Cerobong Retak NV Deli Klei dari Pasar Merah
A
A
A
Cerobong raksasa masih kokoh menjulang di Gang Pembangunan (Bakaran Batu), Jalan Menteng II, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai.
Dengan ketinggian mencapai 26 meter, cerobong ini menyimpan nilai sejarah yang menjadi bagian perjalanan perkembangan pembangunan Kota Medan di masa lalu. Cerobong yang kini retak mungkin menjadi sisa kejayaan tanah liat merah, tanah berkualitas tinggi bahan baku batu bata dan genteng di Eropa yang masih bisa direkam.
Bangunan cerobong itu kini dibiarkan begitu saja tanpa ada sedikit pun perhatian dari pemerintah. Kondisinya sangat mengenaskan. Di sekitar cerobong raksasa itu sudah ditumbuhi semak belukar dan terkadang sekitarnya menjadi tempat anak-anak setempat bermain. Cerobong raksasa itu kini sudah retak dari atas hingga bawah. “Kami mulai khawatir cerobong ini roboh,” ujar Nurainun Tambunan, 39, salah seorang warga sekitar.
Warga yang bermukim di sekitar cerobong itu menilai, semestinya pemerintah daerah bisa melihat cerobong itu sebagai aset sejarah. Mungkin dengan menjadikannya, salah satu benda cagar budaya perkembangan industri di Kota Medan. Sebab, cerobong ini disebut berdiri pada 1881, berarti sudah berusia 100 tahun lebih.
Nurainun, menambahkan, sejak dia kecil bangunan cerobong itu memang sudah tidak berfungsi lagi. Namun, dia masih ingat waktu kecil kawasan ini menjadi salah satu tempat favorit anakanak untuk mencari ikan, lantaran di dekat cerobong itu ada cerukan tanah yang terlihat seperti danau.
“Selama ini keberadaan cerobong raksasa tersebut tidak pernah ada perawatan. Tapi pernah ada beberapa mahasiswa yang melakukan studi ke cerobong itu. Saya pun tidak begitu paham sejarahnya. Yang jelas, kata orang-orang tua di sini, cerobong raksasa tersebut adalah cerobong pembakaran batu bata dan genteng milik pabrik Belanda,” tuturnya.
Dari penelusuran KORAN SINDO MEDAN , pabrik yang dimaksud adalah NV Deli Klei. Pabrik batu bata dan genteng berdesain Eropa tersebut merupakan bakaran batu pertama yang berdiri di Kota Medan.
Disebutkan, Belanda mendirikan pabrik di sana, karena bahan bakunya yang spesifik, yakni tanah liat merah yang menghasilkan batu bata dan genteng berkualitas tinggi yang digunakan untuk pembangunan semua bangunan di masa Belanda. Karena bahan bakunya itu, tanah di sekitar pabrik terus dikeruk.
Apalagi permintaan waktu itu cukup banyak, maka tanah tersebut semakin dalam sehingga membentuk cerukan. Sekitar kawasan pabrik itu juga kerap disebut sebagai daerah Pasar Merah. Hal ini disebabkan dengan tanah di kawasan tersebut berwarna merah saat hujan dan air dalam danau buatan itu pun berwarna merah lantaran sisa dari pengerukan tanah liat merah tersebut.
Hal ini menjadi jawaban, kenapa kawasan itu sampai kini disebut warga Medan sebagai Pasar Merah. Kini sisa kerukan itu tak terlihat lagi. Karena tak pernah digunakan puluhan tahun, sisa kerukan itu sempat dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah.
Selanjutnya, dengan perkembangannya dan warga pun mulai banyak yang bermukim di sana, cerukan sudah tak terlihat lagi atau sudah tertimbun. “Seperti saya bilang, ini dulu seperti danau. Tempat cari ikan laga,” ujar Nurainun.
