Nguri-Nguri Tradisi di Tengah Sempitnya Lahan Pertanian
A
A
A
Minimnya lahan pertanian yang ada di Kota Yogyakarta tak menyurutkan minat masy arakat untuk tetap mempertahankan tradisi yang berhubungan dengan pertanian.
Seperti yang dilakukan warga Rejowinangun, Kotagede sejak dua tahun terakhir kembali mencoba untuk menghidupkan tradisi Wiwit Pari yang merupakan agenda kearifan masyarakat pertanian. Tradisi yang berhubungan dengan ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi tersebut menjadi bagian dari posisi Rejowinangun menjadi kampung wisata agro-edukasi.
Selain untuk mempertahankan tradisi, acara tersebut dapat menjadi bagian dari pertunjukan wisata. "Bisa menanam bibit sampai panen adalah sesuatu yang luar biasa dan wajib disyukuri. Beras adalah makanan pokok sehingga saat memetik pertama wajib diupacarai sebagai bagian dari rasa syukur atas rezeki yang diterima," kata Ketua kampung wisata agro-edukasi Rejowinangun Agus Budi Santoso di sela-sela kegiatan tradisi Wiwit yang diselenggarakannya, Kamis (19/3).
Makin kecilnya lahan pertanian yang ada di Yogyakarta menjadikan tradisi Wiwit semakin tidak dikenal dan ditinggalkan. Masyarakat sudah seperti melupakan keberadaan tradisi warisan tersebut. Dengan teknologi yang ada, sebenarnya tradisi Wiwit bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun.
Di Rejowinangun sebagai bagian dari pertunjukan wisata, tradisi Wiwit Pari yang sudah dua kali digelar untuk dikenalkan kepada generasi penerus. Sehingga dalam penyelenggaraannya, kegiatannya juga melibatkan anak-anak sekolah. Saat ini di Yogyakarta luas lahan pertanian hanya mencapai 64 hektare dengan tanaman padi yang ditanam cenderung varietas unggulan seperti IR 64.
Dari total lahan pertanian yang ada, 14 hektar lahan persawahan dengan rata-rata mampu panen 6,3 ton gabah kering per hektare. Capaian produksi tersebut diklaim cukup lumayan dengan mempertimbangkan luas lahan yang ada. "Meskipun hanya kecil luasannya, tapi hasil yang didapat tergolong bagus,” ujar kepala Dinas Perindagkoptan, Suyana.
Dengan jumlah produksi yang dihasilkan, hasil panen cenderung dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi. Jika pun dijual, sering kali padi sudah dijual dengan cara ditebas. Sehingga padi produksi petani di Kota Yogyakarta tidak pernah masuk ke Bulog yang memiliki kewenangan untuk membeli padi dari petani.
Sempitnya lahan pertanian di Kota Yogyakarta cenderung mengarahkan petani tetap mempertahankan kegiatannya dengan sistem tadah hujan. Namun demikian, untuk beberapa wilayah masih ada lahan pertanian yang bisa dikerjakan dengan sistem irigasi. "Di Bener Tegalrejo sawah dialiri melalui saluran irigasi," kata Suyana.
Menghadapi penurunan luas lahan pertanian, berbagai upaya terus dilakukan Pemkot Yogyakarta untuk bisa mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Salah satunya adalah memberikan keringanan pajak PBB khusus untuk lahan pertanian. Insentif khusus dikeluarkan agar masyarakat mau ikut mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
Maha Deva
Yogyakarta
Seperti yang dilakukan warga Rejowinangun, Kotagede sejak dua tahun terakhir kembali mencoba untuk menghidupkan tradisi Wiwit Pari yang merupakan agenda kearifan masyarakat pertanian. Tradisi yang berhubungan dengan ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi tersebut menjadi bagian dari posisi Rejowinangun menjadi kampung wisata agro-edukasi.
Selain untuk mempertahankan tradisi, acara tersebut dapat menjadi bagian dari pertunjukan wisata. "Bisa menanam bibit sampai panen adalah sesuatu yang luar biasa dan wajib disyukuri. Beras adalah makanan pokok sehingga saat memetik pertama wajib diupacarai sebagai bagian dari rasa syukur atas rezeki yang diterima," kata Ketua kampung wisata agro-edukasi Rejowinangun Agus Budi Santoso di sela-sela kegiatan tradisi Wiwit yang diselenggarakannya, Kamis (19/3).
Makin kecilnya lahan pertanian yang ada di Yogyakarta menjadikan tradisi Wiwit semakin tidak dikenal dan ditinggalkan. Masyarakat sudah seperti melupakan keberadaan tradisi warisan tersebut. Dengan teknologi yang ada, sebenarnya tradisi Wiwit bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun.
Di Rejowinangun sebagai bagian dari pertunjukan wisata, tradisi Wiwit Pari yang sudah dua kali digelar untuk dikenalkan kepada generasi penerus. Sehingga dalam penyelenggaraannya, kegiatannya juga melibatkan anak-anak sekolah. Saat ini di Yogyakarta luas lahan pertanian hanya mencapai 64 hektare dengan tanaman padi yang ditanam cenderung varietas unggulan seperti IR 64.
Dari total lahan pertanian yang ada, 14 hektar lahan persawahan dengan rata-rata mampu panen 6,3 ton gabah kering per hektare. Capaian produksi tersebut diklaim cukup lumayan dengan mempertimbangkan luas lahan yang ada. "Meskipun hanya kecil luasannya, tapi hasil yang didapat tergolong bagus,” ujar kepala Dinas Perindagkoptan, Suyana.
Dengan jumlah produksi yang dihasilkan, hasil panen cenderung dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi. Jika pun dijual, sering kali padi sudah dijual dengan cara ditebas. Sehingga padi produksi petani di Kota Yogyakarta tidak pernah masuk ke Bulog yang memiliki kewenangan untuk membeli padi dari petani.
Sempitnya lahan pertanian di Kota Yogyakarta cenderung mengarahkan petani tetap mempertahankan kegiatannya dengan sistem tadah hujan. Namun demikian, untuk beberapa wilayah masih ada lahan pertanian yang bisa dikerjakan dengan sistem irigasi. "Di Bener Tegalrejo sawah dialiri melalui saluran irigasi," kata Suyana.
Menghadapi penurunan luas lahan pertanian, berbagai upaya terus dilakukan Pemkot Yogyakarta untuk bisa mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Salah satunya adalah memberikan keringanan pajak PBB khusus untuk lahan pertanian. Insentif khusus dikeluarkan agar masyarakat mau ikut mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
Maha Deva
Yogyakarta
(bbg)