Kisah Putri Raja Badung dan Tusuk Konde Emas
A
A
A
Raden Ayu Pemecutan adakah putri dari Raja Badung-Bali I Gusti Ngurah Gedhe Pemecutan yang terlahir dengan nama Gusti Ayu Made Rai.
Alkisah putri raja yang cantik jelita ini menderita sakit parah sehingga semua tabib istana dikerahkan untuk menyembuhkannya.
Bahkan tabib di luar istana pun juga didatangkan. Namun penyakit sang putri tidak kunjung sembuh.
Sehingga Raja Badung terpaksa menggelar sayembara, barangsiapa yang sanggup menyembuhkan penyakit sang putri, kalau perempuan maka dia akan diangkat sebagai kerabat kerajaan. Jika lelaki dia akan dinikahkan dengan sang putri yang berparas cantik itu.
Dalam sayembara ini banyak pangeran atau putra raja yang ambil bagian dalam penyembuhan penyakit Gusti Ayu Made Rai.
Putra-putra raja tersebut dari tanah Jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Banten dan dari Tanah Bali.
Semua mengadu kesaktiannya masing-masing untuk mengobati penyakit Gusti Ayu Made Rai. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan namun tidak mampu mengobati dan malah penyakit Gusti Ayu Made Rai semakin parah.
Sehingga Raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya.
Dalam situasi yang sangat mencekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Sang Pangeran lalu berusaha menyembuhkan Gusti Ayu Made Rai.
Segala ilmu kadigdayaan dikerahkan oleh sang pangeran. Akhirnya sang putri berhasil disembuhkan dari sakit parahnya.
Kalau jodoh tak akan kemana, begitu pula yang terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa.
Cinta lokasi di Istana Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan dilakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putrinya dari penyakit yang diderita.
Persiapan pernikahan kedua insan berdarah ningrat inipun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan.
Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat IV dan ikut ke Bangkalan Madura.
Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran menjadi seorang muslimah dan berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan atau Raden Ayu Siti Khotijah.
Tentunya kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV disambut baik.
Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki kecantikan yang luar biasa.
Sedangkan Cakraningrat IV, kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, tidak memungkinkannya untuk meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai penguasa.
Di saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali.
Cakraningrat IV mengizinkan Raden Ayu untuk pulang ke Bali beserta 40 orang pengiring dan pengawal.
Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde emas yang diselipkan di rambut sang putri.
Sesampainya di Kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Islam (menjadi seorang muallaf).
Raden Ayu Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang-Maning Denpasar dengan para dayang-dayang.
Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya.
Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah menjalankan ibadah salat Maghrib di Merajan Puri dengan menggunakan mukena (kerudung).
Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk Islam dan sedang melakukan ibadah salat.
Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan ritual ilmu hitam (Leak).
Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam. Akibat ketidaktahuan pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporkan hal tersebut kepada Raja.
Mendengar laporan patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Patih lalu diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah.
Raden Ayu Siti Khotijah lalu dibawa ke areal pemakaman yang luasnya 9 hektere. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya.
"Saya sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang salat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak," kata Siti Khotijah. Lalu sang putri berpesan kepada Sang patih, "Jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan mampu membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut keramat," kata sang putri.
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badannya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum.
Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau.
Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut keramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh.
Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Untuk merawat makam keramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Pada suatu hari, dari makam Raden Ayu tumbuh sebuah pohon yang tingginya sekitar 50 cm tepat di tengah-tengah kuburan tersebut.
Pohon tersebut membuat kuburan terbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari Sedahan Gelogor.
Ajaibnya, setiapkali dibersihkan (dicabut) pohon itu kembali tumbuh dan terus membesar. Melihat keganjilan itu, akhirnya penjaga makan Gede Sedahan Gelogor dan istrinya membiarkan pohon itu tumbuh.
Menurut penjaga makam yang sekaligus Kepala Istana Kerajaan, saat dia dan istrinya Sedahan Moning sedang bersemedi di hadapan makam tersebut.