Sisa kejayaan NV Deli Klei ini bisa dilihat di sejumlah bangunan tua di Kota Medan. Salah satunya yang pernah dilihat KORAN SINDO MEDAN beberapa waktu lalu, adalah vila kembar di Jalan Pangeran Diponegoro, persis di sebelah Rumah Sakit Malahayati.
Di mana pada bagian gentengnya yang pecah, ada tulisan “DELI KLEI”. Bangunan-bangunan tua jelas menggunakan bahan baku lokal, milik Kota Medan dengan kualitas dan desain Eropa.
Menurut Sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Damanik, 38 unit bangunan yang dibuat di zaman Belanda di Berastagi, terutama di Gundaling, Lau Debuk-debuk dan Bandar Baru juga menggunakan batu bata dan genteng dari NV Deli Klei. Bangunan-bangunan itu dibangun antara 1902-1939.
Erond menyebutkan, hampir seluruh bangunan tua yang berdiri kokoh di sekitar Kesawan dan bangunan tua lain menggunakan bahan batu bata dan genteng dari perusahaan NV Deli Klei. Kejayaan batu bata dari NV Deli Klei sudah dibuktikan dengan cerobong raksasa dengan tinggi 26 meter masih berdiri kokoh.
Cerobong tersebut difungsikan untuk tempat pembakaran batu untuk membuang asap pabrik agar tidak menyebar permukiman warga di sekitarnya. Layaknya sebuah perusahaan tentu memiliki masa keemasan tersendiri, begitu jugalah dengan pabrik batu bata dan genteng NV Deli Klei.
Sekitar 1920, saat semua bangunan rumah bergaya Eropa, kantor swasta maupun pemerintah juga sudah terbangun, permintaan produksi batu bata dan genteng mulai menurun. Seiring minimnya permintaan itu, sekitar tahun 1930-an pabrik tersebut tidak beroperasi lagi.
“Pengguna bahan bangunan dari NV Deli Klei adalah bangunan rumah orang Eropa, kantor pemerintahan dan swasta dalam arti khusus bangunan elite. Karena sudah hampir semua bangunan sudah ada, dan permintaan lesu akhirnya memilih tutup,” tutur Erond.
Irwan siregar/Fakhrur rozi
Dengan ketinggian mencapai 26 meter, cerobong ini menyimpan nilai sejarah yang menjadi bagian perjalanan perkembangan pembangunan Kota Medan di masa lalu. Cerobong yang kini retak mungkin menjadi sisa kejayaan tanah liat merah, tanah berkualitas tinggi bahan baku batu bata dan genteng di Eropa yang masih bisa direkam.
Bangunan cerobong itu kini dibiarkan begitu saja tanpa ada sedikit pun perhatian dari pemerintah. Kondisinya sangat mengenaskan. Di sekitar cerobong raksasa itu sudah ditumbuhi semak belukar dan terkadang sekitarnya menjadi tempat anak-anak setempat bermain. Cerobong raksasa itu kini sudah retak dari atas hingga bawah. “Kami mulai khawatir cerobong ini roboh,” ujar Nurainun Tambunan, 39, salah seorang warga sekitar.
Warga yang bermukim di sekitar cerobong itu menilai, semestinya pemerintah daerah bisa melihat cerobong itu sebagai aset sejarah. Mungkin dengan menjadikannya, salah satu benda cagar budaya perkembangan industri di Kota Medan. Sebab, cerobong ini disebut berdiri pada 1881, berarti sudah berusia 100 tahun lebih.
Nurainun, menambahkan, sejak dia kecil bangunan cerobong itu memang sudah tidak berfungsi lagi. Namun, dia masih ingat waktu kecil kawasan ini menjadi salah satu tempat favorit anakanak untuk mencari ikan, lantaran di dekat cerobong itu ada cerukan tanah yang terlihat seperti danau.
“Selama ini keberadaan cerobong raksasa tersebut tidak pernah ada perawatan. Tapi pernah ada beberapa mahasiswa yang melakukan studi ke cerobong itu. Saya pun tidak begitu paham sejarahnya. Yang jelas, kata orang-orang tua di sini, cerobong raksasa tersebut adalah cerobong pembakaran batu bata dan genteng milik pabrik Belanda,” tuturnya.
