih dalam satu kompleks. Tahun kemarin dia juga meningkatkan dengan membuka madrasah ibtidaiyah (MI).
“Saya prihatin dengan degradasi moral, karena itu saya mendirikan PAUD berbasis Islam. Fondasi akhlak dan moral harus dibangun sejak mereka kecil,” ujarnya. Pada awalnya, lembaga pendidikan yang dirintis dilakukan secara gratis. Semuanya dilakukan dengan mengandalkan usahanya dari tambal ban. Namun kini sekolahnya juga menarik biaya meski sangat murah dan jauh dari kebutuhan anggaran untuk membiayai pendidikan. Para pengajar pun banyak dari kalangan relawan.
Namun lambat laun, banyak donatur yang memberikan infak. Bahkan ada juga tanah yang diwakafkan, yang akan dibangun untuk jenjang MTS hingga MA. Menurutnya, banyak donatur yang tidak dikenalnya. Entah dari mana, mereka datang dan menemuinya. Hingga akhirnya bicara panjang dan mereka memberikan bantuan berupa uang ataupun bahan bangunan. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, sekolah yang didirikan Kamidi lebih banyak memberikan pemahaman tentang ilmu agama.
Bahkan orang tua dan wali juga kerap diajak untuk datang ke sekolah. Dari sekadar memberikan keterampilan, sampai pengajian. “Unggulan kami pada tahfiz atau hafalan dengan mengarahkan mereka menjadi entrepreneur,” ujarnya. Kini dengan semakin banyaknya siswa, dia pun harus mengangkat guru.
Menariknya, para guru itu pun tidak banyak menuntut gaji dan tunjangan. Tidak sedikit di antara para guru yang tidak mau dibayar dan melakukannya dengan ikhlas. Para anak-anak pun kerap diajak untuk melakukan pembelajaran di luar ruang kelas. Salah satunya dengan mengunjungi pabrik yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Nantinya anak-anak akan praktik dan membuat pasar di sekolah sebulan sekali. Kepala Desa Tawangsari Sigit Susetyo mengaku bangga dengan adanya salah satu warga yang memiliki rasa sosial. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, Kamidi berusaha membangun dan merintis dunia pendidikan. Hingga akhirnya, ada perhatian dari desa maupun pemerintah untuk membantu proses belajar mengajar.
“Awalnya memang dari nol, berkat kerja kerasnya, kini sekolahnya semakin dikenal,” ujarnya. Apa yang dilakukan Kamidi, cukup meringankan warga dari kalangan ekonomi lemah yang ingin sekolah.
Kuntadi
Kulonprogo
Padahal dasar pendidikannya justru dari STM. Lembaga pendidikan yang dirintis, dimulai pada 2006 silam. Saat itu Kamidi rela melepas pekerjaan sebagai salah satu karyawan di sebuah pabrik gelas yang ada di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta. Keuletannya dalam bekerja, membuat atasannya menahannya agar tidak keluar. Namun tekad untuk pulang kembali ke kampung halamannya sudah bulat. Apalagi orang tuanya juga memintanya untuk kembali.
Saat itulah, dia mencoba merintis usaha dengan berjualan soto keliling sambil mencari kerja. Namun usahanya ini pun mengalami pasang surut serta ditinggalkannya dan beralih profesi sebagai buruh bangunan. Kemampuannya dalam mengelas kala menjadi buruh pabrik, mendorongnya untuk membuka bengkel sepeda dan tambal ban. Alhasil, bengkel ini pun kian sukses dan bertahan sampai sekarang. Pada 2009, dia mulai mencoba membuat PAUD Permata Islam.
Menggunakan rumah orang tuanya dan peralatan seadanya, PAUD itu bisa menampung 15 anak di sekitar tempat tinggalnya. Walaupun pendidikan masih dilakukan secara lesehan dengan menggunakan tempat seadanya. Seiring peserta didik yang akan lulus, dia pun membuat TK yang juga masih dalam satu kompleks. Tahun kemarin dia juga meningkatkan dengan membuka madrasah ibtidaiyah (MI).
“Saya prihatin dengan degradasi moral, karena itu saya mendirikan PAUD berbasis Islam. Fondasi akhlak dan moral harus dibangun sejak mereka kecil,” ujarnya. Pada awalnya, lembaga pendidikan yang dirintis dilakukan secara gratis. Semuanya dilakukan dengan mengandalkan usahanya dari tambal ban. Namun kini sekolahnya juga menarik biaya meski sangat murah dan jauh dari kebutuhan anggaran untuk membiayai pendidikan. Para pengajar pun banyak dari kalangan relawan.
Namun lambat laun, banyak donatur yang memberikan infak. Bahkan ada juga tanah yang diwakafkan, yang akan dibangun untuk jenjang MTS hingga MA. Menurutnya, banyak donatur yang tidak dikenalnya. Entah dari mana, mereka datang dan menemuinya. Hingga akhirnya bicara panjang dan mereka memberikan bantuan berupa uang ataupun bahan bangunan. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, sekolah yang didirikan Kamidi lebih banyak memberikan pemahaman tentang ilmu agama.
Bahkan orang tua dan wali juga kerap diajak untuk datang ke sekolah. Dari sekadar memberikan keterampilan, sampai pengajian. “Unggulan kami pada tahfiz atau hafalan dengan mengarahkan mereka menjadi entrepreneur,” ujarnya. Kini dengan semakin banyaknya siswa, dia pun harus mengangkat guru.
Menariknya, para guru itu pun tidak banyak menuntut gaji dan tunjangan. Tidak sedikit di antara para guru yang tidak mau dibayar dan melakukannya dengan ikhlas. Para anak-anak pun kerap diajak untuk melakukan pembelajaran di luar ruang kelas. Salah satunya dengan mengunjungi pabrik yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Nantinya anak-anak akan praktik dan membuat pasar di sekolah sebulan sekali. Kepala Desa Tawangsari Sigit Susetyo mengaku bangga dengan adanya salah satu warga yang memiliki rasa sosial. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, Kamidi berusaha membangun dan merintis dunia pendidikan. Hingga akhirnya, ada perhatian dari desa maupun pemerintah untuk membantu proses belajar mengajar.
“Awalnya memang dari nol, berkat kerja kerasnya, kini sekolahnya semakin dikenal,” ujarnya. Apa yang dilakukan Kamidi, cukup meringankan warga dari kalangan ekonomi lemah yang ingin sekolah.
Kuntadi
Kulonprogo
(ars)