Dalam semedi dia diperintahkan atas wasiat Siti Khotijah agar merawat pohon itu. Pohon tersebut konon tumbuh dari tusuk konde di rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya memiliki rambut hitam panjang.
Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut dan disebut 'Taru rambut'. Kini pohon Kepuk itu tumbuh besar dan telah mencapai tinggi 16 meter dan sangat disakralkan oleh warga.
Keberadaan pohon itu membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan memiliki karomah melebihi manusia biasa.
Penerus juru kunci, Jero Mangku I Made Puger mengakui sering terjadi hal-hal di luar akal sehat selama menjaga makam Keramat Agung Pamecutan.
Contoh yang sering terjadi adalah ranting dan dahan pohon sering berjatuhan namun tak pernah menyentuh atap makam. "...ranting atau dahan pohon itu hanya berjatuhan di sebelah makam. Seperti ada yang melempar ke sebelah makam," tutur Jero Mangku.
Adapun sebagai bentuk pertanggung jawaban Raja kepada 40 orang pengiring Raden Ayu, Raja memberikan tempat bermukim di daerah Kepaon.
Kini kampung Islam Kepaon berkembang pesat dan pewaris Raja Pamecutan selalu hadir pada perayaan hari besar Islam.
Kehadiran keluarga besar Puri Pamecutan sebagai bukti bahwa antara kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan terjalin ikatan persaudaraan dari pernikahan putri Raja Badung Gusti Ayu Made Rai (Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan) dengan Raja Madura, Cakraningrat IV.
Bahkan penguasa Puri Pamecutan, Raja Cokorda Pamecutan IX, mengakui bahwa kampung Islam Kepaon merupakan saudara berdasarkan perkawinan keturunan Raja Pemecutan dengan Raja madura, Cakraningrat IV.
Kini pohon ditengah makam itu tumbuh besar dan tingginya sudah puluhan meter. Pohon itu sangat disakralkan oleh warga setempat.
Hingga kini makam Raden Ayu Pemecutan banyak diziarahi umat Islam maupun Hindu. Keberadaan makam ini menjadi pemersatu dan simbol kerukunan kedua umat beragama.
Sumber : pemecutan.blogspot
wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Alkisah putri raja yang cantik jelita ini menderita sakit parah sehingga semua tabib istana dikerahkan untuk menyembuhkannya.
Bahkan tabib di luar istana pun juga didatangkan. Namun penyakit sang putri tidak kunjung sembuh.
Sehingga Raja Badung terpaksa menggelar sayembara, barangsiapa yang sanggup menyembuhkan penyakit sang putri, kalau perempuan maka dia akan diangkat sebagai kerabat kerajaan. Jika lelaki dia akan dinikahkan dengan sang putri yang berparas cantik itu.
Dalam sayembara ini banyak pangeran atau putra raja yang ambil bagian dalam penyembuhan penyakit Gusti Ayu Made Rai.
Putra-putra raja tersebut dari tanah Jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Banten dan dari Tanah Bali.
Semua mengadu kesaktiannya masing-masing untuk mengobati penyakit Gusti Ayu Made Rai. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan namun tidak mampu mengobati dan malah penyakit Gusti Ayu Made Rai semakin parah.
Sehingga Raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya.
Dalam situasi yang sangat mencekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Sang Pangeran lalu berusaha menyembuhkan Gusti Ayu Made Rai.
Segala ilmu kadigdayaan dikerahkan oleh sang pangeran. Akhirnya sang putri berhasil disembuhkan dari sakit parahnya.
Kalau jodoh tak akan kemana, begitu pula yang terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa.
Cinta lokasi di Istana Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan dilakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putrinya dari penyakit yang diderita.
Persiapan pernikahan kedua insan berdarah ningrat inipun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan.
Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat IV dan ikut ke Bangkalan Madura.
Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran menjadi seorang muslimah dan berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan atau Raden Ayu Siti Khotijah.
Tentunya kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV disambut baik.
Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki kecantikan yang luar biasa.
Sedangkan Cakraningrat IV, kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, tidak memungkinkannya untuk meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai penguasa.