Dari penelusuran KORAN SINDO MEDAN , pabrik yang dimaksud adalah NV Deli Klei. Pabrik batu bata dan genteng berdesain Eropa tersebut merupakan bakaran batu pertama yang berdiri di Kota Medan.
Disebutkan, Belanda mendirikan pabrik di sana, karena bahan bakunya yang spesifik, yakni tanah liat merah yang menghasilkan batu bata dan genteng berkualitas tinggi yang digunakan untuk pembangunan semua bangunan di masa Belanda. Karena bahan bakunya itu, tanah di sekitar pabrik terus dikeruk.
Apalagi permintaan waktu itu cukup banyak, maka tanah tersebut semakin dalam sehingga membentuk cerukan. Sekitar kawasan pabrik itu juga kerap disebut sebagai daerah Pasar Merah. Hal ini disebabkan dengan tanah di kawasan tersebut berwarna merah saat hujan dan air dalam danau buatan itu pun berwarna merah lantaran sisa dari pengerukan tanah liat merah tersebut.
Hal ini menjadi jawaban, kenapa kawasan itu sampai kini disebut warga Medan sebagai Pasar Merah. Kini sisa kerukan itu tak terlihat lagi. Karena tak pernah digunakan puluhan tahun, sisa kerukan itu sempat dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah.
Selanjutnya, dengan perkembangannya dan warga pun mulai banyak yang bermukim di sana, cerukan sudah tak terlihat lagi atau sudah tertimbun. “Seperti saya bilang, ini dulu seperti danau. Tempat cari ikan laga,” ujar Nurainun.
Sisa kejayaan NV Deli Klei ini bisa dilihat di sejumlah bangunan tua di Kota Medan. Salah satunya yang pernah dilihat KORAN SINDO MEDAN beberapa waktu lalu, adalah vila kembar di Jalan Pangeran Diponegoro, persis di sebelah Rumah Sakit Malahayati.
Di mana pada bagian gentengnya yang pecah, ada tulisan “DELI KLEI”. Bangunan-bangunan tua jelas menggunakan bahan baku lokal, milik Kota Medan dengan kualitas dan desain Eropa.
Menurut Sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Damanik, 38 unit bangunan yang dibuat di zaman Belanda di Berastagi, terutama di Gundaling, Lau Debuk-debuk dan Bandar Baru juga menggunakan batu bata dan genteng dari NV Deli Klei. Bangunan-bangunan itu dibangun antara 1902-1939.
Erond menyebutkan, hampir seluruh bangunan tua yang berdiri kokoh di sekitar Kesawan dan bangunan tua lain menggunakan bahan batu bata dan genteng dari perusahaan NV Deli Klei. Kejayaan batu bata dari NV Deli Klei sudah dibuktikan dengan cerobong raksasa dengan tinggi 26 meter masih berdiri kokoh.
Cerobong tersebut difungsikan untuk tempat pembakaran batu untuk membuang asap pabrik agar tidak menyebar permukiman warga di sekitarnya. Layaknya sebuah perusahaan tentu memiliki masa keemasan tersendiri, begitu jugalah dengan pabrik batu bata dan genteng NV Deli Klei.
Sekitar 1920, saat semua bangunan rumah bergaya Eropa, kantor swasta maupun pemerintah juga sudah terbangun, permintaan produksi batu bata dan genteng mulai menurun. Seiring minimnya permintaan itu, sekitar tahun 1930-an pabrik tersebut tidak beroperasi lagi.
“Pengguna bahan bangunan dari NV Deli Klei adalah bangunan rumah orang Eropa, kantor pemerintahan dan swasta dalam arti khusus bangunan elite. Karena sudah hampir semua bangunan sudah ada, dan permintaan lesu akhirnya memilih tutup,” tutur Erond.
Irwan siregar/Fakhrur rozi
(ftr)