Lebih dari 70% PRT Diperlakukan Diskriminatif
A
A
A
SEMARANG - Setidaknya 70% pekerja rumah tangga (PRT) di Kota Semarang mendapatkan perlakuan diskriminatif, bahkan kekerasan saat melaksanakan pekerjaannya.
Banyakpuladiantara mereka yang tidak mendapatkan hak-hak dari pekerjaannya itu. Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Merdeka Kota Semarang, Nur Kasanah, menyebut ini karena belum ada payung hukum yang melindungi mereka. Para PTT ini mengalami berbagai kekerasan, dari gaji yang tidak layak, pemotongan gaji sepihak, tidak ada hari libur mingguan, cuti tahunan, jaminan kesehatan, kebebasan berserikat, serta tidak adanya perjanjian tertulis sehingga mereka dapat diberhentikan sewaktu-waktu.
“Bahkan tidak sedikit pula mereka yang mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis,” katanya saat berunjuk rasa di gelaran Car Free Day (CFD) di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, kemarin. Banyak kasus kekerasan yang dialami PRT hanya berhenti di kepolisian. Sebab, memang tidak ada aturan baku yang menaungi nasib kami ini. Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 juta tidak tercantum dengan rinci mengenai perlindungan terhadap para PRT.
Untuk itu, lanjut Nur, kemarin dia beserta puluhan pekerja rumah tangga di Kota Semarang menggelar aksi unjuk rasa. Acara tersebut sebagai bukti bahwa PRT sudah sangat menderita dan mendesak segera diberikan perlindungan secara hukum. “Kami menagih janji Presiden Joko Widodo untuk segera mengesahkan RUU PRT dan Konvensi ILO Nomor 189 tentang Situasi Kerja Layak PRT. Kami juga mendesak kepada Gubernur Jateng dan DPRD Jateng ikut mengawal dan mendesak agar DPR segera memasukan RUU ini dalam Prolegnas tahun ini agar dapat segera disahkan,” tekannya.
Dalam aksi ini puluhan ibuibu pembantu rumah tangga menggelar doa bersama di gelaran CFD. Mereka menabur bunga sebagai bentuk keprihatinannya akan nasib yang dialaminya selama ini. “Sebelum kegiatan ini kami juga telah melakukan giat berupa aksi mogok makan bersama 14.000 relawan. Tujuannya hanya satu, kami ingin agar nasib kami diperhatikan dan kami diberi perlindungan hukum,” kata Zaenab, salah satu PRT yang ikut aksi.
Sejak delapan tahun terakhir bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Zaenab kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Selain gaji rendah, dia juga pernah dilarang menggunakan pakaian bagus dan membawa tas.
Andika prabowo
Banyakpuladiantara mereka yang tidak mendapatkan hak-hak dari pekerjaannya itu. Ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Merdeka Kota Semarang, Nur Kasanah, menyebut ini karena belum ada payung hukum yang melindungi mereka. Para PTT ini mengalami berbagai kekerasan, dari gaji yang tidak layak, pemotongan gaji sepihak, tidak ada hari libur mingguan, cuti tahunan, jaminan kesehatan, kebebasan berserikat, serta tidak adanya perjanjian tertulis sehingga mereka dapat diberhentikan sewaktu-waktu.
“Bahkan tidak sedikit pula mereka yang mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis,” katanya saat berunjuk rasa di gelaran Car Free Day (CFD) di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, kemarin. Banyak kasus kekerasan yang dialami PRT hanya berhenti di kepolisian. Sebab, memang tidak ada aturan baku yang menaungi nasib kami ini. Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 juta tidak tercantum dengan rinci mengenai perlindungan terhadap para PRT.
Untuk itu, lanjut Nur, kemarin dia beserta puluhan pekerja rumah tangga di Kota Semarang menggelar aksi unjuk rasa. Acara tersebut sebagai bukti bahwa PRT sudah sangat menderita dan mendesak segera diberikan perlindungan secara hukum. “Kami menagih janji Presiden Joko Widodo untuk segera mengesahkan RUU PRT dan Konvensi ILO Nomor 189 tentang Situasi Kerja Layak PRT. Kami juga mendesak kepada Gubernur Jateng dan DPRD Jateng ikut mengawal dan mendesak agar DPR segera memasukan RUU ini dalam Prolegnas tahun ini agar dapat segera disahkan,” tekannya.
Dalam aksi ini puluhan ibuibu pembantu rumah tangga menggelar doa bersama di gelaran CFD. Mereka menabur bunga sebagai bentuk keprihatinannya akan nasib yang dialaminya selama ini. “Sebelum kegiatan ini kami juga telah melakukan giat berupa aksi mogok makan bersama 14.000 relawan. Tujuannya hanya satu, kami ingin agar nasib kami diperhatikan dan kami diberi perlindungan hukum,” kata Zaenab, salah satu PRT yang ikut aksi.
Sejak delapan tahun terakhir bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Zaenab kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Selain gaji rendah, dia juga pernah dilarang menggunakan pakaian bagus dan membawa tas.
Andika prabowo
(ars)