Di saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali.
Cakraningrat IV mengizinkan Raden Ayu untuk pulang ke Bali beserta 40 orang pengiring dan pengawal.
Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde emas yang diselipkan di rambut sang putri.
Sesampainya di Kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Islam (menjadi seorang muallaf).
Raden Ayu Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang-Maning Denpasar dengan para dayang-dayang.
Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya.
Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah menjalankan ibadah salat Maghrib di Merajan Puri dengan menggunakan mukena (kerudung).
Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk Islam dan sedang melakukan ibadah salat.
Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan ritual ilmu hitam (Leak).
Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam. Akibat ketidaktahuan pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporkan hal tersebut kepada Raja.
Mendengar laporan patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Patih lalu diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah.
Raden Ayu Siti Khotijah lalu dibawa ke areal pemakaman yang luasnya 9 hektere. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya.
"Saya sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang salat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak," kata Siti Khotijah. Lalu sang putri berpesan kepada Sang patih, "Jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan mampu membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut keramat," kata sang putri.
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badannya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum.
Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau.
Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut keramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh.
Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Untuk merawat makam keramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Pada suatu hari, dari makam Raden Ayu tumbuh sebuah pohon yang tingginya sekitar 50 cm tepat di tengah-tengah kuburan tersebut.
Pohon tersebut membuat kuburan terbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari Sedahan Gelogor.
Ajaibnya, setiapkali dibersihkan (dicabut) pohon itu kembali tumbuh dan terus membesar. Melihat keganjilan itu, akhirnya penjaga makan Gede Sedahan Gelogor dan istrinya membiarkan pohon itu tumbuh.
Menurut penjaga makam yang sekaligus Kepala Istana Kerajaan, saat dia dan istrinya Sedahan Moning sedang bersemedi di hadapan makam tersebut.
Dalam semedi dia diperintahkan atas wasiat Siti Khotijah agar merawat pohon itu. Pohon tersebut konon tumbuh dari tusuk konde di rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya memiliki rambut hitam panjang.
Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut dan disebut 'Taru rambut'. Kini pohon Kepuk itu tumbuh besar dan telah mencapai tinggi 16 meter dan sangat disakralkan oleh warga.
Keberadaan pohon itu membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan memiliki karomah melebihi manusia biasa.
Penerus juru kunci, Jero Mangku I Made Puger mengakui sering terjadi hal-hal di luar akal sehat selama menjaga makam Keramat Agung Pamecutan.
Contoh yang sering terjadi adalah ranting dan dahan pohon sering berjatuhan namun tak pernah menyentuh atap makam. "...ranting atau dahan pohon itu hanya berjatuhan di sebelah makam. Seperti ada yang melempar ke sebelah makam," tutur Jero Mangku.
Adapun sebagai bentuk pertanggung jawaban Raja kepada 40 orang pengiring Raden Ayu, Raja memberikan tempat bermukim di daerah Kepaon.
Kini kampung Islam Kepaon berkembang pesat dan pewaris Raja Pamecutan selalu hadir pada perayaan hari besar Islam.
Kehadiran keluarga besar Puri Pamecutan sebagai bukti bahwa antara kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan terjalin ikatan persaudaraan dari pernikahan putri Raja Badung Gusti Ayu Made Rai (Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan) dengan Raja Madura, Cakraningrat IV.
Bahkan penguasa Puri Pamecutan, Raja Cokorda Pamecutan IX, mengakui bahwa kampung Islam Kepaon merupakan saudara berdasarkan perkawinan keturunan Raja Pemecutan dengan Raja madura, Cakraningrat IV.
Kini pohon ditengah makam itu tumbuh besar dan tingginya sudah puluhan meter. Pohon itu sangat disakralkan oleh warga setempat.
Hingga kini makam Raden Ayu Pemecutan banyak diziarahi umat Islam maupun Hindu. Keberadaan makam ini menjadi pemersatu dan simbol kerukunan kedua umat beragama.
Sumber : pemecutan.blogspot
wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)