Kaya Sungai, tapi Miskin Air Bersih

Minggu, 22 Maret 2015 - 08:55 WIB
Kaya Sungai, tapi Miskin...
Kaya Sungai, tapi Miskin Air Bersih
A A A
SEMARANG - Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang dilimpahi banyak air dan memiliki ratusan sungai. Namun bukan berarti air bersih bisa didapatkan masyarakat dengan mudah.

Saat ini, Jateng diambang krisis air bersih, meski peringatan Hari Air terus dilakukan setiap tanggal22Maret. Halinitaklepasdari kebutuhan akan air bersih yang terus meningkat. Di satu sisi penyediaan sumber daya air terus menurun akibat degradasi lingkungan. Sejak tiga hari lalu mulai Kamis (19/3) hingga Sabtu (21/3) kemarin, merupakan hari yang paling menyebalkan bagi Setiawan, 30.

Warga Jalan Kencono Wungu II Kelurahan Karangayu, Kota Semaranginiharusmembeli air jeriken untuk memenuhi kebutuhan air bersih keluarganya. Penyebabnya, aliran air dari perusahaan daerah air minum (PDAM) Tirta Moedal tidak mengalir lancar ke rumahnya. “Sudah dua hari macetairnya, barumengalirhari ini(kemarin), itupun masihkeruh,” kata dia kemarin.

Selama aliran PDAM macet, dia terpaksa mengeluarkan kocek yang lebih dalam untuk membeli air bersih. Padahal, membeli air jerigen itu tidak masuk dalam anggaran rumah tangganya. Dia harus mengeluarkan uang Rp3.000 untuk satu jeriken air bersih. Dalam sehari rumah yang dihuni oleh lima jiwa itu paling tidak membutuhkan tiga jeriken.

“Itu pun masih kurang, paling susahnya saat buang air besar,” ujardia. Persoalan aliran air bersih dari PDAM macet itu tidak dialami sekali ini. Sudah berkaliberkali dia menelan pengalaman pahit terkait persoalan air bersih di Kota Semarang ini. Pengakuan Setiawan bukanlah isapan jempol belaka.

Berdasarkan data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng, kebutuhan air baku di Jateng pada 2014 mencapai 717,707 juta m3/tahu.Sementara ketersediaan air baku hanya 347,006 juta m3/tahun. Pemenuhannya hanya sekitar 48 %. Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng, Arief Zayyin menilai, kebutuhan air bersih warga Jateng belum bisa terpenuhi karena pemerintah dianggap tidak mampu mengelola manajemen air bersih dengan baik.

“Air-air yang sebenarnya bisa ditampung dibiarkan liar mengalir melalui sungai-sungai,” tuturnya. Padahal, lanjut Arief, banyak sungai-sungai baik di perkotaan maupun pedesaan yang kondisinya tercemar oleh limbah yang berbahaya. Tak pelak, air itu tidak bisa dikonsumsi oleh manusia. Persoalan lainnya, lanjut Arief, pengambilan air bawah tanah (ABT) yang begitu massif namun tidak memperdulikan keadilan ekologi.

“Di Kota Semarang saja, berapa puluh industri maupun hotel yang mengambil air bawah tanah, sementara sampai saat ini belum pernah ada audit penggunaan ABT tersebut,” paparnya. Menurut Arif, sumber baku air bersih itu sebenarnya hanya dari air bawah tanah dan air hujan. Air permukaan saat ini banyak yang tidak bisa dikonsumsi karena terkena limbah.

Sayangnya, pemerintah dianggap tidak mampu mengelola dengan baik sumber baku air bersih tersebut. Arief menyarankan, pe-merintah melarang pengambilan ABT secara massif oleh oleh industri. Selain itu, melakukan penghijauan di daerah hulu agar bisa menangkap dan menyimpan air hujan. “Alih fungsi lahan di daerah aliran sungai (DAS) juga berpengaruh terhadap krisisnya air bersih. Oleh karena itu, wilayah konservasi harus zero industri,” ungkapnya.

Kalau sumber baku itu tidak dikelola dengan baik, lanjut Arief, Jateng akan krisis air bersih, tidak menutup kemungkinan ke depan juga akan jadi sumber konflik horisontal. Buktinya, air yang seharusnya menjadi hak publik, kini sudah banyak di privatisasi dan dijualbelikan secara komersial. Kepala Dinas PSDA Jateng Prasetyo Budhie Yuwono mengakui, hingga kini belum bisa memenuhi kebutuhan air baku mencapai 100%, saat ini yang baru terpenuhi baru 52%.

Dia menargetkan bisa memenuhi hingga 60% pada 2016 sebagaimana ditargetkan dalam millennium development goals (MDGs). “Ini memang tugas berat bagi kami,” ujar dia. Prasetyo mengakui banyak menghadapi kendala untuk memenuhi kebutuhan air bersih tersebut, di antaranya penyediaan air baku terbatas karena air permukaan belum bisa digunakan dengan maksimal, pencemaran sungai yang massif, rusaknya daerah aliran sungai (DAS) akibat alih fungsi lahan.

“Rusaknya kawasan DAS mengakibatkan sumber air baku terbuang percuma ke sungaisungai, akibatnya kalaukemarau kekuranganair, kalaupenghujan rawan banjir,” tuturnya. Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, namun butuh dukungan berbagai pihak, baik pegiat industri maupun masyarakat umum. Masyarakat maupun industri diminta untuk tidak membuang limbah seenaknya disungai.

Selain itu juga tidak membangun-bangunan di wilayah DAS. Dikatakan Prasetyo, konservasi sumber daya air harus dilakukan secara massal, agar ketersediaan air selalu terjaga. Tidak mungkin akan ada pembangunan dan kehidupan, kalau tidak ada air. “Oleh karena itu peran masyarakat sangat dibutuhkan,” tuturnya.

Saat ini, lanjut Prasetyo, yang bisa dilakukan oleh pemerintah Jawa Tengah untuk penyediaan air baku itu adalah dengan membangun embung maupun Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional yang tersebar di wilayah Jateng. Tahun ini akan dibangun sembilan embung baru dari 500 embung yang sudah ada. Selain itu juga ada dibangun sembilan SPAM di beberapa wilayah.

Amin fauzi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4937 seconds (0.1#10.140)